Apa yang Anda pikirkan jika seseorang bertanya tentang Bali?
Kata pertama yang mencuat tentulah berupa keindahan alam
yang eksotis, pulau surga, turis-turis manca negara,
aman, damai, tentram, pantai Kuta,
dan pesona kekuatan budaya
yang sakral. Namun siapa sangka ternyata Bali memiliki sisi gelap berupa kegetiran yang
penuh paksaan dan berakibat kekerasan.
Keunikan budaya dipadu dengan keeksotisan keadaan alam menjadikan Bali sebagai
magnet bagi wisatawan. Tidak hanya wisatawan dari dalam negeri,
jutaan turis pun
datang untuk menyaksikan langsung kemeriahan budaya masyarakat setempat dalam melakukan tradisi adatnya,
seperti upacara melepasroh
yang meninggal (pelebon atau ngaben).
Keindahan pulau Dewata telah memberi warna
paten.
Namun siapa sangka
di balik kemeriahan upacara tersebut ternyata ada sisi gelap
yang jika disebar-luaskan menjadi hal
negative. Semisal masalah pembiayaan pelaksanaanya yang
tidak jarang didapat dari utang jutaan rupiah. Bahkan penyelenggaraannya pun
bukan niat murni keluarga sohibul musibah tersebut, melainkan keinginan pihak
yang dominan.
Buku besutan Nyoman Sukma Arida berjudul Pandora
Bali, Refleksi di Balik Gemerlap Turisme mengungkap sisi tersembunyi tersebut.
Mulai dari mahalnya biaya untuk upacara agama, ludesnya tanah-tanah Bali
dilahap investor, menjamurnya mal di sudut-sudut kota, hingga kerusuhan berkedok
kasus adat. Masing-masing dikemas dalam bentuk esai berjumlah
25 artikel yang terangkum dalam buku setebal
166 halaman ini.
Rata-rata esai ditulis dengan menampilkan tokoh-tokoh
orang-orang biasa. Diceritakan dengan ilustrasi yang sederhana dan
ringan namun penuh makna. Sukma menggambarkan setiap permasalahan dengan cerita-cerita,
tokoh yang sangat “Bali”. Misalnya, tokoh Gusti Ayu Cempaka yang bersikeras melangsungkan
upacara pelebonan (atau ngaben) untuk suaminya dengan perayaan yang meriah, padahal
keadaan ekonomi yang pas-pasan. Pada akhirnya terpaksa meminjam kesana-kemari untuk
membuat upacara yang uttamaning utama (upacara yang tingkatannya paling
tinggi) hanya demi geng sisemata.
Ada lagi I Lugra, seorang tokoh yang
diceritakan berpenghasilan pas-pasan, namun wajib mengeluarkan iuran untuk upacara
di Pura-pura, upacara agama di rumah, dan belum lagi biaya hidup sehari-hari. Kenyataan
seperti itu bak kotak Pandora yang terbuka. Mengejutkan siapapun yang melihatnya.
Sukma membuat perincian sistematis dan sederhana terkait dengan biaya pengeluaran
saat diadakannya kegiatan adat dan keagamaan.
Otokritik
Karena penulisnya adalah orang Bali asli, maka
dia bisa dengan bebas melakukan otokritik terhadap peliknya persoalan adat dan budayanya
sendiri. Dia menampilkannya melalui tokoh-tokoh sederhana dalam 25 tulisan di
buku ini. Merupakan sebuah keistimewahan dalam mengkritik tentang identitas,
pulau, dan tradisinya sendiri. Banyak hal baru pada buku ini termasuk cara panggil
lelaki orang Bali.
Buku ini berhasil menjadi kotak Pandora pagi pembaca.
Sukma tidak hanya membaca kegalauan orang Bali tentang situasi di pulaunya sendiri
tapi juga mengenal sisi lain Bali yang selama ini tenggelam di balik gemerlap pariwisata.
Kekurangan dari buku ini bahwa kebanyakan artikel telah ditulis tujuh tahun silam.
Tidak adanya tanggal penulisan membuat pembaca sedikit bingung melihat kronologi
pemahaman.
Sebenarnya buku ini bukanlah satu-satunya buku
yang membahas tentang sisi gelap Bali. Seperti karya Geofrey Robinson dalam The
Darkside of Paradise (1998). Robinson membahas paradox Bali dengan lebih tajam.
Bahkan orang Bali sekarang ini, mulai berani mengkritik dengan adanya Putu Setia
dalam bukunya Menggugat Bali. Walau begitu buku ini masih diperlukan guna menumbuhkan kesadaran sosial antar-individu.
Setelah membaca buku ini,
ternyata Bali bukan hanya sebagai pulau penuh ketentraman tetapi juga pulau
yang memiliki konflik individu.
Pulau dewata sudah terlanjur terkenal
di dunia, bahkan lebih terkenal daripada
Indonesia. Tidak sedikit para turis menjawab pernah, saat ditanya pernah ke Bali.
Tetapi jika ditanya
Indonesia? Tidak semua turis mengetahuinya. Membaca buku ini
menjadi sadar melihat dan menilai sesuatu lebih subjektif. Bahwa setiap hal memiliki
kekurangan dan kelebihan.
Data Buku
Judul : Pandora Bali, Refleksi di
Balik Gemerlap Turisme
Penulis : Nyoman SukmaArida
Penerbit : Pustaka Larasan,
Denpasar
Cetakan : I, 2012
Tebal : 166 halaman
Isbn : 978-979-3790-9
Harga : Rp.
25.000,00
Peresensi : Achmad Marzuki, Pegiat Farabi
Institute, Anggota CSS MoRA IAIN Walisongo Semarang
*Pernah tayang di Dakwatuna.com