Indonesia di Mata
Cak Nun
Logika yang dipakai Cak Nun cenderung terbalik dengan logika
manusia kebanyakan. Seperti saat koran-koran dan berita televisi mengabarkan
bahwa banyak pejabat-pejabat negara yang terbuka ‘kesalahannya’, keburukannya
dengan prilaku korupsi. Tidak begitu logika yang dipakai. Menurut Cak Nun,
media telah berhasil mengeluarkan ‘kebenaran’ pejabat-pejabat tersebut. Karena
sesungguhnya ‘kebenaran’ para pejabat memang begitu adanya. Para pejabat
tersebut memang benar telah melakukan kesalahan. Buku berjudul “Indonesia
Bagian dari Desa Saya” juga demikian. Secara dejure desa lah yang
merupakan bagian dari negara, bukan negara yang bagian dari desa.
Bagi Cak Nun, dunia kepenulisan adalah masa lalunya. Sekarang Cak
Nun lebih inten membina serta membentuk karakter dan pola pikir bangsa dari akar
bawah. Terbukti dengan adanya pengajian trdisionalis yang kerap diadakannya di
berbagai kota tiap bulan sekali. Pengajian tersebut dikenal dengan nama maiyahan.
Model pengajian ini juga berbeda dengan pengajian lainnya.
Dalam dunia maiyahan, semua orang dapat berbicara dengan
bebas tentang apapun sesuai kapasitas dirinya. Sikap merdeka dalam berpikir
inilah yang selalu dibawanya. Cak Nun dikenal sebagai seorang ulama yang
sekaligus budayawan dan seniman. Ia membawa persoalan-persoalan remeh dan
mendasar guna meluruskan cara pikir tunas bangsa. Gaya hedonis yang kian
merajalela di pelosok negeri jangan sampai terus dibiarkan tanpa kontrol.
Negara saat ini sudah cukup sibuk mengurusi tikus-tikus berdasi yang seolah
memiliki ilmu halimunan itu.
Modernisme ala barat telah merasuki jiwa-jiwa orang desa yang ada
di indonesia. Sebenarnya buku ini telah ditulis pada era tahun 70-an. Tetapi
keadaan yang ditulis Cak Nun ini tetap konsisten serta masih relevan dengan
kondisi bangsa sekarang. Pola pikir anak muda tetap menilai bahwa menjadi orang
modern adalah dengan membeli gadget yang datang tiap waktu. Sama dengan cerita
di halaman awal buku ini yang mengisahkan tentang orang desa yang membeli motor
tetapi kondisi rumahnya seukuran 3x4 meter
yang atapnya masih menggunakan rumbai, berdinding gedik, dan berlantai tikar. Dan
pemiliknya merasa bangga. Sangat tidak matching. (hlm. 8)
Uniknya Cak Nun telah menuliskan kata ‘narsis’ yang baru santer
pada tahun dua ribuan dalam buku yang ditulis pada tiga dekade lampau ini. Kata
narsis memang merupakan sifat alamiah manusia yang selalu ingin dikenal
eksistensinya. Cak Nun sangat sedih melihat fenomena yang terjadi zaman ini.
"Zaman edan" yang ia gambarkan tiga dekade silam membuat kepala kita
pusing, tetapi sekarang ini malah membuat kepala kita pecah! (hlm. 12) Hal ini
menandakan kondisi bangsa ini benar-benar butuh bimbingan.
Dengan dicetakulangnya buku ini seolah-olah menandakan bahwa Cak
Nun pintar meramal masa depan yang semakin karut-marut. Padahal tidak demikian,
karena tulisan Cak Nun ini hanyalah buah dari hasil manifestasi pikirannya
melihat fenomena kala itu. Seperti essai tentang Pak Kiai dan penjual cendol. Pak
Kiai kedatangan tamu istimewa, karena itu ia ingin menjamu tamunya dengan
istimewa pula. Pak Kiai ingin membeli semua cendol Pak Cendol. Tetapi Pak
Cendol menolak dengan alasan; jika cendolnya diborong oleh satu orang, lantas
bagaimana dengan orang lain yang juga menginginkan segarnya cendol tersebut? (hlm. 58)
Sepertinya dengan kisah Pak Kiai dan Pak Cendol ini Cak Nun ingin
menanamkan bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan tidak bisa dibeli dengan uang.
Harus ada kesadaran hati yang kerap setia menolong siapapun yang membutuhkan. Karena
hati akan selalu menilai dengan kebesaran jiwa penuh kasih.
Sebagaimana buku lainnya, buku ini juga
memiliki kekurangan. Karena buku ini ditulis Cak Nun pada era 70-an, tentunya
kapasitas Cak Nun belum separipurna sekarang. Seolah dalam buku ini, Cak Nun
sedang berada pada masa pencarian jati diri yang penuh kegelisahan. Saya
menilai bahasa buku ini sangat mahasiswa; yaitu penuh renungan, penuh dengan
gejolak pemikir muda yang menghentak-hentak. Jika dibandingkan dengan cara
pikir Cak Nun saat ini yang ditampilkan saat pengajian maiyahan sangat berbeda. Kata-kata yang dipakai pada buku ini cukup
sulit diterka akal. Masih membutuhkan perenungan ulang untuk mencerna makna
yang ada dalam isi kumpulan essai ini.
Tidak jarang Cak Nun mengutib streotip Jawa yang sarat akan makna
dan hikmah. Keluwesan bahasa Jawa menambah wawasan kebangsaan yang berbau
tradisional. Lewat buku ini, Cak Nun mengajak kita semua agar berhati-hati
menghadapi modernisme barat dengan menguatkan nilai-nilai spiritualitas bangsa.
Cak Nun di masa mudanya dikenal sebagai tunas bangsa penuh visioner, tampak
dalam tulisannya adanya konstelasi pemikiran dan sikapnya melihat masalah
sosial masa itu dalam buku ini.
Data Buku
Judul: Indonesia Bagian dari Desa Saya
Penulis: Emha Ainun Nadjib
Penerbit: Buku Kompas, Jakarta
Cetakan: II, Mei 2013
Tebal: xiv + 258 Halaman
Peresensi: Achmad Marzuki
Peresensi: Achmad Marzuki
*Pernah tayang di Koran Madura, 05 07 13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar