Presiden Jancukers
Mengajak Budaya Keterbukaan
Oleh Achmad Marzuki
Pegiat Farabi
Institute, Anggota CSS MoRA IAIN Walisongo Semarang
Di Negeri Jancukers mobil kepresidenan mengalah pada mobil yang mengangkut
perempuan yang akan melahirkan, siapapun perempuan itu: pakai tas hermes atau
pun tas keresek (hlm. 54). Di Negeri Jancukers akan diundangkan bahwa tidak
tersenyum lebih kejam daripada pembunuhan (hlm. 185). Dan believe it or
not, di Negeri Jancukers nyaris tak pernah ada bentrok antarsuporter bola.
Karena di stadion, telah disiapkan prasmanan. Demikian beberapa peraturan yang
ada di Republik Jancukers.
Republik Jancukers adalah negara idaman buah perenungan Sujiwo Tejo.
Republik yang rakyatnya tiada kemunafikan. Masyarakat penghuni Republik
Jancukers memiliki budaya keterbukaan. Negara Republik Jancukers tidak seutopia
yang digagas Plato, tetapi ideal seperti yang dicita-citakan para pendiri
negeri ini. Demikian kata Jakob Oetama pada pengantar. Dia melanjutkan bahwa
kreativitas yang dimiliki Sujiwo Tejo cukup nyentrik dan orisinil. Referensi
yang dipakainya berasal dari petuah-petuah kuno pewayangan. Penulisan buku ini
beraroma campur sari.
Pengasuh rubrik mingguan (Wayang Durangpo) Harian Jawa Pos ini dikenal
sebagai bapak Presiden Jancukers. Di media, supaya jancuk tidak disensor harus
ditambah “ers”. Padahal, menurutnya, jancuk itu sebenarnya lebih merupakan
simbol keakraban, simbol kehangatan, simbol kesantaian, lebih-lebih di tengah
khalayak yang penuh dengan kemunafikan saat ini (hlm. 397). Justru jancuk harus
dibudayakan. Sebab orang yang berani bilang jancuk pada orang lain, dia telah
berkata sejujur-jujurnya. Entah saat dia marah atau sekadar menyapa teman
karib.
Walaupun buku ini berjudul Republik #Jancukers bukan
berarti hanya berisi cerita-cerita yang mengoleksi kata jancuk. “Ada banyak hal
yang cuma bisa disampaikan melalui akting, musik, dan seni rupa. Tapi juga ada
banyak hal yang cuma bisa disampaikan melalui kata-kata". Demikian alasan
mengapa buku ini ditulis oleh suami Rosana Nurbani. Buku ini berisi refleksi
sang Dalang Edan terhadap keadaan sekitar, mulai dari perilaku masyarakat
hingga petinggi-petinggi negara.
Seperti tulisan Sujiwo Tejo lainnya. Olah pikirnya cenderung ngawur dan
keluar dari jalur kebiasaan. Melihat judulnya saja pembaca akan diajak untuk
tersenyum sendiri. Bagaimana tidak, dia memberi judul seperti Jempol, Skandal
Jepit, Jomblo, Motivancuk, Toilet, Gigi, Rokok, Kemayu, Semut, Janin, Pipis,
Tisu, Tahu, Kumis, Mesin Cuci, Payudara, Masturbasi, Air Liur, Celeng, Ngeles,
Terasi, Guru TK, Cicak, Ngantuk, Rok Mini, Mens, Ngutang, dan pamungkasnya
paling terakhir berjudul Jancuk.
Dalam tulisannya berjudul Cermin (hlm. 358-360) ia menulis, di Indonesia,
entah itu lelaki atau perempuan, jika melihat kaca cermin pasti akan bercermin.
Penampilan luar selalu saja direkayasa agar terlihat cantik, tampan, dan
menarik. Saking rajinnya bercermin, kaca hitam mobil jadi layar tatapan, bahkan
cat mobil yang kinclong jadi sasaran. Tidak demikian di Republik Jancukers.
Para ilmuan mulai berusaha membuat cermin jiwa. Caranya dengan memperbaiki
prilaku pribadi masing-masing. Sehingga siapapun yang melihatnya seakan bercermin
dan akan merubah prilakunya menjadi lebih cantik, tetapi bukan pencitraan
belaka.
Dari tulisan Cermin ini, pembaca diajak untuk instrospeksi diri agar tidak
hanya mempercantik tampilan luar saja. Tetapi yang terpenting adalah tampilan
jiwa, tampilan hati. Tidak sedikit kita melihat para koruptor selalu menebar
senyum dan janji pada rakyat. Sekarang bukan waktunya lagi tertipu.
Masyakarakat kian cerdas, seyogianya para pemegang kuasa berbenah diri dengan
melaksanakan tugasnya secara profesional dan bertanggungjawab.
Menelusuri halaman demi halaman pada buku setebal empat ratus halaman ini,
membuat kita merasakan betapa uniknya gagasan seorang Dalang Edan.
Keberaniannya menyatakan diri sebagai sosok yang ngawur menjadikan ia
kian langka. Pada dasarnya, apa yang ia kerjakan hanya berdasar keinginan hati,
meskipun terlihat ngawur di mata pecinta kesopanan. Dunia sekarang ini terlalu
mementingkan kesopanan ketimbang tatakrama. Seperti perampok negara yang berjas
safari dan menebar senyum.
Dalam artikel lainnya yang berjudul Toilet (hlm. 21-24), Dalang Edan
mengajak kita agar selalu menjaga kelestarian ekologi bumi. Toilet masa kini
tidak lagi memiliki air, melainkan tisu. Bagi Sujiwo Tejo, air lebih praktis.
Dari sisi sampah, air tidak memerlukan tempat sampah. Hanya diperlukan saluran
air yang meresap ke tanah. Dengan tisu, kita membutuhkan tong sampah dan
menguras hutan. Mendingan kayu hutan dijadikan kertas buku daripada dibuat
hanya untuk membersihkan bokong.
Menghibur sekaligus mencerahkan. Jenaka tanpa harus melupakan persoalan
bangsa. Begitu kuat kecintaan dan kerinduannya terhadap sejarah masa lalu serta
budaya yang diwarisi. Sebesar kecintaannya terhadap negara, sehingga ia mau
menghabiskan energinya untuk membedah beragam peristiwa teraktual dengan sudut
pandang yang beraneka. Itulah kesan dan apresiasi atas sosok bernama Sujiwo
Tejo dalam buku ini.
Data Buku
Judul : Republik #Jancukers
Penulis : Sujiwo Tejo
Penerbit : Buku Kompas, Jakarta
Cetakan : Ketiga, Desember 2012
Tebal : 400 Halaman
ISBN : 978-979-709-677-9
*Pernah tayang di Metro Riau edisi 26 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar