Rabu, 19 Juni 2013

Resensi Doa untuk Anak Cucu


Sajak Rendra yang Tertinggal

Dalam dunia sastra, nama Rendra bukanlah nama baru apalagi nama asing. Tokoh bernama lengkap Willybrordus Surendra Bhawana Rendra Brotoatmojo ini telah santer di dunia persajakan. Rendra telah mengguncang pelbagai macam panggung. Lelaki yang lahir pada Kamis Kliwon, 7 November 1935 ini begitu mewarnai kancah puisi yang berkarakter pemberontak dan penggerak. Pada masa orde baru, ia kerap dikawal ke rumah jeruji karena sikap sajaknya yang berani melawan arus.
Rendra telah banyak menelurkan sajak-sajak penggerak pemuda bangsa menuju kemerdekaan jiwa. Namun, tidak semua sajak-sajaknya dibukukan. Pernah seorang pengagum Rendra mencari sajaknya yang pernah digubah di atas suatu pentas, tetapi tidak ditemukan di buku manapun. Dan buku berjudul Do’a untuk Anak Cucu terbitan Bentang Pustaka ini adalah pamungkas kumpulan sajaknya yang membuat darah meradang.
Sebuah puisi yang tidak dimasukkan dalam kumpulan rumpun puisi yang dibukukan, bagi Rendra, puisi tersebut telah kokoh berdiri sendiri. Artinya puisi atau sajak tidak sekadar hasil kerja karya sastra belaka, melainkan telah menjadi hidup dan selalu berdampingan dalam kehidupan Rendra sendiri. Tidak jarang Rendra merefleksikan puisi-puisinya pada dirinya sendiri. Kontemplasi selalu dilakukannya pada malam hari. Seperti duduk bersila dengan mata terpejam, kemudian meraba setiap jengkal anggota badannya. Rendra menamainya ilmu nggrayang rogo “meraba raga” (hlm. 68).
Ada beberapa  karyanya yang cukup mendedah perekonomian indonesia kala itu. Sejumlah empat sajak; kakawin-kawin, malam stanza, nyanyian dari jalanan, dan sajak-sajak dua belas perak. Keempat sajaknya dijadikan satu buku oleh soedjatmoko diberi judul empat kumpulan sajak, dan Rendra menyetujuinya. Empat sajak yang lahir pada akhir tahun 70-an tidak diperkenankan terbit oleh rezim orde baru. Tetapi Rendra masih berani membacanya di atas panggung.
Salah satu sajaknya yang memanggang pemerintah adalah puisinya yang berjudul Oposisi. Di dalamnya mengandung sebuah kemerdekaan yang ingin lepas dari jeratan hukum rimba. Dalam dunia politik oposisi diperlukan guna memantau kinerja pejabat. Oposisi bukan sekadar regu yang selalu membantah pemangku jabatan. Tidak. Oposisi yang dibawa Rendra adalah oposisi menuju kesejahteraan bersama. Kesejahteraan rakyat.
.....adalah tugasmu//untuk menyusun peraturan//yang sesuai dengan nurani kami//kamu wajib memasang telinga,//-selalu//untuk mendengar nurani kami//sebab itu, kamu membutuhkan oposisi//oposisi adalah jendela bagi kamu// oposisi adalah jendela bagi kami//tanpa oposisi: sumpek//tanpa oposisi: kamu akan terasing dari kami//tanpa oposisi, akan kamu dapati gambaran palsu tentang dirimu//tanpa oposisi kamu akan sepi dan onani// (hlm. 11).
Tidak seperti penyair lainnya yang suka memainkan keindahan puisi melalui kata-katanya yang abstrak. Rendra lebih menyukai kata-kata yang sederhana dan mudah dipahami. Karena semuah hasil karya untuk dipahami orang lain, bukan untuk membuatnya bingung, begitu alasan Rendra mencipta puisi dengan kata-kata ringan. Dengan kata-kata ringan inilah Rendra meledakkan imaji pembaca.
Buku ini tidak hanya berisi kumpulan sajak Rendra yang belum perbah diterbitkan, tetapi juga memuat biografi singkat Sang Burung Merak ini. Tidak semua jalan hidupnya mulus tanpa halangan. Rendra selalu saja memilki kerenggangan dengan ayahnya. Setiap bertemu pasti menimbulkan percekcokan kecil. Namun Rendra akhirnya sadar bahwa sesungguhnya ia sangat mirip dengan ayahnya; keras kepala (hlm. 70-71).
Sebanyak 22 judul puisi pilihan terangkum dalam buku kecil ini. Walau masih ada sajak Rendra yang belum terbit, tetapi buku ini berisi sajak Rendra yang disimpan rapi oleh istri tercintanya, Ken Zuraida. Diharapkan dengan munculnya buku mungil ini, akan merebak sastrawan-sastrawan muda lainnya yang tak kalah dari Rendra, penggoncang pentas dan  pendebar pendengar. Buku ini juga dilengkapi beberapa foto Rendra saat bersatu dengan sajak-sajaknya di atas pentas. Selamat berselancar di dunia sastra!

Data Buku
Judul: Doa untuk Anak Cucu
Penulis: WS Rendra
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: Pertama, April 2013
Tebal: 100 Halaman
Peresensi: Achmad Marzuki, Pecinta Sastra dan Budaya Nusantara, Pegiat Farabi Institute, Anggota CSS MoRA IAIN Walisongo Semarang
*Pernah tayang di Eramadina.com
http://eramadina.com/sajak-rendra-yang-tertinggal/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar