Tafsir Agung
Pancasila
Oleh Achmad
Marzuki
Pegiat Farabi
Institute, Anggota CSS MoRA IAIN Walisongo Semarang
Pada suatu waktu Sukarno
pernah berujar “Republik Indonesia memerlukan satu dasar yang bisa menjadi
dasar satis dan bisa menjadi Leitstar (bintang pimpinan) dinamis.” Leitstar itu
diterjemahkannya menjadi dan sebagai Pancasila.
Kalau bangsa Indonesia
benar-benar mengetahui dan memahami pancasila niscaya Indonesia menjadi bangsa
yang sejahtera. Pada 30 September 1960, sebab kebagusan Pancasila sebagai asas,
Sukarno memberanikan diri menawarkan agar pancasila menjadi dasar di pelbagai
Negara. Namun demikian, hal tersebut tidak diterima semua Negara. Sukarno
memeras Pancasila menjadi dua kata yang sangat merakyat; gotong-royong.
Buku ini terbagi
menjadi lima bagian sesuai jumlah sila dalam pancasila. Kesemua sila dirunut
dari aspek yang menyeliputinya. Mulai dari historitasnya, kemudian dirasionalisasikan,
hingga bagaimana mengaktualisasikan. Pada bab pertama, Yudi Latif lebih
memberikan judul berketuhanan yang berkebudayaan. Ranah agama yang universal.
Melindungi semua agama yang tumbuh di tanah Indonesia secara adil dan
proporsional. Dan menilai bahwa pancasila adalah milik semua elemen masyarakat
Indonesia.
Pembahasan sila pertama
tentu diwarnai dengan perdebatan tentang hubungan negara dan agama. Ada yang
menginginkan Indonesia menjadi Negara islam. Artinya agama dan Negara tidak ada
pemisahan sekat. Namun ada pula menolaknya. Namun kesepakatan akhir ditetapkan
bahwa Indonesia bukan negara agama namun juga bukan negara sekuler, melainkan sebagai
negara yang mengakomodasi kepentingan agama. Sila ketuhanan mengajak bangsa
Indonesia untuk mengembalikan etika social dalam berkehidupan (hlm. 117).
Sila kedua yang kita
kenal sekarang adalah kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal itu adalah rumusan
dari musyawarah para pendahulu. Bung Karno sendiri memberikan penjabaran yang
jika diperas menjadi kemanusiaan universal. Artinya nilai kemanusiaan tidak
hanya dilihat dari ranah keindonesiaan tetapi pula dilirik dari internasional.
Yudi Latif menganalisis lebih dalam, dengan memaparkan sejarah kemanusiaan yang
tengah terjadi di tanah nusantara. Persoalan hak asasi manusia yang dijadikan
dasar Negara ternyata sangat relevan dengan internasionalisme dan era
globalisasi.
Persatuan Indonesia.
Dirunut lagi pada aka ride berasal dari persatuan dalam kebhinekaan. Artinya,
sila ketiga cukup mencakup wilayah bhinneka tunggal ika. Para bapak bangsa
sangat sadar betul bahwa Indonesia bukanlah ras yang satu. Indonesia adalah
akumulasi dari pelbagai perbedaan. Keberagaman ras dan suku dijadikan sebagai
kekayaan budaya tiada tara. Indonesia dimerdekakan bukan karena keinginan satu
orang atau sekelompok orang. Tidak. Indonesia merdeka sebab rakyatnya
berkehendak untuk bebas dari kekangan kolonialisme. Indonesia adalah milik kita
bersama.
Saat membincang sila
ketiga ini, dalam ranah historis. Yudi Latif tidak terkerucutkan hanya pada
pembuatan teks sila, melainkan juga memaparkan sejarah keberagaman yang mulai
tumbuh dan bersama-sama melawan penjajah. Hal ini yang saat ini kita sebut
sebagai nasionalisme. Kecintaan pada tanah air dibuktikan dengan aksi. Kita
dapat membayangkan betapa sulit untuk memahami budaya satu dengan budaya
lainnya yang sangat berbeda. Perawakan orang Madura, Jawa, Sunda, hingga pulau
selau Jawa tentu mempunyai wajah tersendiri.
Sila keempat,
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan. Yudi Latif membahasakannya sebagai demokrasi permusyawaratan.
Konsep musyawarah hamper mirip dengan demokrasi, yaitu pengambilan suara dari
peserta atau anggota. Para pendahulu telah berselisih mengenai Negara
demokrasi. Banyak sekali pandangan yang bersinggungan. Yang diperdebatkan
adalah sumber nilai menuju demokrasi-sosialistik (hlm. 403).
H.O.S. Tjokroaminoto
bersama rekan seperjuangannya, syarikat islam, telah memformulasikan apa yang
mereka namakan “sosialisme islam”. Artinya, dasar nurani islam berbanding lurus
dengan nilai social. Mulai dari anjuran islam yang selalu berujung pada
kemaslahatan bersama, hingga prinsip yang ada dalam islam adalah ketaqwaan pada
Sang Ilahi bukan dari jabatan. Tan Malaka memiliki pandangan lain. Konsep
demokrasi yang dibawa agar sedikit menjauhi kerajaan. Konteks masa depan
memaksa agar Indonesia menjadi Negara kerakyatan. Sedangkan bagi Sukarno
sendiri demokrasi yang dimaksud adalah dimokrasi gotong-royong.
Dan sila terakhir,
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila yang menjadi puncak tujuan,
kesejahteraan rakyat dan terlepas dari kemiskinan. Ekonomi kerakyatan menjadi
bahasan utama. Buku setebal enam ratus eman puluh enam halaman ini layak diberi
sandang sebagai tafsir agung pancasila. Memang untuk memahami suatu persoalan
tidak boleh lepas dari sisi situasi, kondisi, toleransi, pandangan, dan
jangkauan masyarakat yang pernah hidup di dalamnya. Nilai sebuah cerita akan
lebih tahan lama daripada hanya mengingat cerita saja.
Data Buku
Judul: Negara
Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila
Penulis: Yudi Latif
Penerbit: Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: Kedua, Juni
2011
Tebal: xxvii + 666
halaman
*Pernah tayang di Radarseni.com
http://radarseni.com/2013/06/15/tafsir-agung-pancasila/
Kelebihan dan kekurangannya mana min?
BalasHapus