Namanya Akmala tapi kupanggil Naila atau Nela. Pertama aku
bertemu dengannya di kampus tosca. Seperti sudah diatur, jadwal kuliahku selalu
bersebelahan kelas dengannya. Naila orangnya pemalu tapi kadang juga pemberani.
Malu saat kudekati dan berani memanggilku dengan sebutan oppa* saat jauh. Sepertinya, panggilannya memang sengaja
dilontarkan dalam jarak pendengaranku, supaya dapat kudengar. Jinak-jinak merpati.
Aku bukan lelaki cemen. Seolah dia memberi lampu hijau,
kudatangi kelasnya. Saat itu dosennya tidak ada, entah kemana. Kuajak
berbincang beberapa mahasiswa sekelasnya. Tentang apa saja. Niatku cuma satu;
ingin bicara dengan Naila. Satu kursi panjang tersiapkan di depan kelas.
Fungsinya untuk menunggu datangnya dosen. Tiga mahasiswi duduk di sana.
"Kosong? Siapa dosennya? Kuliah apa?" Memang
sengaja kujejal banyak pertanyaan. Satu tanya kusiapkan buat satu orang. Tapi
sepertinya tidak berhasil.
"Alaaahh, tidak perlu basa basi, mau ketemu Akmala kan,
eh Naila kan? Neell... keluar bentar gih! Nih ada tamu dari Pluto." Bibah,
mahasiswa yang suka blak-blakan langsung nyerocos tak berpagar.
Naila keluar kelas. Wajahnya bercampur malu, takut, senang,
dan pucat. Rasa malunya terlihat jelas dari raut tipis di pipinya yang
ditarik-kembungkan. Rasa takutnya terdengar dari degup jantungnya yang
patah-patah. Rasa senangnya terlihat dari raut alisnya yang sedikit terangkat,
pertanda semangat. Dan wajah pucatnya tercermin dari air mukanya yang kusut. Sepertinya
Naila kecapekan. Dia menjadi ketua panitia seminar nasional tentang gender tiga
hari yang lalu.
"Ada apa, Mas?" Bibirnya bertanya kaku.
Aku diam tak menjawab. Tersenyum memandang matanya. Lalu
Naila juga diam tak bersuara. Hanya tersenyum memandang mataku. Seolah seluruh kata telah lenyap ditelan
angin, seluruh suara ditelan makna. Dan makna teragung dalam bicara ialah tanpa
kata, tanpa suara. Kita semua saling paham hanya dengan saling tatap. Hingga
esok hari. Hingga kita menikah di hari berkah penuh hikmah. Bahagia tiada susah.
Dan punya rumah semegah istana, yang diisi sepuluh anak-anak manis.
*kakak/sayang; nada manja
Selesai ditulis 120215
SRIWAH
Sebab namamu yang tak mungkin kulupa bahkan sebelum mengetahuimu sebegitu rupa. Sri Wahyuni. Adakah anak yang lupa nama ibunya sendiri? Kecuali anak buangan. Kecuali anak yang tak diharapkan.
Kau begitu histeris saat pertama kutatap kau dalam orientasi mahasiswa baru. Menjerit sungguhan. Sungguhpun kurasa kaget. Dan kau menutupnya dengan senyum manismu. Kala begitu, bentuk wajahmu kian unik penuh daya tarik. Pipimu melembung. Kantong matamu membentuk gundukan mungil, membuat matamu terlihat sipit. Seperti lentera, matamu berkilau.
Hari-hari berikutnya, saat bertemu, pasti kumenggodamu. Kau tersenyum. Kala begitu, bentuk wajahmu kian unik penuh daya tarik. Pipimu melembung. Kantong matamu membentuk gundukan mungil, membuat matamu terlihat sipit. Seperti lentera, matamu berkilau.
Senyummu tak putus-putus. Hingga saat kuutarakan bahwa aku sudah hampir tunangan dengan perempuan lain. Saat itu, mukamu membatu. Pipimu seperti mengeras. Matamu basah, terlalu basah untuk sepasang mata. Alismu mengering. Air mukamu membentuk sekolam aura beracun. Dan kuakui, racun itu berasal dari sumber beritaku.
Kata maafku tak mungkin sebegitu mudahnya kau terima. Kusadari itu. Kuberi kau waktu diam. Sebulanan. Mungkin sebab sayangmu yang sangat padaku, dengan segenap keberanian, kau hubungiku. Tentu saja aku kaget. Dan merasa bersalah. Kau begitu tulus. Masih menyayangiku meski sudah jelas-jelas kusakiti hatimu dengan belati beracun. Lalu kita menikah. Hari menjelma berkah penuh hikmah. Bahagia tiada susah. Dan punya rumah semegah istana, yang diisi sepuluh anak-anak manis.
Selesai ditulis 120215
Novita namanya. Pertama bertemu dengannya saat acara
pembukaan festival kebahasaan. Aku sebagai pembina lapangan dan dia sebagai mc
atau pemandu acara. Sesuai acaranya, maka mc menggunakan bahasa asing; arab,
inggris, mandarin. Sebelum acara dimulai, dia mendatangiku, bertanya tentang
susunan kalimatnya. Sepintas, aku sudah tertarik hanya dalam beberapa detik.
Tidak lebih dari duapuluh detik. Setelah itu aku melupakannya.
Kali kedua saat tak sengaja aku menjadi mentornya dalam
kegiatan ekstra kurikuler kampus. Di ahir pertemuan di luar jam kelas, dia
meminta nomorku. Katanya untuk konsultasi lanjutan, sebab tiga hari lagi libur
panjang.
Libur panjang tiba. Dia bertanya banyak sekali tentang apa
saja. Dan seperti yang bisa ditebak, kita saling berkisah tentang apa saja,
termasuk asmara pribadi. Inti dari komunikasi ini, aku tertarik padanya dan dia
meminta solusi agar bersama lagi dengan mantannya. Aku tidak peduli. Untuk saat
ini berkomunikasi dengannya saja sudah membuatku senang.
Dia benar-benar kembali pada mantannya.
Tiga bulan berikutnya dia datang padaku. Mengadu bahwa mantan
pacarnya tetap berlaku nakal. Rasa mangkel sudah bergumul dalam dada, tapi
kutahan-tahan. Dia nangis sebab rasa rindunya pada mantannya. Ah, lagi-lagi.
Kenapa harus nangis demi orang lain di depanku? Dan, ya, aku sadar, aku bukan
siapa. Aku hanya tempat dia bercerita. Dan aku selalu siap mendengarkan dan
menentramkannya dengan celoteh-celoteh yang entah.
Sebulan kemudian, kami saling akrab. Lebih akrab dari
sebelumnya. Mengarah pada semacam hubungan. Canda nikah mulai terlontar.
Mimpi-mimpi mulai berani kulangitkan. Kan
kujadikan kau biniku. Intrik pendekatan mulai kupelajari dan kugunakan yang
menurutku pas. Dia terlihat seperti juga menyukaiku.
Lalu kulamar dia. Dia tersenyum bangga sebelum menjawab iya.
Orangtuanya mulai menyukaiku. Tiga bulan berikutnya kami nikah. Pada hari
berkah penuh hikmah. Bahagia tiada susah serapah. Dan punya rumah semegah
istana, yang diisi sepuluh anak-anak manis.
Selesai ditulis, 130215
KOTA TUA
Suatu hari ada seorang lelaki berjalan di kota tua. Memasuki rumah tua. Menyelusuri tiap detail pada gedung, jendela, daun pintu, hingga aksesoris di dalamnya. Semuanya telah berumur tua. Kemudian lelaki itu bertemu dengan perempuan dan muncullah perbincangan berikut;
"Sepertinya hadirmu di sini diutus Tuhan untuk menjadi pendampingku. Maukah kau?"
"Mau apa?" Perempuan itu menjawab dengan pertanyaan.
"Menikah,"
"Boleh,"
Kemudian keduanya menikah. Bahagia tiada susah serapah. Segala kebutuhannya terpenuhi. Rumahnya megah bak istana dan diisi anak-anaknya yang banyak dan lucu-lucu. Sepuluh anak-anak manis.
Selesai ditulis 130215
DEE
Aku mendengarnya dari teman kosku. Bahwa ada adik tingkat yang menyukaiku. Dee. Begitu aku memanggilnya. Orangnya mungil, bermuka bulat, matanya juga bulat, cara bicaranya juga bulat, sampai-sampai mulutnya ikut membulat.
Kudekati dia. Kudatangi orangtuanya. Kuminta anaknya. Ayahnya menatapku tajam dan lama sekali. Kedipan mata ayahnya singkat dan cepat. Pertanda sedang sangat fokus menilaiku. Ayahnya hanya menanyakan satu pertanyaan dalam satu kata.
"Siap?"
Akan sangat bodoh jika aku tak paham maksudnya. Aku tak menjawab. Tapi kuulurkan tanganku.
"Saya bersedia akad sekarang." Jawabku mantab.
Maka akad dilaksanakan saat itu juga. Dee dipanggil keluar. Mata bulatnya menangis. Bahagia yang sangat. Dua tetangga dipanggil dijadikan saksi. Kami nikah. Memiliki rumah istimewa. Besar. Dan sekarang sudah berisi selusin anak kami yang nakal-nakal tapi baik. Lucu dan manis.
Selesai ditulis 140215
Tidak ada komentar:
Posting Komentar