Dalam dunia sastra, nama Rendra bukanlah nama baru apalagi nama asing.
Tokoh bernama lengkap Willybrordus Surendra Bhawana Rendra Brotoatmojo ini
telah santer di dunia persajakan. Rendra telah mengguncang pelbagai macam
panggung. Lelaki yang lahir pada Kamis Kliwon, 7 November 1935 ini begitu
mewarnai kancah puisi yang berkarakter pemberontak dan penggerak. Pada masa
orde baru, ia kerap dikawal ke rumah jeruji karena sikap sajaknya yang berani
melawan arus.
Rendra telah banyak menelurkan sajak-sajak penggerak pemuda bangsa
menuju kemerdekaan jiwa. Namun, tidak semua sajak-sajaknya dibukukan. Pernah seorang
pengagum Rendra mencari sajaknya yang pernah digubah di atas suatu pentas,
tetapi tidak ditemukan di buku manapun. Dan buku berjudul Do’a untuk Anak Cucu
terbitan Bentang Pustaka ini adalah pamungkas kumpulan sajaknya yang
membuat darah meradang.
Sebuah puisi yang tidak dimasukkan dalam kumpulan rumpun puisi yang
dibukukan, bagi Rendra, puisi tersebut telah kokoh berdiri sendiri. Artinya puisi
atau sajak tidak sekadar hasil kerja karya sastra belaka, melainkan telah
menjadi hidup dan selalu berdampingan dalam kehidupan Rendra sendiri. Tidak jarang
Rendra merefleksikan puisi-puisinya pada dirinya sendiri. Kontemplasi selalu dilakukannya
pada malam hari. Seperti duduk bersila dengan mata terpejam, kemudian meraba
setiap jengkal anggota badannya. Rendra menamainya ilmu nggrayang rogo “meraba
raga” (hlm. 68).
Ada beberapa karyanya yang
cukup mendedah perekonomian indonesia kala itu. Sejumlah empat sajak;
kakawin-kawin, malam stanza, nyanyian dari jalanan, dan sajak-sajak dua belas
perak. Keempat sajaknya dijadikan satu buku oleh soedjatmoko diberi judul empat
kumpulan sajak, dan Rendra menyetujuinya. Empat sajak yang lahir pada akhir
tahun 70-an tidak diperkenankan terbit oleh rezim orde baru. Tetapi Rendra
masih berani membacanya di atas panggung.
Salah satu sajaknya yang memanggang pemerintah adalah puisinya yang
berjudul Oposisi. Di dalamnya mengandung sebuah kemerdekaan yang ingin lepas
dari jeratan hukum rimba. Dalam dunia politik oposisi diperlukan guna memantau
kinerja pejabat. Oposisi bukan sekadar regu yang selalu membantah pemangku
jabatan. Tidak. Oposisi yang dibawa Rendra adalah oposisi menuju kesejahteraan
bersama. Kesejahteraan rakyat.
.....adalah tugasmu//untuk menyusun peraturan//yang sesuai
dengan nurani kami//kamu wajib memasang telinga,//-selalu//untuk mendengar
nurani kami//sebab itu, kamu membutuhkan oposisi//oposisi adalah jendela bagi
kamu// oposisi adalah jendela bagi kami//tanpa oposisi: sumpek//tanpa oposisi:
kamu akan terasing dari kami//tanpa oposisi, akan kamu dapati gambaran palsu
tentang dirimu//tanpa oposisi kamu akan sepi dan onani// (hlm. 11).
Tidak seperti penyair lainnya yang suka memainkan keindahan puisi
melalui kata-katanya yang abstrak. Rendra lebih menyukai kata-kata yang
sederhana dan mudah dipahami. Karena semuah hasil karya untuk dipahami orang
lain, bukan untuk membuatnya bingung, begitu alasan Rendra mencipta puisi
dengan kata-kata ringan. Dengan kata-kata ringan inilah Rendra meledakkan imaji
pembaca.
Buku ini tidak hanya berisi kumpulan sajak Rendra yang belum perbah
diterbitkan, tetapi juga memuat biografi singkat Sang Burung Merak ini. Tidak semua
jalan hidupnya mulus tanpa halangan. Rendra selalu saja memilki kerenggangan
dengan ayahnya. Setiap bertemu pasti menimbulkan percekcokan kecil. Namun Rendra
akhirnya sadar bahwa sesungguhnya ia sangat mirip dengan ayahnya; keras kepala
(hlm. 70-71).
Sebanyak 22 judul puisi pilihan terangkum dalam buku kecil ini. Walau
masih ada sajak Rendra yang belum terbit, tetapi buku ini berisi sajak Rendra
yang disimpan rapi oleh istri tercintanya, Ken Zuraida. Diharapkan dengan
munculnya buku mungil ini, akan merebak sastrawan-sastrawan muda lainnya yang
tak kalah dari Rendra, penggoncang pentas dan pendebar pendengar. Buku ini juga dilengkapi
beberapa foto Rendra saat bersatu dengan sajak-sajaknya di atas pentas. Selamat
berselancar di dunia sastra!
Data Buku
Judul: Doa untuk Anak Cucu
Penulis: WS Rendra
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: Pertama, April 2013
Tebal: 100 Halaman
Peresensi: Achmad Marzuki, Pecinta Sastra dan Budaya Nusantara,
Pegiat Farabi Institute, Anggota CSS MoRA IAIN Walisongo Semarang
*Pernah tayang di Eramadina.com
http://eramadina.com/sajak-rendra-yang-tertinggal/
http://eramadina.com/sajak-rendra-yang-tertinggal/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar