Rabu, 25 Februari 2015

Mimpi yang Menjadi Nyata?

240215
Memimpikanmu lagi. Semalam.
Seluruh pembina asrama unggulan sedang rapat tentang centang berentang. Bahwa aku akan pergi berdua dengan Rini. Tujuan kepergian kami untuk liputan, seperti wartawan kawakan. Rini teman cantikku sewaktu kuliah di Semarang. Beginilah mimpi, meski kadang tidak nyambung, tapi mimpi terus berlanjut.

Sebelum rapat selesai, hapeku berderik. Fauzan yang menerima sebab posisiku sedang sibuk memimpin rapat. Telepon agak lama dan Fauzan membicarakan hasil rapat di sana. Ada yang aneh. Cara bicara Fauzan sama dengan saat dia menjelaskan secara rumit tentang masalah yang tak begitu rumit. Tentang tamparan, keinginan yang ditahan dan dipaksa, tentang kekesalan. Kau pasti ingat itu kejadian apa. Hape kuambil, suara di seberang, wanita menangis. Sesuai prediksiku, kau yang nelpon.

"...Rini itu siapa? Cantik ta? Aku tidak mau Kak Juki berduaan dengan Rini. Aku sudah berusaha agar kembali dengannya. Tidak bisakah salah satunya diganti? Rini diganti aku atau Kak Juki diganti yang lain dalam tugas kali ini. Mengapa harus..." 

Begitulah kau. Memberondong banyak tanya dan tuntutan. Bahkan kepada orang yang tidak disenangi. Kau belum sadar bahwa yang mendengar keluh kesahmu adalah aku di sini. Di seberang telepon.

"Adik," potongku, "tenanglah! Jangan hawatir! aku tidak akan meninggalkanmu." Kudiamkan, kutunggu bagaimana reaksinya.

Nangisnya yang sesegukan keras, cepat, dan memotong bicaranya tiap kata, sekarang mulai mengendur, melunak, dan menyiratkan sedikit kedamaian. "Hiks hiks hiks... Beneran, kak?"

Sebelum menjawab mataku sudah terbuka. Waktu menunjukkan pukul 0325. Sebentar lagi subuh. Aku terbangun.
***
250215
Siangnya kau menelpon. Menuduhku memiliki wanita selain dirimu. Bahwa ada siswi kelas tiga. Informasi tersebut didengar dari banyak lidah dalam banyak mulut. Lidah manusia benar-benar tak bertulang tapi berefek lebih sakit daripada pukulan tulang. Mulut-mulut busuk terus saja mengumbar informasi fiktif. Begitukah manusia? Membincang perkara oranglain yang belum jelas kebenarannya? Aku berlindung padamu ya Allah, dari lidah pendusta dan mulut penebar masalah.

Bertanya tentang keseriusanku denganmu. Sepertinya harus kuingatkan. Adik, ini pintamu, maka yakinkan diriku. Ah, mengapa kau begitu pemaksa. Tapi aku tidak mau memaksamu berubah menjadi wanita dewasa. Sebab kedewasaan akan datang bersama masalah. Harus diingat, setiap harapan dan tujuan memiliki cobaan dan rintangan. Ini hukum alam, adik. Sekali kubilang kembali, itu berarti melupakan dan meniadakan yang lain. Jika kau meragukan keputusanku, maka akan benar-benar kubuat ragu.
***
Pesan singkatmu bersarang lagi di inbox hapeku.
“Jangan tinggalin adek,”
Bismillah,
“Kakak kenapa tidak meyakinkan? Setelah kupasrahkan sama kakak. Kakak mau pergi?”
Iya, kakak akan menjaga adek. Bersama dengan adek. Selalu. Kujawab dengan alur terbalik. Bukan dari belakang ke depan, tapi dari depan ke belakang.
“Kak cepet nikah yuk! Gak usah nunggu mbak.” Aku tau kau hanya menguji dan tidak serius.
Hahahaa... ntar mbak yang marah.
“Gak mungkin. Siap gak?” Lagi,
Siap!
“Kapan kakak siap mau ke ibu?” Dan lagi,
Besok bisa. Apa sekalian kakak anter adek pulang.
“Yee, ibu masih sakit.” Nah, tidak berani kan? Sebenarnya aku tidak mau menjawab pertanyaanmu yang menguji kesungguhanku. Sebab, sekali aku bertekad, akan kuusahakan dengan lekat.
Sekalian jenguk. Kenalan dulu. Masak datang langsung minta. Sesuai prediksiku, kau tak menjawab. Sebab inginmu sudah kaudapat; keputusanku.
***
Andai kautau....

Kalimat selanjutnya ada di buku catatan harianku. Terlalu privasi jika kutulis di sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar