Sehari itu (060215) kau memaksa bertemu. Di sana kau ingin kita
seperti dulu menjalin cinta. Dua kali aku ditinggalmu pergi sebab lelaki lain.
Mantanmu yang begitu sangat kau cintai. Dua kali pula dengan wajah serius kau
datang padaku dengan janji untuk bersatu. Kini kumeragukan keputusanmu yang
ketiga. Kembali padaku.
Adik, kita (mungkin) tak akan pernah satu. Engkau perempuan
pemarah dan selalu menuntutku begini, merubahku begitu, seolah kaulah
pemilikku. Sedang diriku, selalu kuusahakan mencintaimu apa adanya. Dengan
segala keburukanmu yang kuketahui, aku tetap memendam rasa, memeluk luka. Mungkin
aku siap mengabdi begini padamu, penuhi segala pintamu, tapi apa aku siap
mendengar ocehan tetangga bahwa dalam keluarga kita kau yang berkuasa? Dan kau
tentu akan bilang, jangan dengar ocehan orang lain, aku mencintaimu. Apa ini
cinta yang sehat?
Saat itu kusarankan untuk tidak berhubungan dulu dengan
lelaki manapun. Kosongkan hatimu! Kau kembali padaku, juga sebab ibumu bertanya
tentang kita. Pantas jika ibumu memarahimu. Dulu kau sering menceritakanku
padanya dan liburan kemarin kau diam tanpa cerita. Bahkan kau bilang sudah
menyukai lelaki baru di kampusmu, dua tahun di atasmu. Ibumu tak setuju.
Katanya, carilah lelaki yang dewasa, bukankah yang kemarin itu terlihat dewasa? Carilah lelaki bertanggungjawab
yang bisa menuntunmu, mengayomimu, membawamu pada jalan Allah! Cukuplah ibu
saja yang hidup menjadi singgle parent, anak ibu tak perlu begitu.
Saranku begitu, kosongkan! tapi katamu, kau tak bisa sendiri,
butuh sandaran. Kubilang lagi, carilah sandaran yang lebih kokoh daripada
manusia! Kau masih membantah, seolah menyeretku kembali dalam pelukmu. Kau
mengingatkanku pada kejadian saat kulamar kau secara pribadi di lantai dua. Saat
itu kau berbaju merah, kerudung krem, dan bawahan warna biru levis. Dan
sungguh, kau cantik sekali saat itu. Katamu, andai kita sudah halal, kau pasti
memelukku dengan erat. Yeah, aku sudah menduganya. Wajahmu begitu bahagia saat
itu.
Sayangnya kau begitu cepat merubah semua keadaan. Di pagi
yang lain, kau begitu ngotot meminta bertemu. Berkisah tentang mimpi basahmu.
Aku hanya tertawa. Sorenya kau rusak kegembiraan yang masih melekat padaku. Dengan
pengakuanmu bahwa kau masih menyayangi mantanmu. Ibaratnya, kau memberikanku
makanan kala aku lapar. Saat kumakan dan belum selesai, kau rampas makanannya
dan meninggalkanku tanpa memberi seteguk air. Tentu saja aku gelapgapan mencari
air penawar caleggen.
Ketika aku mulai nyaman menjalani hidup, kau datang menebar
janji manis. Tapi, keputusanku kugantungkan, tiada kepastian. Sehari setelah
bertemu (070215), tanpa ijin, kau memprovokasi di fesbuk bahwa kita sudah tunangan
(lagi, dulu, kau sebar bahwa kita tunangan, dengan kabar dari mulut ke telinga).
Saat kutanya kenapa, jawabanmu tak begitu jelas. Walau aku tau maksudmu, kau
merayuku lagi. Membuktikan bahwa kau mulai sungguh-sungguh. Kau tau bahwa
hatiku memilihmu, aku pasti bisa menerimamu, lagi. Memang tidak salah.
Tapi, apa kau tak berfikir, dulu, saat kau bilang kita tak
ada hubungan? Seolah sangat santai bernada innosen? Setelah kejadian di lantai
dua itu? Sungguhpun aku meragukan keseriusanmu saat ini. Apalagi kau bilang
bahwa kebahagiaanmu nomor dua setelah kebahagiaan ibumu. Seolah kau terpaksa
kembali sebab keinginan ibumu yang memintamu kembali padaku. Jadi kau tak
begitu bahagia bersamaku? Jika begitu adanya, jangan pilih aku! Cari lelaki
lain yang mampu membahagiakanmu dan ibumu. Sebab kuingin isteriku bahagia
bersamaku. Dan mertuaku bangga anaknya kuculik.
Adik, menurutku lucu saat kau tanya apa diriku tidak akan
merubah sikap? Tetap begini, tidak pernah memarahimu? Kata Agus Noor, tidak ada manusia yang tak pernah marah,
yang ada hanya manusia yang pandai menyimpan amarah. Aku tertawa seolah kau
begitu egois. Maka kubalik tanya dengan tanyamu. Sesuai tebakanku, kau tak
mampu menjawab dengan kata, tapi aku paham, kau berusaha, akan berusaha yang
terbaik buatku.
Atau sebenarnya akulah yang sombong? Sok sangat mengenalmu? Apapun tingkahmu aku memahaminya? Ketahuilah,
sikap lelaki di depan kekasihnya tidak akan pernah mau terlihat lemah. Aku
hawatir pada diriku sendiri. Di ahir percakapan kubilang, fotomu di beranda
fesbukku pasti menggetarkan emosi teman-temanku. Dan kau bilang, biar saja, biar ramai. Adik, aku tak mau menjadi
lelaki yang selalu memojokkanmu, tapi... cobalah berfikir cermat saat melakukan
suatu tindakan, termasuk tindakan memberi jawaban. Itu salah satu cara menjadi
dewasa.
Aku (sok) tau kau labil. Bahwa tidak menutup kemungkinan kau
bakal berubah, meninggalkanku. Sebelum berpisah kau menuntut kepastian lagi.
Sebenarnya kepastianku sudah kusampaikan; kosongkan hatimu untuk sementara waktu
dari lelaki manapun. Tapi, kau tetap memaksa, maka kujawab; yakinkan aku! Kan kuungkap satu
kenyataanku, saat ini aku sedang mendekati orang baru. Sama sekali baru, aku
baru melangkah satu kaki. Maka, yakinkan aku bahwa aku sudah berada di tempat yang
cukup aman dan tak perlu melangkah lagi mencari tempat lain yang lebih aman. Segala
harapan butuh perjuangan. Di mana ada tujuan, di situ ada cobaan.
Malam setelah bertemu, Ahad, 080215,
pukul 00.00 wib. Tiga puluh menit selanjutnya aku belum tidur memikirkanmu, hingga tertidur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar