Kisah Akhir Sang
Petualang Sejati
Oleh Achmad
Marzuki
Pegiat Farabi
Institute, Anggota CSS MoRA IAIN Walisongo Semarang
Kini Roy tidak lagi anak
SMA. Dia telah menjadi mahasiswa. Tetapi setahun kemudian dia keluar karena
peraturan kampus tidak sesuai dengan keinginannya. Dunianya selalu bermuara
pada kebebasan. Begitu memang jiwa seorang petualang, tidak mau terkekang oleh
peraturan manapun. Setelah avontur ke pedalaman ambon Roy memiliki rencana
gila; avonturir ke luar negeri. Dua perempuan yang mengasihinya dengan terpaksa
harus merelakannya; sang bunda dan suci.
Keinginan Roy lebih
kuat dan Gol A Gong menuruti rencana besarnya. Avontur ke luar negeri. Di buku
terakhir dari Balada Si Roy ini, Gol A Gong menjelaskan dari mana sikap dan
kejiwaan keras yang dibawanya muncul. Semua berakar dari mitos yang jika saat
pertama keluar ke dunia kepala bayi lebih besar dari badannya. Itu pertanda anak
itu akan memiliki keinginan sekeras baja dan selalu senang hidup di jalanan. Selain itu, ayah Roy juga memiliki sifat yang
sama; keras kepala dan pecinta alam.
Menjadi anak jalanan bagaikan
anak panah. Setelah dilepas dari busur, dia tidak akan pernah kembali kecuali
ada busur lain yang mengarahkan ke tempat semula. Ibu Roy rela telah melepas anak
busurnya melesat jauh. Begitulah seorang ibu, akan rela mati karena rindu demi
keinginan anaknya yang egois. Kasih ibu takkan mungkin lekang karena waktu,
bahkan oleh umur sekalipun.
Gol A Gong menuntun Roy
menuju perbatasan ke malaisia. Sajak kebijaksanaan memulai perjalanan Roy. “Kebenaran
itu seperti cecak, yang kita tangkap selalu cuma hanya ekornya yang menggelepar
seperti hidup, sementara cecak itu sendiri lepas” disadur dari Ivan Turgenev. Kita diajak menjadi petualang.
Dengan cerita setebal dua ratus delapan puluh delapan, pembaca akan mengenal
dunia jalanan. Dunia yang selalu berhadapan dengan orang baik hati dan penipu.
Seperti saat
beristirahat di sebuah masjid. Roy bertemu seorang yang menamakan dirinya Cik
Gur. Ia bercerita tentang dirinya yang pengusaha buku. Membawa Roy ke toko
buku, memborong sekian banyak buku. Tetapi Cik Gur tidak membayar dan membawa
buku-buku tersebut. Dia bilang, sore nanti akan dijemput dan diambil. Cik Gur mengajak
Roy makan, yang membayar makan tentu saja Roy. Sore telah tiba dan Cik Gur tidak
ada niat kembali ke toko buku. Roy mendesak dan akhirnya ia mengaku bahwa
bisnis bukunya telah bangkrut dan ia sekarang jadi gelandangan.
Di lain masjid, Roy
bertemu dengan seseorang berjubah putih, berjenggot putih pula. Orang tua itu
mengajak Roy makan. Sekadar ingin bersedekah, begitu kata orang tua. Roy juga
bertemu dengan perempuan menawan, cantik, dan manis. Sayangnya perempuan
tersebut adalah wanita panggilan. Di Thailan, Roy bertemu biksu yang tiap pagi
berkeliling kampong tanpa alas kaki, membawa guci besar. Masyarakat bersedekah
dan menaruknya pada guci tersebut. Suasana di Thailan sangat indah.
Pelajaran lainnya yang
dapat dipetik tentang kisah Roy saat menuju pondok di puncak, utara India.
Penginapan tersebut diisukan angker, pemiliknya adalah manusia penghisap darah
perawan. Telah dua wanita tewas di penginapan tersebut. Roy tetap menuju
penginapan angker tersebut walau hatinya sedikit bergetar. Setelah sampai di
lokasi, pemilik penginapan menerangkan bahwa semua kabar itu adalah bohong.
Gol A Gong mengutip
kata-kata Epictetus yang sesuai dengan tragedi di atas. Alam memberikan manusia
satu lidah tetapi dua telinga supaya kita mendengar dua kali lebih banyak
daripada apa yang kita ucapkan. Mendengar kabar tidak boleh hanya dari satu
kisah. Seperti halnya sejarah, tidak cukup membaca satu buku. Dibutuhkan
beberapa referensi untuk kelengkapan sejarah yang sebenarnya.
Di tepi sungai ganga, perjalanan
Roy mulai berwarna. Dia bertemu dengan lelaki kecil yang selalu memanggilnya
‘Japan’. Anak kecil yang sudah menghadapi pahitnya kehidupan. Memeras keringan
demi segumpal nasi. Roy juga bertemu Ana, wanita muda bermata biru dari Eropa. Ana
telah tertarik pada Roy sejak bertemu di
pinggir sungai Ganga. Setiap keluar apartemen, Ana selalu mengajak Roy untuk
menemaninya. Dan Roy pun akhirnya melupakan gadis pujaannya di Indonesia, Suci.
Ana selalu mengajak Roy
dalam romantisme perjalanan. Cinta bukanlah hal agung bagi seorang traveler. Di
setiap tempat menginap lama, pasti menemukan pasangan. Kini, Roy ditemani
wanita Eropa. Wanita yang mengukur cinta dengan bercinta. Di tengah indahnya
hubungan mereka. Roy dihantui mimpi-mimpi buruk tentang bundanya di Banten.
Setelah menelpon uwaknya, Roy tambah gelisah. Dikabarkan bundanya sedang sakit
dan dirawat di rumah sakit. Kini Roy bimbang melanjutkan rencananya ke Berlin,
tempat tinggal Ana.
Kelebihan Gol A Gong
pada serial Balada Si Roy, dia
mengajak bicara dengan tokoh di dalamnya, Roy. Dia juga mengajak berkomunikasi
dengan pembaca. Membaca kisah Roy, seolah pembaca adalah teman perjalanan si
bandel Roy. Dalam epilognya, Roy kehilangan sang bunda. Roy juga melepas wanita
tercintanya, Suci. Hingga akhirnya dia pergi dan melanjutkan hidup sebagai
petani. Gol A Gong juga berpesan, jika pembaca melihat seorang lelaki bertopi
jerami sedang mencangkul, sapalah dia dengan sebutan “Roy…” pasti lelaki itu
akan menoleh dan tersenyum.
Data Buku
Judul: Balada Si Roy, Jilid
5, Traveler-Epilog
Penulis: Gol A Gong
Penerbit: Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: November 2012
Tebal: 288 Halaman
*
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar