Minggu, 19 Mei 2013

Resensi Balada Si Roy jilid 5



Kisah Akhir Sang Petualang Sejati
Oleh Achmad Marzuki
Pegiat Farabi Institute, Anggota CSS MoRA IAIN Walisongo Semarang

Kini Roy tidak lagi anak SMA. Dia telah menjadi mahasiswa. Tetapi setahun kemudian dia keluar karena peraturan kampus tidak sesuai dengan keinginannya. Dunianya selalu bermuara pada kebebasan. Begitu memang jiwa seorang petualang, tidak mau terkekang oleh peraturan manapun. Setelah avontur ke pedalaman ambon Roy memiliki rencana gila; avonturir ke luar negeri. Dua perempuan yang mengasihinya dengan terpaksa harus merelakannya; sang bunda dan suci.
Keinginan Roy lebih kuat dan Gol A Gong menuruti rencana besarnya. Avontur ke luar negeri. Di buku terakhir dari Balada Si Roy ini, Gol A Gong menjelaskan dari mana sikap dan kejiwaan keras yang dibawanya muncul. Semua berakar dari mitos yang jika saat pertama keluar ke dunia kepala bayi lebih besar dari badannya. Itu pertanda anak itu akan memiliki keinginan sekeras baja dan selalu senang hidup di jalanan.  Selain itu, ayah Roy juga memiliki sifat yang sama; keras kepala dan pecinta alam.
Menjadi anak jalanan bagaikan anak panah. Setelah dilepas dari busur, dia tidak akan pernah kembali kecuali ada busur lain yang mengarahkan ke tempat semula. Ibu Roy rela telah melepas anak busurnya melesat jauh. Begitulah seorang ibu, akan rela mati karena rindu demi keinginan anaknya yang egois. Kasih ibu takkan mungkin lekang karena waktu, bahkan oleh umur sekalipun.
Gol A Gong menuntun Roy menuju perbatasan ke malaisia. Sajak kebijaksanaan memulai perjalanan Roy. “Kebenaran itu seperti cecak, yang kita tangkap selalu cuma hanya ekornya yang menggelepar seperti hidup, sementara cecak itu sendiri lepas” disadur dari  Ivan Turgenev. Kita diajak menjadi petualang. Dengan cerita setebal dua ratus delapan puluh delapan, pembaca akan mengenal dunia jalanan. Dunia yang selalu berhadapan dengan orang baik hati dan penipu.
Seperti saat beristirahat di sebuah masjid. Roy bertemu seorang yang menamakan dirinya Cik Gur. Ia bercerita tentang dirinya yang pengusaha buku. Membawa Roy ke toko buku, memborong sekian banyak buku. Tetapi Cik Gur tidak membayar dan membawa buku-buku tersebut. Dia bilang, sore nanti akan dijemput dan diambil. Cik Gur mengajak Roy makan, yang membayar makan tentu saja Roy. Sore telah tiba dan Cik Gur tidak ada niat kembali ke toko buku. Roy mendesak dan akhirnya ia mengaku bahwa bisnis bukunya telah bangkrut dan ia sekarang jadi gelandangan.
Di lain masjid, Roy bertemu dengan seseorang berjubah putih, berjenggot putih pula. Orang tua itu mengajak Roy makan. Sekadar ingin bersedekah, begitu kata orang tua. Roy juga bertemu dengan perempuan menawan, cantik, dan manis. Sayangnya perempuan tersebut adalah wanita panggilan. Di Thailan, Roy bertemu biksu yang tiap pagi berkeliling kampong tanpa alas kaki, membawa guci besar. Masyarakat bersedekah dan menaruknya pada guci tersebut. Suasana di Thailan sangat indah.
Pelajaran lainnya yang dapat dipetik tentang kisah Roy saat menuju pondok di puncak, utara India. Penginapan tersebut diisukan angker, pemiliknya adalah manusia penghisap darah perawan. Telah dua wanita tewas di penginapan tersebut. Roy tetap menuju penginapan angker tersebut walau hatinya sedikit bergetar. Setelah sampai di lokasi, pemilik penginapan menerangkan bahwa semua kabar itu adalah bohong.
Gol A Gong mengutip kata-kata Epictetus yang sesuai dengan tragedi di atas. Alam memberikan manusia satu lidah tetapi dua telinga supaya kita mendengar dua kali lebih banyak daripada apa yang kita ucapkan. Mendengar kabar tidak boleh hanya dari satu kisah. Seperti halnya sejarah, tidak cukup membaca satu buku. Dibutuhkan beberapa referensi untuk kelengkapan sejarah yang sebenarnya.
Di tepi sungai ganga, perjalanan Roy mulai berwarna. Dia bertemu dengan lelaki kecil yang selalu memanggilnya ‘Japan’. Anak kecil yang sudah menghadapi pahitnya kehidupan. Memeras keringan demi segumpal nasi. Roy juga bertemu Ana, wanita muda bermata biru dari Eropa. Ana telah tertarik pada Roy sejak  bertemu di pinggir sungai Ganga. Setiap keluar apartemen, Ana selalu mengajak Roy untuk menemaninya. Dan Roy pun akhirnya melupakan gadis pujaannya di Indonesia, Suci.
Ana selalu mengajak Roy dalam romantisme perjalanan. Cinta bukanlah hal agung bagi seorang traveler. Di setiap tempat menginap lama, pasti menemukan pasangan. Kini, Roy ditemani wanita Eropa. Wanita yang mengukur cinta dengan bercinta. Di tengah indahnya hubungan mereka. Roy dihantui mimpi-mimpi buruk tentang bundanya di Banten. Setelah menelpon uwaknya, Roy tambah gelisah. Dikabarkan bundanya sedang sakit dan dirawat di rumah sakit. Kini Roy bimbang melanjutkan rencananya ke Berlin, tempat tinggal Ana.
Kelebihan Gol A Gong pada serial Balada Si Roy, dia mengajak bicara dengan tokoh di dalamnya, Roy. Dia juga mengajak berkomunikasi dengan pembaca. Membaca kisah Roy, seolah pembaca adalah teman perjalanan si bandel Roy. Dalam epilognya, Roy kehilangan sang bunda. Roy juga melepas wanita tercintanya, Suci. Hingga akhirnya dia pergi dan melanjutkan hidup sebagai petani. Gol A Gong juga berpesan, jika pembaca melihat seorang lelaki bertopi jerami sedang mencangkul, sapalah dia dengan sebutan “Roy…” pasti lelaki itu akan menoleh dan tersenyum.

Data Buku
Judul: Balada Si Roy, Jilid 5, Traveler-Epilog
Penulis: Gol A Gong
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: November 2012
Tebal: 288 Halaman
*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar