Memahami Eksistensi Puasa
Puasa adalah pekerjaan menahan di tengah kebiasaan
menumpahkan, atau mengendalikan di tengah tradisi melampiaskan. Pada skala yang
besar nanti kita akan bertemu dengan tesis ini. Ekonomi-industri-konsumsi itu
mengajak manusia untuk melampiaskan segala, sementara agama mengajak untuk
menahan dan mengendalikan. Begitu Emha Ainun Nadjib membuka buku ini dalam
prolognya.
Secara syari’at, puasa termasuk rukun Islam ke tiga setelah
syahadat dan shalat. Fiqh mendefinisikan puasa sebagai kewajiban menahan hawa
nafsu; dari makan, minum, dan segala yang membatalkan puasa, sejak fajar sodik
(subuh) hingga matahari terbenam (maghrib). Selama itu pula umat muslim
seyogianya mengendalikan hatinya dari perbuatan tercela semacam amarah dan
mengumpat.
Buku berjudul “Tuhan Pun Berpuasa” besutan Emha Ainun Nadjib
ini mengulas mengenai puasa dari segala aspeknya. Secara garis besar berisi
tentang nilai-nilai yang terkandung dalam ibadah “rahasia” ini. Dikatakan
ibadah rahasia karena selain si pelaku dan Allah tidak ada yang mengetahuinya.
Juga membahas tentang nilaiinilai spiritual, nilai sosial budaya, hingga nilai
pengasahan dan pengembangan kualitas personal manusia.
Keadaan spiritual manusia zaman sekarang mengalami degradasi
yang parah. Pasalnya tidak jarang tempat-tempat ruang publik, seperti di
stasiun, terminal, bandara, dan pasar, masih banyak dari mereka yang masih
nyaman menuruti hawa nafsu; makan di tengah bulan Ramadhan. Padahal kalau mau
jujur Allah telah memberi waktu sebelas bulan untuk bebas makan kapan saja dan
mewajibkan hanya satu bulan untuk berpuasa. Orang muslim yang tidak bersedia
berpuasa dapat dikategorikan sebagai manusia yang tidak tahu terimakasih.
Salah satu keistimewaan puasa yaitu “hasil” puasa manusia dikhususkan
untuk Allah pribadi. Artinya dalam ibadah selain puasa, Allah memberikan
selebar-lebarnya segala timbal balik dari amaliah baik manusia. Apalagi pada
bulan Ramadhan terdapat banyak kenikmatan yang dikorting atau diskon sesering
mungkin. Bayangkan saja, pahala perbuatan sunnah dinilai seperti pahala
perbuatan wajib. Setan pun dikerangkeng dalam neraka. Rasulullah pun
mengabarkan, jika manusia mengetahui nilai bulan Ramadhan, niscaya mereka yang
meminta agar seluruh bulan menjadi bulan Ramadhan.
Ramadhan seperti kotak pandora umat muslim, yang jika terbuka
akan membuat kejutan tiada tara. Dari segi kesehatan pun, puasa mengandung
banyak manfaat. Semua itu akan bermuara pada pengendalian diri yang mapan dan
matang. Bahkan Tuhan pun memberi contoh dahsyat dalam hal mengendalikan diri;
dengan amat setia Allah tetap menerbitkan matahari walau pun manusia tidak
pernah mensyukurinya (hlm. 51).
Walau pada bulan Ramadhan tidur pun dinilai ibadah, bukan
berarti bulan Ramdhan adalah bulan untuk tidur. Ada banyak sekali bentuk ibadah
yang lebih baik, lebih mulia, lebih berkualitas, lebih bermakna, dan lebih
bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain. Ibadah yang istimewa adalah
ibadah yang memiliki dampak positif sosial.
Di penghujung bulan Ramadhan, umat muslim pun bergembira
menyambut hari kemenangan; idul fitri. Secara bahasa idul fitri berarti kembali
pada fitrah manusia, lahir ke dunia tanpa membawa dosa-dosa, seperti bayi yang
baru lahir. Cak Nun, panggilan akrab Emha Ainun Nadjib, juga mediliriknya dari kacamata
sosial-budaya-kultural. Bagi Cak Nun idul fitri adalah momen yang diberikan
Allah secara khusus guna menyambung tali-tali silaturrahim yang hampir putus
dan mempereratnya (hlm. 198).
Seperti tulisan Cak Nun lainnya, buku ini pun ditulis
beberapa tahun silam, pertama kali diterbitkan pada tahun 1996 oleh penerbit
Zaituna, Yogyakarta. Cak Nun selalu meracik nuansa ibadah agama dengan nuansa
sosial kultural. Datangnya buku ini diharapkan agar manusia lebih mengenal dan
memahami eksistensi puasa sesungguhnya. Karena banyak sekali orang berpuasa
yang hanya mendapatkan rasa haus dan lapar.
Data Buku
Judul: Tuhan Pun Berpuasa
Penulis: Emha Ainun Nadjib
Penerbit: Buku Kompas, Jakarta
Cetakan: Ketiga, November 2012
Tebal: xx + 236 Halaman
Peresensi: Achmad Marzuki