240215
Memimpikanmu
lagi. Semalam.
Seluruh
pembina asrama unggulan sedang rapat tentang centang berentang. Bahwa aku akan
pergi berdua dengan Rini. Tujuan kepergian kami untuk liputan, seperti wartawan
kawakan. Rini teman cantikku sewaktu kuliah di Semarang. Beginilah mimpi, meski
kadang tidak nyambung, tapi mimpi terus berlanjut.
Sebelum
rapat selesai, hapeku berderik. Fauzan yang menerima sebab posisiku sedang
sibuk memimpin rapat. Telepon agak lama dan Fauzan membicarakan hasil rapat di sana. Ada yang aneh. Cara bicara Fauzan sama
dengan saat dia menjelaskan secara rumit tentang masalah yang tak begitu rumit.
Tentang tamparan, keinginan yang ditahan dan dipaksa, tentang kekesalan. Kau
pasti ingat itu kejadian apa. Hape kuambil, suara di seberang, wanita
menangis. Sesuai prediksiku, kau yang
nelpon.
"...Rini
itu siapa? Cantik ta? Aku tidak mau Kak
Juki berduaan dengan Rini. Aku
sudah berusaha agar kembali dengannya.
Tidak bisakah salah satunya diganti? Rini diganti aku atau Kak Juki diganti
yang lain dalam tugas kali ini. Mengapa harus..."
Begitulah kau. Memberondong banyak tanya dan tuntutan. Bahkan kepada orang yang tidak disenangi. Kau belum sadar bahwa yang mendengar keluh kesahmu adalah aku di sini. Di seberang telepon.
Begitulah kau. Memberondong banyak tanya dan tuntutan. Bahkan kepada orang yang tidak disenangi. Kau belum sadar bahwa yang mendengar keluh kesahmu adalah aku di sini. Di seberang telepon.
"Adik,"
potongku, "tenanglah! Jangan hawatir! aku tidak akan meninggalkanmu."
Kudiamkan, kutunggu bagaimana reaksinya.
Nangisnya
yang sesegukan keras, cepat, dan memotong bicaranya tiap kata, sekarang mulai
mengendur, melunak, dan menyiratkan sedikit kedamaian. "Hiks hiks hiks...
Beneran, kak?"
Sebelum menjawab mataku sudah terbuka. Waktu
menunjukkan pukul 0325. Sebentar lagi subuh. Aku terbangun.
***
250215
Siangnya
kau menelpon. Menuduhku memiliki wanita selain dirimu. Bahwa ada siswi kelas
tiga. Informasi tersebut didengar dari banyak lidah dalam banyak mulut. Lidah manusia
benar-benar tak bertulang tapi berefek lebih sakit daripada pukulan tulang. Mulut-mulut
busuk terus saja mengumbar informasi fiktif. Begitukah manusia? Membincang perkara
oranglain yang belum jelas kebenarannya? Aku berlindung padamu ya Allah, dari
lidah pendusta dan mulut penebar masalah.
Bertanya
tentang keseriusanku denganmu. Sepertinya harus kuingatkan. Adik, ini pintamu,
maka yakinkan diriku. Ah, mengapa kau begitu pemaksa. Tapi aku tidak mau
memaksamu berubah menjadi wanita dewasa. Sebab kedewasaan akan datang bersama
masalah. Harus diingat, setiap harapan dan tujuan memiliki cobaan dan
rintangan. Ini hukum alam, adik. Sekali kubilang kembali, itu berarti melupakan
dan meniadakan yang lain. Jika kau meragukan keputusanku, maka akan benar-benar
kubuat ragu.
***
Pesan singkatmu
bersarang lagi di inbox hapeku.
“Jangan
tinggalin adek,”
Bismillah,
“Kakak kenapa
tidak meyakinkan? Setelah kupasrahkan sama kakak. Kakak mau pergi?”
Iya,
kakak akan menjaga adek. Bersama dengan adek. Selalu. Kujawab dengan alur
terbalik. Bukan dari belakang ke depan, tapi dari depan ke belakang.
“Kak
cepet nikah yuk! Gak usah nunggu mbak.” Aku tau kau hanya menguji dan tidak
serius.
Hahahaa...
ntar mbak yang marah.
“Gak mungkin.
Siap gak?” Lagi,
Siap!
“Kapan kakak
siap mau ke ibu?” Dan lagi,
Besok bisa.
Apa sekalian kakak anter adek pulang.
“Yee,
ibu masih sakit.” Nah, tidak berani kan? Sebenarnya aku tidak mau menjawab
pertanyaanmu yang menguji kesungguhanku. Sebab, sekali aku bertekad, akan
kuusahakan dengan lekat.
Sekalian
jenguk. Kenalan dulu. Masak datang langsung minta. Sesuai prediksiku, kau
tak menjawab. Sebab inginmu sudah kaudapat; keputusanku.
***
Andai kautau....
Kalimat
selanjutnya ada di buku catatan harianku. Terlalu privasi jika kutulis di sini.