Rabu, 25 Februari 2015

Mimpi yang Menjadi Nyata?

240215
Memimpikanmu lagi. Semalam.
Seluruh pembina asrama unggulan sedang rapat tentang centang berentang. Bahwa aku akan pergi berdua dengan Rini. Tujuan kepergian kami untuk liputan, seperti wartawan kawakan. Rini teman cantikku sewaktu kuliah di Semarang. Beginilah mimpi, meski kadang tidak nyambung, tapi mimpi terus berlanjut.

Sebelum rapat selesai, hapeku berderik. Fauzan yang menerima sebab posisiku sedang sibuk memimpin rapat. Telepon agak lama dan Fauzan membicarakan hasil rapat di sana. Ada yang aneh. Cara bicara Fauzan sama dengan saat dia menjelaskan secara rumit tentang masalah yang tak begitu rumit. Tentang tamparan, keinginan yang ditahan dan dipaksa, tentang kekesalan. Kau pasti ingat itu kejadian apa. Hape kuambil, suara di seberang, wanita menangis. Sesuai prediksiku, kau yang nelpon.

"...Rini itu siapa? Cantik ta? Aku tidak mau Kak Juki berduaan dengan Rini. Aku sudah berusaha agar kembali dengannya. Tidak bisakah salah satunya diganti? Rini diganti aku atau Kak Juki diganti yang lain dalam tugas kali ini. Mengapa harus..." 

Begitulah kau. Memberondong banyak tanya dan tuntutan. Bahkan kepada orang yang tidak disenangi. Kau belum sadar bahwa yang mendengar keluh kesahmu adalah aku di sini. Di seberang telepon.

"Adik," potongku, "tenanglah! Jangan hawatir! aku tidak akan meninggalkanmu." Kudiamkan, kutunggu bagaimana reaksinya.

Nangisnya yang sesegukan keras, cepat, dan memotong bicaranya tiap kata, sekarang mulai mengendur, melunak, dan menyiratkan sedikit kedamaian. "Hiks hiks hiks... Beneran, kak?"

Sebelum menjawab mataku sudah terbuka. Waktu menunjukkan pukul 0325. Sebentar lagi subuh. Aku terbangun.
***
250215
Siangnya kau menelpon. Menuduhku memiliki wanita selain dirimu. Bahwa ada siswi kelas tiga. Informasi tersebut didengar dari banyak lidah dalam banyak mulut. Lidah manusia benar-benar tak bertulang tapi berefek lebih sakit daripada pukulan tulang. Mulut-mulut busuk terus saja mengumbar informasi fiktif. Begitukah manusia? Membincang perkara oranglain yang belum jelas kebenarannya? Aku berlindung padamu ya Allah, dari lidah pendusta dan mulut penebar masalah.

Bertanya tentang keseriusanku denganmu. Sepertinya harus kuingatkan. Adik, ini pintamu, maka yakinkan diriku. Ah, mengapa kau begitu pemaksa. Tapi aku tidak mau memaksamu berubah menjadi wanita dewasa. Sebab kedewasaan akan datang bersama masalah. Harus diingat, setiap harapan dan tujuan memiliki cobaan dan rintangan. Ini hukum alam, adik. Sekali kubilang kembali, itu berarti melupakan dan meniadakan yang lain. Jika kau meragukan keputusanku, maka akan benar-benar kubuat ragu.
***
Pesan singkatmu bersarang lagi di inbox hapeku.
“Jangan tinggalin adek,”
Bismillah,
“Kakak kenapa tidak meyakinkan? Setelah kupasrahkan sama kakak. Kakak mau pergi?”
Iya, kakak akan menjaga adek. Bersama dengan adek. Selalu. Kujawab dengan alur terbalik. Bukan dari belakang ke depan, tapi dari depan ke belakang.
“Kak cepet nikah yuk! Gak usah nunggu mbak.” Aku tau kau hanya menguji dan tidak serius.
Hahahaa... ntar mbak yang marah.
“Gak mungkin. Siap gak?” Lagi,
Siap!
“Kapan kakak siap mau ke ibu?” Dan lagi,
Besok bisa. Apa sekalian kakak anter adek pulang.
“Yee, ibu masih sakit.” Nah, tidak berani kan? Sebenarnya aku tidak mau menjawab pertanyaanmu yang menguji kesungguhanku. Sebab, sekali aku bertekad, akan kuusahakan dengan lekat.
Sekalian jenguk. Kenalan dulu. Masak datang langsung minta. Sesuai prediksiku, kau tak menjawab. Sebab inginmu sudah kaudapat; keputusanku.
***
Andai kautau....

Kalimat selanjutnya ada di buku catatan harianku. Terlalu privasi jika kutulis di sini.

Jumat, 20 Februari 2015

Dua Kisah dalam Satu Mimpi Pagi

200215
Pada suatu mimpi yang pagi. Aku, kamu, Wu Lao Shi, Mayni, Ojan, dan Fahmi dalam satu mobil yang melaju kencang menerjang secepat lari kijang. Menjauhi mara bahaya yang gencar mengincar. Membuat seluruh jantung berdegub luntang-lantung. Lalu kita lolos. Selebrasinya kucium temanku yang driver.

"Ngapain sih gitu?!" Katamu membentak dengan wajah merah mengharap.

"Ini hanya..." Tak kulanjutkan kalimatku sebab aku mengerti maksudmu. Setelah memandang matamu. Kenapa aku selalu mengerti? Atau jangan-jangan hanya sok mengerti pintamu?

Badan kuangkat, kedua lengan kujulurkan, pandangan kuisi dengan air keseriusan. Kemarilah, sayang! Batinku. Kau melakukan hal yang sama. Kau duduk di bangku tengah dan aku di bangku depan. Lalu kita berciuman mempertemukan kerinduan-kerinduan yang menghantam dan menghujam. Empat bola mata terpejam. Bukan petang, tapi warna madu yang mengelilingi kita. Warna penuh gelora romansa. Kau menambah dengan bisikan-bisikan kecil.


"Bagaimana rasanya, kak?" Kau bertanya dengan sesegukan bersela senyum dan tawa ringan. Aku tak menjawab, hanya tersenyum. Kau merayuku padahal kita sedang memadu rindu? Kita terus berpangutan seperti ular berlilitan. Matamu berlinang airmata senang. Pipimu tertarik ke samping pertanda senang. Kau memeluk ringan senang.
***
Terus begitu hingga kita menembus ruang dan waktu.

Setelah kubuka mata, tidak lagi berada dalam mobil; tidak ada teman, tidak ada dia. Ciuman barusan telah mengantarkanku pada mimpi yang lain dalam tidur pagi yang satu.

Seluruh sekitar berwarna putih polos seperti dipoles. Lalu terbentuklah sebuah suasana. Seperti gambar kerayon anak kecil. Terbentuk satu-satu. Aspal, gedung, kafe, pohon, matari, bayang, mobil, semuanya seperti hantu yang tiba-tiba muncul tanpa syarat.

Aku sedang menjadi dosen di tengah jam tayang. Mahasiswaku banyak sekali. Seperti dalam film Love in Harvard. Posisi duduk mahasiswa seperti di bioskop. Semakin ke belakang semakin meninggi.

Satu mahasiswi kritis tapi memaksa. Maksudku, teori yang diajukannya tidak searah dengan pembahasan kuliah. Dia terus saja ngotot. Maka kutumpas segala alasan logisnya hingga tumpul. Sehingga seluruh mahasiswa terbahak menertawakan teori konyolnya. Lalu dia bangkit, turun dari posisi duduknya yang berada di pojok kanan atas. Wajahnya sangat familiar menurut memori otakku. Astaga! Kau...

"Tega sekali kau, kak!" Umpatnya saat berada di depanku. Mengapa aku tak menyadari sikapnya yang ngotot begitu? Suaranya yang melengking mengiris? Yang tak mau kalah?

"Adik,..." Lagi, tak mampu kulanjutkan. Matanya telah menjelaskan semuanya. Tentang manjanya, tentang rajuknya, tentang inginnya. Dia melangkah keluar kelas.

Perkuliahan kuhentikan seketika. Mimpiku telah berfokus pada satu orang. Dan seketika, suasana yang awalnya damai tiba-tiba saja menjadi riuh. Seperti gemuruh dalam dada.

"Adik,..." Dia menoleh. Sebelum beranjak menjaga jarak, kupegang tangannya dan dia langsung melompat  memelukku. Erat sekali. Tak mau lepas. "Jangan tinggalin adik, Kak," pintanya penuh rasa. "..." Aku diam, meresapi segala rasa yang dipendamnya dalam-dalam.

Pelukannya terus melekat erat. Segala rasa ditransfer lambat menjalari badanku yang kian hangat. Aku berjalan melambat seperti orang sekarat. Walau sebenarnya aku sedang dalam kondisi sehat. Aku membawanya ke kamar, kulepas pelukannya yang membuat badanku sedikit memar. Matanya memerah, senyumnya merekah, kerudungnya terlepas lemah, rambutnya terurai sedikit menutup matanya yang terkatup, air wajahnya memucat.

"Kak, jangan tinggalin adik!" Pintanya lagi dengan suara lemah. Aku tak langsung menjawab. Kudaratkan kecupan ringan di keningnya dengan tempo cukup lama.


"Jangan hawatir. Kakak sekarang bersama adek." Sambil kusingkap rambutnya dari pandangan matanya yang sayu. "Tidurlah! Kau kecapaian." Tapi tangannya tetap menggenggam erat tanganku. Seolah aku akan meninggaklannya di lembah gelap sendirian.


Lalu tidur pagiku menguar. Kesadaranku langsung tertuju padanya. Ah, pasti dia sedang merindu. Aku terbangun dari tidurku. Lalu kutulis sebagai bukan catatan harian plus ditambah sedikit imajinasiku.

Senin, 16 Februari 2015

SALIGIA INFERNO

Tujuh dosa besar yang bakal menghantarkan ke neraka terpekat. Terkumpul dalam kata SALIGIA. Kudapatkan dari INFERNO karangan Dan Brown.

Superbia : kesombongan
Avaritia : keserakahan
Luxuria : hawa nafsu
Invidia : kecemburuan
Gula : kerakusan
Ira : kemarahan
Acedia : kemalasan

Masa Lalu Sudah Berlalu, Esok Tak Pernah Bosok

160216 • Setelah kau bertanya tentang masa laluku.

Tidak mau membenarkan diri atau membela diri.

Perilaku seseorang sangat tergantung pada keadaan sekitarnya. Tidak bisa disamakan antara keadaan orang yang di kota besar dengan orang yang berdomisili di pesanren. Kondisi yang berbeda akan menghasilkan patokan nilai yang berbeda pula.

Sekali lagi itu semua masa lalu.

Hanya saja, masa lalu seseorang terkadang sangat kelam dan kejam untuk diungkap.

Begitulah kejujuran, kadang manis, tapi lebih sering pahit, bebab aku bukan Nabi yang maksum, bukan Rasul yang agung, apalagi Malaikat yang suci. Aku hanya manusia biasa yang tak bebas dari dosa. Adalah hal biasa manusia pernah berbuat dosa. Yang luar biasa ialah manusia yang berbuat dosa, kemudian menyadari kekeliruannya, dan berniat tidak akan mengulangi lagi, serta dibuktikan dengan perilaku pribadinya saat ini sebagai bentuk proses, langkah menuju taubat.

Aku sengaja tidak bertanya padamu tentang masa lalumu, bukan karena apa, tapi semua masa lalumu akan kupeluk seluruhnya, baik maupun buruk. Sebenarnya, masa lalumu adalah milikmu, saat ini milikmu, esok milik kita. Jika memang ditakdirkan bersama. Saat itulah aku berhak membimbingmu dalam pagar agama, bukan pada nafsu keserakahan atau kesesatan. Tapi jika bukan takdir, hari esok tetaplah milikmu. Lakum dinukum waliyadin. Lakukan semaumu! Berbuat baikkah, berbuat burukkah.

Yah, kusadari dulu aku memang nakal. Tapi, saat kau tanya berapa kali. Bisa kupastikan bahwa jawabanku termasuk sedikit, jika dilihat dari kacamata orang yang bersosial di kota besar. Tentu tidak kunafikan orang lain yang lebih baik dariku. Dan kutahu orang yang lebih baik dariku di kota besar adalah ada, mungkin sedikit. Aku tak tau.

Nah! Begitulah! Silahkan! Ambil keputusan! Sekadar mengingatkan, bersikaplah dewasa, menentukan jawaban dengan cermat, bukan saat emosi. Dan sebagai catatan, bohong bukanlah jalanku. Setidaknya aku sedang belajar. Belajar jujur. Jika tidak sesuai dengan inginmu, tentu aku tak bisa memaksa, dan tidak mau memaksa. Karena dirimu adalah kuasamu. Kini, hari esok masih lah milikmu.


*kesempatan terahir?

Lima Cerita tentang Cerita Lima Manusia

NAILA
Namanya Akmala tapi kupanggil Naila atau Nela. Pertama aku bertemu dengannya di kampus tosca. Seperti sudah diatur, jadwal kuliahku selalu bersebelahan kelas dengannya. Naila orangnya pemalu tapi kadang juga pemberani. Malu saat kudekati dan berani memanggilku dengan sebutan oppa* saat jauh. Sepertinya, panggilannya memang sengaja dilontarkan dalam jarak pendengaranku, supaya dapat kudengar. Jinak-jinak merpati.

Aku bukan lelaki cemen. Seolah dia memberi lampu hijau, kudatangi kelasnya. Saat itu dosennya tidak ada, entah kemana. Kuajak berbincang beberapa mahasiswa sekelasnya. Tentang apa saja. Niatku cuma satu; ingin bicara dengan Naila. Satu kursi panjang tersiapkan di depan kelas. Fungsinya untuk menunggu datangnya dosen. Tiga mahasiswi duduk di sana.

"Kosong? Siapa dosennya? Kuliah apa?" Memang sengaja kujejal banyak pertanyaan. Satu tanya kusiapkan buat satu orang. Tapi sepertinya tidak berhasil.

"Alaaahh, tidak perlu basa basi, mau ketemu Akmala kan, eh Naila kan? Neell... keluar bentar gih! Nih ada tamu dari Pluto." Bibah, mahasiswa yang suka blak-blakan langsung nyerocos tak berpagar.

Naila keluar kelas. Wajahnya bercampur malu, takut, senang, dan pucat. Rasa malunya terlihat jelas dari raut tipis di pipinya yang ditarik-kembungkan. Rasa takutnya terdengar dari degup jantungnya yang patah-patah. Rasa senangnya terlihat dari raut alisnya yang sedikit terangkat, pertanda semangat. Dan wajah pucatnya tercermin dari air mukanya yang kusut. Sepertinya Naila kecapekan. Dia menjadi ketua panitia seminar nasional tentang gender tiga hari yang lalu.

"Ada apa, Mas?" Bibirnya bertanya kaku.

Aku diam tak menjawab. Tersenyum memandang matanya. Lalu Naila juga diam tak bersuara. Hanya tersenyum memandang mataku. Seolah seluruh kata telah lenyap ditelan angin, seluruh suara ditelan makna. Dan makna teragung dalam bicara ialah tanpa kata, tanpa suara. Kita semua saling paham hanya dengan saling tatap. Hingga esok hari. Hingga kita menikah di hari berkah penuh hikmah. Bahagia tiada susah. Dan punya rumah semegah istana, yang diisi sepuluh anak-anak manis.

*kakak/sayang; nada manja
Selesai ditulis 120215

SRIWAH
Sebab namamu yang tak mungkin kulupa bahkan sebelum mengetahuimu sebegitu rupa. Sri Wahyuni. Adakah anak yang lupa nama ibunya sendiri? Kecuali anak buangan. Kecuali anak yang tak diharapkan.

Kau begitu histeris saat pertama kutatap kau dalam orientasi mahasiswa baru. Menjerit sungguhan. Sungguhpun kurasa kaget. Dan kau menutupnya dengan senyum manismu. Kala begitu, bentuk wajahmu kian unik penuh daya tarik. Pipimu melembung. Kantong matamu membentuk gundukan mungil, membuat matamu terlihat sipit. Seperti lentera, matamu berkilau.

Hari-hari berikutnya, saat bertemu, pasti kumenggodamu. Kau tersenyum. Kala begitu, bentuk wajahmu kian unik penuh daya tarik. Pipimu melembung. Kantong matamu membentuk gundukan mungil, membuat matamu terlihat sipit. Seperti lentera, matamu berkilau.

Senyummu tak putus-putus. Hingga saat kuutarakan bahwa aku sudah hampir tunangan dengan perempuan lain. Saat itu, mukamu membatu. Pipimu seperti mengeras. Matamu basah, terlalu basah untuk sepasang mata. Alismu mengering. Air mukamu membentuk sekolam aura beracun. Dan kuakui, racun itu berasal dari sumber beritaku.

Kata maafku tak mungkin sebegitu mudahnya kau terima. Kusadari itu. Kuberi kau waktu diam. Sebulanan. Mungkin sebab sayangmu yang sangat padaku, dengan segenap keberanian, kau hubungiku. Tentu saja aku kaget. Dan merasa bersalah. Kau begitu tulus. Masih menyayangiku meski sudah jelas-jelas kusakiti hatimu dengan belati beracun. Lalu kita menikah. Hari menjelma berkah penuh hikmah. Bahagia tiada susah. Dan punya rumah semegah istana, yang diisi sepuluh anak-anak manis.
Selesai ditulis 120215

NOVITA
Novita namanya. Pertama bertemu dengannya saat acara pembukaan festival kebahasaan. Aku sebagai pembina lapangan dan dia sebagai mc atau pemandu acara. Sesuai acaranya, maka mc menggunakan bahasa asing; arab, inggris, mandarin. Sebelum acara dimulai, dia mendatangiku, bertanya tentang susunan kalimatnya. Sepintas, aku sudah tertarik hanya dalam beberapa detik. Tidak lebih dari duapuluh detik. Setelah itu aku melupakannya.

Kali kedua saat tak sengaja aku menjadi mentornya dalam kegiatan ekstra kurikuler kampus. Di ahir pertemuan di luar jam kelas, dia meminta nomorku. Katanya untuk konsultasi lanjutan, sebab tiga hari lagi libur panjang.

Libur panjang tiba. Dia bertanya banyak sekali tentang apa saja. Dan seperti yang bisa ditebak, kita saling berkisah tentang apa saja, termasuk asmara pribadi. Inti dari komunikasi ini, aku tertarik padanya dan dia meminta solusi agar bersama lagi dengan mantannya. Aku tidak peduli. Untuk saat ini berkomunikasi dengannya saja sudah membuatku senang.

Dia benar-benar kembali pada mantannya.

Tiga bulan berikutnya dia datang padaku. Mengadu bahwa mantan pacarnya tetap berlaku nakal. Rasa mangkel sudah bergumul dalam dada, tapi kutahan-tahan. Dia nangis sebab rasa rindunya pada mantannya. Ah, lagi-lagi. Kenapa harus nangis demi orang lain di depanku? Dan, ya, aku sadar, aku bukan siapa. Aku hanya tempat dia bercerita. Dan aku selalu siap mendengarkan dan menentramkannya dengan celoteh-celoteh yang entah.

Sebulan kemudian, kami saling akrab. Lebih akrab dari sebelumnya. Mengarah pada semacam hubungan. Canda nikah mulai terlontar. Mimpi-mimpi mulai berani kulangitkan. Kan kujadikan kau biniku. Intrik pendekatan mulai kupelajari dan kugunakan yang menurutku pas. Dia terlihat seperti juga menyukaiku.

Lalu kulamar dia. Dia tersenyum bangga sebelum menjawab iya. Orangtuanya mulai menyukaiku. Tiga bulan berikutnya kami nikah. Pada hari berkah penuh hikmah. Bahagia tiada susah serapah. Dan punya rumah semegah istana, yang diisi sepuluh anak-anak manis.
Selesai ditulis, 130215

KOTA TUA
Suatu hari ada seorang lelaki berjalan di kota tua. Memasuki rumah tua. Menyelusuri tiap detail pada gedung, jendela, daun pintu, hingga aksesoris di dalamnya. Semuanya telah berumur tua. Kemudian lelaki itu bertemu dengan perempuan dan muncullah perbincangan berikut;

"Sepertinya hadirmu di sini diutus Tuhan untuk menjadi pendampingku. Maukah kau?"

"Mau apa?" Perempuan itu menjawab dengan pertanyaan.

"Menikah,"

"Boleh,"

Kemudian keduanya menikah. Bahagia tiada susah serapah. Segala kebutuhannya terpenuhi. Rumahnya megah bak istana dan diisi anak-anaknya yang banyak dan lucu-lucu. Sepuluh anak-anak manis.
Selesai ditulis 130215

DEE
Aku mendengarnya dari teman kosku. Bahwa ada adik tingkat yang menyukaiku. Dee. Begitu aku memanggilnya. Orangnya mungil, bermuka bulat, matanya juga bulat, cara bicaranya juga bulat, sampai-sampai mulutnya ikut membulat.

Kudekati dia. Kudatangi orangtuanya. Kuminta anaknya. Ayahnya menatapku tajam dan lama sekali. Kedipan mata ayahnya singkat dan cepat. Pertanda sedang sangat fokus menilaiku. Ayahnya hanya menanyakan satu pertanyaan dalam satu kata.

"Siap?"

Akan sangat bodoh jika aku tak paham maksudnya. Aku tak menjawab. Tapi kuulurkan tanganku.

"Saya bersedia akad sekarang." Jawabku mantab.

Maka akad dilaksanakan saat itu juga. Dee dipanggil keluar. Mata bulatnya menangis. Bahagia yang sangat. Dua tetangga dipanggil dijadikan saksi. Kami nikah. Memiliki rumah istimewa. Besar. Dan sekarang sudah berisi selusin anak kami yang nakal-nakal tapi baik. Lucu dan manis.

Selesai ditulis 140215

Selasa, 10 Februari 2015

Tentang kalau saya, mas, Cerita tua, Dua awal, Dalam kelas ujian, dan Masalah?

Kalau Saya, Mas,•310115•Semarang
Tentang orang yang terhipnotis kemampuannya sendiri. Mereka tidak tertarik membahas orang lain kecuali keburukannya. Hanyalah koral kerang kebaikan tipis yang selalu dibanggakan. Sudah lupa bahwa koral kerang dapat dengan mudah melukai kulit. Aku malah hawatir, mereka menjadi jahiliyah. Kaum berpendidikan tapi miskin hati. Bangga diri menjelma kesombongan, menuju keserakahan, berahir dalam kesesatan. Na'udzubillah. Kami berlindung di bawah payungmu, ya Allah. Amin. Jadilah itu semua menjadi kaca benggala bagi kita semua.

Cerita Tua•290115•Semarang
Langit pagi Semarang di jalan tidak ada merah. Matari dibungkus langit kelabu tua. Lalu langit pecah dan bolong-bolong seperti kain tua. Cahyanya jatuh seperti air tua yang disaring. Mahasiswa tua baru diwisuda. Rambutnya sudah bercampur putih. Semesternya sudah ringkih. Teman seangkatan hadir membawa isteri dan anaknya yang lucu. Lantas dia tertawa hingga menangis. Hingga mati.

Dua Awal•220115•Probolinggo
Semalam aku melihatnya seperti...melihat dewi yang bangun dari tidur panjangnya. Matanya sipit seperti mata kelinci yang ditarik. Hidungnya lancip bak paruh burung hantu, biar mungil tetap proporsional. Bibirnya tipis membentuk guratan seperti daun yang dilipat diiris. Pipinya tirus seolah wajahnya terbuat dari balon yang dipaksa untuk dipipihkan, menyiratkan keanggunan yang dalam. Dagu lancipnya membuat lelaki ingin menyentuhnya. Akumulasi dari kesemuanya mengindikasikan bahwa dia adalah wanita yang cukup layak dicintai.

Dalam Kelas Ujian•120115•Probolinggo
Saat ujian aku mengawasi. Mau kerja sama, nyontek, mikir keras, atau apalah terserah mereka. Kuperbolehkan. Hanya satu instruksiku. Jangan ramai! Sayang sekali, pita suara mereka terlalu tipis. Mengapa pelajar sekarang susah sekali untuk tenang di kelas?

Masalah?•110115•Probolinggo

Setiap yang hidup pasti mendapat masalah. Dari segi kesehatan, keuangan, asmara, dan sosial. Jika orang itu baik dan mampu melewatinya, niscaya derajadnya meninggi. Dan sedikit sekali yang menyadarinya. Semoga kita termasuk bagian dari yang sedikit.

Senin, 09 Februari 2015

Nafsuku Tuhanku



Nafsuku Tuhanku • 22 Januari 2015•

Entahlah, tahun 90an, orang pacaran hanya berani pegangan tangan. Jika pacarnya mendatangi rumahnya, si wanita malah hanya berani mengintip malu-malu dari jendela kamar. Yang menemui di ruang tamu adalah sang ayah. Pacarnya pun -sebenarnya bukan pacar, tapi tunangan- berbincang santai dengan ayah si wanita. Si wanita hanya mampu bertemu bertatap muka saat memberi kopi atau teh yang dihidangkan. Setelah itu kembali lagi ke dalam, masuk kamar, mengintip lagi dari jendela kamarnya, dengan mulut penuh senyum bahagia. Indahnya.

Memasuki tahun milinium, orang pacaran mulai biasa memeras dada. Sekarang (saat kutulis catatan ini) tahun 2015 awal, tentu saja pacaran tak berciuman berupa aib dalam pacaran. Bahkan orang tak punya pacar termarginalkan bak manusia gagal mental. Bisa dibilang, sekaranglah masa gemilang bagi nafsu berahi. Banyak manusia telah tunduk diperbudak kenikmatan dunia yang sesaat. Moral menjadi barang langka.

Entah bagaimana orang pacaran sekarang. Ah, ya, hampir kulupa. Kau, wahai yang membaca catatan ini, sekarang tahun berapa? Bagaimana pacarannya? Atau nikah sudah menjadi barang usang?

*catatan ini dirancang tahan lama dan dibaca manusia selanjutnya. Seperti catatan harian Ahmad Wahib dan Soe Hok Gie

Tentang masa lalu yang datang menghantui



030215 •
Jalan mana yang kaupilih saat kau berada di persimpangan?
Tiga jalan membentang. Satu jalan bercahaya remang. Satu lagi gelap. Satu lagi sudah kauhapal, bercahaya terang atau gelap di dalamnya, jalan yang pernah kaulalui, jalan yang mengantarmu hingga berada di persimpangan.
Jalan mana yang kaupilih?

Pada kisahnya, seseorang sudah mulai move on dari mantannya. Mantan adalah jalan yang pernah kaulalui dan sudah sedikit banyak kauhapal belokan dan tanjakannya. Jalan pulang yang juga ditawarkan dengan manis. Jalan bercahaya remang adalah wanita baru yang mulai didekati. Bagaimanapun masa depan tidak ada yang gelap atau terang jelas, tentunya masih remang. Bisa cocok bisa tidak. Jalan ketiga adalah jalan alternative dari keduanya; yaitu mencari lagi yang masih belum ketemu.
Jalan mana yang kaupilih?


060215 •
Memang cocok jika perasaan membingungkan pikiran dan logika. Sebab tidak selajur antara perasaan dan pikiran. Oleh sebab itu ada yang bilang cinta itu buta. Walau begitu, adakah yang siap bingung sepanjang hidup? Siap buta selama-lama?
Maaf, tapi aku tak mau bingung dan buta dalam menjalani hidup. Malah seharusnya perasaanlah yang menjadi lentera. Mencipta mukjizat. Menuntun hidup menuju kebahagiaan yang tak kenal buram. Dialah Dia.

070215 •
Tidak ada yang lebih indah daripada bertemu sang kekasih dan tidak ada yang lebih menyakitkan daripada dipermainkan sang kekasih.

Minggu, 08 Februari 2015

Keputusan



Probolinggo, 250115

Saat kuputuskan meninggalkanmu bukan berarti aku tidak menyukaimu atau membencimu. Hanya saja, aku merasa bersalah dan berbohong pada diriku sendiri jika hubungan ini dilanjutkan. Ini juga mengapa aku tidak memberikan kepastian yang melegakan. Ada bisikan setan yang menyuruhku denganmu saat itu. Memperalatmu guna menegaskan kesombonganku.

20 01 15 kau memaksaku memperjelas hubungan. Lalu kita jadian dengan kata yang sungguh jelas. Sungguh sangat jelas. Sesungguhnya aku rentan dalam hubungan. Maksudku, benarkah kita menjalani hubungan yang baik? Yang tidak akan mencari hati lain? Dan bergelut dengan kemesraan dan rasa rindu yang palsu?

Lalu, kaubertanya tentang isu bahwa aku suka meloncat dari hati satu ke hati dua dan tiga hingga keempat. Tak kujawab, sebab aku sedikit merasa begitu. Kautanya juga tentang bisakah aku menjaga hatimu. Tak kujawab juga. Hanya mengulur jawaban hingga layangan putus. Hingga hubungan kita patah. Lepas.

23 01 15. Untuk menjawab semuanya kutulis begini di salah satu dinding media individu. "Bersamamu menyakitiku. Lalu menyakitimu. Aku adalah kodok yang suka meloncat. Tapi aku bukan pangeran." Hari berikutnya kusampaikan padamu. Aku tahu itu akan menjadi pukulan yang menghantam. Seolah aku mempermainkanmu. Apa mau dikata, sepertinya aku cukup layak sebagai lelaki bajingan. Lelaki yang sibuk merayu dengan tujuan memenuhi janji kecongkakan.

Aku tahu kata maaf memang tidak akan menghapus kesalahan. Tidak akan pernah sanggup. Tapi maafkanlah. Maafkan tentang rayuanku dulu. Maafkan kangenku dulu. Maafkan. Hadiahku padamu hanya mampu memberi sumpah kebahagiaan.

Semogalah kau bahagia. Semogalah aku juga bahagia. Kita berjalan di jalur bahagia di lain jalur yang juga bahagia. Tidak ada pengharapan lain dari kita daripada bahagia yang bertahan hingga menua. Bahagialah kita yang berjalan di jalur jujur. Sebab kejujuran adalah jalur terjelas menuju lajur kebahagiaan.