Jumat, 21 Juni 2013

Resensi Rantau 1 Muara

Kemantapan Menjalani Hidup dan Geliat Cinta Alif
Rantau 1 Muara adalah buku ketiga dari trilogi Negeri 5 Menara. Semangat yang dibawa Ahmad Fuadi tidak jauh beda dengan dua novel sebelumnya; semangat memperjuangkan tujuan hidup. Novel ini lebih menantang. Jika di Negeri 5 Menara Alif mengamalkan mantra kesungguhan “man jadda wajada” siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil, dalam Ranah 3 Warna masa perkuliahan Alif yang dengan sabar betul untuk mendapat momen-momen paling berkesan dalam hidup; studi banding ke Kanada, maka di novel ketiganya, Fuadi membawa Alif ke Negeri Paman Sam.
Mantra ampuh dalam buku terakhir berupa kemantapan menempuh jalan hidup. “man shaara ala darbi washala” siapa yang berjalan di jalannya akan sampai ke tujuan. Inilah masa dimana Alif begitu pening menghadapi hidupnya. Alif menjadi sarjana yang memiliki keilmuan yang cukup berkompeten. Tetapi dia lulus pada waktu yang tidak tepat; krisis moneter. Semua bentuk kerja menjadi sulit. Banyak karyawan yang di-PHK.
Selama kuliah, Alif biasa mendapat tambahan uang hasil dari menulis di media. Krisis moneter memaksa redaktur pelaksana koran Suara Bandung untuk menguruskan koran; halaman dikurangi dan bentuk koran diperkecil. Walhasil Suara Bandung tidak lagi menerima artikel dari penulis luar yang artinya tulisan Alif tidak akan dimuat lagi (hlm. 11-19). Dari sini Alif juga terkena imbas krisis moneter.
Sejak itu, Alif berusaha sekuat tenaga untuk melamar pekerjaan. Tetapi keadaan sungguh tidak mendukung, memaksa Alif untuk hutang sana-sini untuk menghidupi kehidupannya sendiri. Kehidupan Alif berada di titik nadzir. Lelaki berbadan tegap dengan tato di lengannya mendatangi kosnya.  Lelaki itu adalah penagih hutang, debt collector. Tetapi sore harinya, Alif kedatangan surat yang cukup mengademkan hatinya; surat wawancara dari Majalah Derap, majalah nomor satu di Indonesia.
Kesungguhan Alif mencari kerja membuahkan hasil. Ia diterima sebagai wartawan majalah yang kerap dibredel orde baru itu. Di sini lah Alif berkembang pesat. Independensi benar-benar dijunjung dan berpihak pada kebenaran. Alif merasa menjadi super hero pembela kaum tertindas. Banyak tantangan yang kerap mengintimidasi wartawan Derap. Mas Aji sebagai senior selalu memberi suntikan-suntikan penyubur karakter. Wartawan Derap tidak boleh mendapat sogokan berupa apapun jenisnya, jelas Mas Aji.
Tiga bulan lebih Alif menjadi wartawan Majalah Derap. Secara jujur, Alif mengaku senang bekerja sebagai wartawan, tetapi Alif menginginkan gaji yang lebih besar. Alif juga menghidupi adik dan amaknya di Padang. Alif memantapkan jalan hidupnya, dia bertekad meneruskan studinya S2 di Amerika, mengincar beasiswa penuh dari Fulbright. Berkat bantuan Pasus dan Dinara, perempuan bermata indah yang selalu menggetarkan hatinya, Alif lulus seleksi dan terbang ke Amerika.
Dinara tidak bisa lepas dari ingatan Alif. Hubungan mereka berdua telah sangat akrab. Orang-orang kantor dengan terang-terangan mendikte hati mereka untuk bersatu. Tidak bisa dipungkiri, Dinara juga memiliki hati padanya. Alif tidak ingin kehilangan wanita yang selalu meneror hatinya. Ia memberanikan diri mengungkap isi hatinya lewat tulisan, chatting internet (hlm. 234-240).
Seperti wanita lainnya, saat Alif mengungkap isi hatinya, Dinara tidak langsung menjawab. Menggantung. Tetapi hati mereka telah lama bersatu. Akhirnya Dinara dan Alif sepakat melanjutkan hubungannya dalam ikatan suci, pernikahan. Tetapi tidak mudah menembus hati bapak Sutan Rangkayo Basa, ayah Dinara. Dengan bantuan ibu Dinara, akhirnya hati sang bapak luluh juga dan menyetujui anak gadisnya dipersunting Alif.
Alif membawa Dinara ke tanah Paman Sam. Di sana keluarga kecil ini banyak terbantu oleh lelaki bernama lakob Garuda. Lelaki ini adalah seorang yang baik hati, pekerja tekun, dan friendly. Garuda bak malaikat bagi Alif. Telah banyak sekali Alif dibantunya, mulai memberikan tumpangan kos, memasakkan, dan merawatnya kala sakit. Mas Garuda menganggap Alif sebagai adiknya. Ia merasa Alif sangat mirip dengan adiknya yang telah lama meninggal.
Tragedi menggeparkan, hancurnya gedung WTC, membuat suasana kian tak tentu. Mas Garuda hilang entah kemana. Alif telah berusaha mati-matian mencari sosok yang telah dianggapnya sebagai abangnya sendiri. Penjagaan Negara semakin ketat, tidak ada seorang pun diperbolehkan masuk ke area reruntuhan gedung. Untungnya Alif dan Dinara diperbolehkan dengan alasan sebagai wartawan. Tetapi hasilnya tetap nihil, Garuda tak ketemu dimana ia hinggap.
Mantra kemantapan hidup yang dibawa oleh Fuadi bermuara pada jalan yang diridhai Tuhan. Semangat religiusitas tak luput dari sentuhan indah. Novel ini sungguh memberikan suntikan semangat kesungguhan dan kemantapan menjalani hidup. Maksud dari jalan yang tepat di sini adalah memiliki rencana masa depan yang jelas. Dalam jangka lima tahun ke depan, kita akan menjadi apa. Di sana lah, pembaca diajak menerawang masa depannya sendiri. “Novel ini sangat cocok bagi mereka yang sedang mencari kerja, mencari jodoh, dan mencari tujuan hidup” begitu Ahmad Fuadi menuturkan. Akan kemana hidup kita bermuara?
Data Buku
Judul : Rantau 1 Muara
Penulis : Ahmad Fuadi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : Pertama, Mei 2013
Tebal : xii + 405 Halaman

Harga : Rp. 75.000,00
Peresensi: Achmad Marzuki, bisa dihubungi di twitter @JuckyAntik
*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar