Kinerja Administrasi Kampus Ibarat Jalannya Keong •
Dua kali ke Semarang buat ngurusi Ijazah. Awal Desember 2014
dan Ahir Januari 2015. Sedang wisudaku ahir Agustus 2013. Hingga sekarang belum
kelar. Alasannya sangat sederhana dan menurutku sangat dibuat-buat sebab tak
mau ribet.
Pertama, ijazah tidak diurus sebab belum dicap tiga jari.
(Bagaimana bisa dicap tiga jari jika ijazah dicetaknya sangat lambat? Sebulan
selepas wisuda ijazah belum dicetak? Tak mungkin kan ini kesalahan mahasiswa?
Seharusnya, seminggu sebelum wisuda ijazah sudah tercetak, urusan cap tiga jari
sudah beres, dan tanda tangan Rektor sudah rampung. Masak sih nyetak ijazah
sangat sulit? Bukannya sudah ada bagian yang mengurusinya? Apalagi ini namanya
kalau bukan males dan lalai?)
Kedua, ijazah baru bisa ditandatangani Rektor kalau ijazah sudah
dicap tiga jari. (Memangnya kenapa kalau ijazah ditandatangani Rektor lebih
dulu? Berdosa? Masuk neraka? Apa susahnya cobak?)
Ketiga, ijazah yang sudah dicap tiga jari tidak akan
dimintakan tanda tangan Rektor jika belum sampai 10 ijazah. (Loh, bukannya
lebih gampang jika lebih sedikit? Apa? Dimarahi kalau hanya terhitung jari?
Alasan apa itu? Bukankah itu sudah tugasnya?)
Sebenarnya tiga hal tersebut sudah kulengkapi semua. Hanya
saja ada satu ijazah lagi yang belum dicap tiga jari. Pemiliknya dari luar
Jawa. Tidak bisa secepatnya untuk ngurusi ijazah karena punya halangan. (Lalu,
alasan apa lagi ini? Aji nanggung? Nanggung tinggal satu. Gitu? Memangnya tidak
bisa pakai lobi-lobi kemanusiaan? Tidak bisa pengecualian-pengecualian? Agama
saja pasti memberikan pengecualian (baca: keringanan). Seperti dalam solat.
Wanita haid bebas solat. Musafir bisa mengkoring rakaat solat. Orang sakit bisa
solat duduk atau berbaring. Memangnya administrasi itu lebih agung ketimbang
Agama? Pemilik agama itu Tuhan lo! Allah lo! Masak mereka lebih hebat dari
Allah? Tidak kan?)
Kami itu tidak semuanya dekat Semarang. Tentu saja untuk ke
sana butuh biaya yang tidak sedikit. Kita juga memiliki kesibukan yang baru.
Dan yang pasti S2 kami tertunda oleh kalian. Nikah juga tertunda. Umur semakin
bertambah, sedang kalian sudah mapan. Tidakkah kalian mengaca diri? Bagaimana
jika semua keadaan ini terjadi pada anak-anak kalian? Mungkin, sepertinya,
memang harus terjadi pada anak-anak kalian. Ya, biar saja. Komunikasi seluler
sudah kugunakan. Biar kalian juga tahu, merasakan, dan memahami keadaan kami
yang begini dipersulit. Tapi semoga saja tidak. Cuman catatanku, jika minggu
ketiga Februari 2015 belum kuterima ijazahku, kudoakan semoga anak-anak kalian
juga mengalaminya. Biar tahu rasa. Biar bisa paham. Biar saja. Menunggu itu
membosankan dan membunuh! Membunuh harapan. Membunuh kepercayaan.
Surabaya, 030215
Tidak ada komentar:
Posting Komentar