Minggu, 09 Agustus 2015

Sebab Cinta Itu Memberi



Satu
Malam itu kau menjebakku agar tetap mendengar suaramu yang tidak jelas. "Jika kau menutup telepon, aku tidak akan menghubungimu lagi." Ancammu. Aku menurut seperti sapi yang dicocok hidungnya. Suaramu yang parau, lebih tepat didefinisikan dengan igauan, sebab kau berada di dunia nyata dan mimpi, hanya membentuk irama lagu kehilangan. Pukul 02.30 dini hari kau menelepon. Begitulah dirimu, kau yang menentukan jalan.

Kantukku sudah menumpuk seperti punukan unta yang membungkuk. Kutarik sekuat-kuat kesadaranku agar tetap bisa menjawab pertanyaanmu yang hanya butuh kata iya dan h'em. Sesekali aku tercuri waktu. Kesadaranku hilang, terlelap sejenak, lalu bangun lagi untuk menjawab "iya". Tapi aku lebih suka menjawab dengan "h'em". Dengan begitu aku tak perlu membuka mulut, mengangkat rahang, menggerakkan bibir, menarik otot suara, mendorong nada, menganga.

Malam itu kau hanya butuh ditemani. Kukabulkan inginmu. Berbicara denganmu tidak membutuhkan topik menarik, sebab kaulah yang menarik. Hal paling remeh pun bisa dibicarakan. Seperti; tadi pagi Matahari muncul dari Timur. Dari saking lumrahnya malah menjadi humor murahan dalam perbincangan. Di ahir percakapan kau memintaku menutup dengan cerita. Lalu aku bercerita tentang sepasang kekasih romantis yang selalu berkirim surat yang berisi tentang akumulasi kerinduan yang tertunda. Dan kau terlelap sebelum cerita usai dikisahkan.

Saat itulah aku biasa mengungkapkan rasa cintaku. Saat kau sudah mulai merangkak dalam mimpi singkatmu. "Aku selalu ada untukmu, sayang". Dan kalimat itu selalu menjadi ending favoritku saat menutup pembicaraan dimana kau sudah terlelap di seberang telepon.

Dua
Pernah pada malam lainnya, kau datang dengan segudang bintang. Wajahmu sumringah melebarkan senyum merekah. Yah, kau mendekat membawa kabar bahwa kau baru saja didekati lelaki yang sudah lama kau idamkan menjadi pacarmu. Sampulawa, dua tahun sudah lelaki itu yang membuatku dekat denganmu. Curhatanmu tentangnya memaksaku untuk terus merapal doa agar kau lekas lepas dari kesedihan tanpa bekas. Sampulawa lah kesedihan tanpa kelemahan itu. Setiap adanya mencipta keresahan.

Kau tidak begitu memperhatikan senyum palsuku. Tidak, kau sudah tidak peduli tentang hal apapun yang membuatmu mendekati kesedihan. Saat senyumku terbentuk sedikit saja, matamu sudah melebar seperti kelopak mawar yang mekar. Alismu terangkat pertanda semangat yang meningkat. Semakin kulihat kau berbungah dada, semakin kecut pula aku mendengarnya.

Di situ aku diperlakukan bagai perekam suasana yang musti kujauhi. Tapi kau semakin mempercepat tempo berceritamu tentang Sampulawa seolah lelaki itu sehari lagi akan mati. Dan ini adalah hari terahir untuk menceriktakan seluruh kebaikannya. Tapi tunggu sebentar, kenapa aku sensi banget sama si Sampulawa ini ya? Maaf, kepada yang punya nama. Ini hanya cerita fiktif dari nama yang tidak fiktif.

Sudah tiga jam kau bercerita tentang Sampulawa ini. Lelaki yang ternyata setelah kuselidiki, juga memperhatikanmu. Mungkin di lain waktu aku perlu menusuk perutnya dengan belati beracun.

Tiga
Ternyata instingmu cukup tajam. Setelah obrolan tentang Sampulawa. Kau berubah sikap, seolah mengetahui bahwa aku tidak suka saat kau bercerita tentangnya. Tanpa musabab yang jelas kau menancapkan petuah: "Izinkan aku bersyukur akan pagi, siang dan malam tanpamu. Sama seperti sehat, untuk mengetahui nikmatnya sehat, harus sakit dulu." Maka kuikuti aturanmu.

Tiga hari tak kuhubungi. Tepat di hari keempat, kau datang dengan muka merah padam. Tanpa aba-aba kau melabrakku seolah aku musuh bebuyutanmu yang paling kau benci. "Berapa lama lagi kau akan menjauhiku? Tidak menghubungiku dan tidak terima kuhubungi?" Astaga! Sebenarnya apa sih inginmu? Kulakukan ini karena pintamu. Dan masih kau salahkan?

"Jangan salahkan wanita jika selingkuh kalau lelakinya tidak mau menghubunginya!" Apa! Logika macam apa itu? Bukankah suatu hubungan harus dibangun atas dasar kepercayaan dan pengertian? Aduh! Tapi kau bukan siap-siapaku, kan? Yeah... Setidaknya... Ah, entahlah. Tapi sebenarnya kau adalah segalanya bagiku. Andai kau tahu. Sungguh.

Maka segala hal darimu akan kuterima. Walau begitu luas sikapku padamu, tetap saja aku punya batasan, manusia selalu punya batasan. Pun keluasan hatiku tuk tetap menerimamu, memiliki batasan. Saat batasan itu telah kau lalui. Aku harus mendahului perasaanku padamu. Melepasmu, tapi tidak melupakanmu.

Empat
Seperti gulungan ombak di pantai, bergantian memukul pasir landai. Hubunganmu dengannya kadang maju dengan gulungan besar, lalu disusul air datar tanpa gelondongan. Namun, setelah setahun kau pacaran dengannya kau mulai merasakan ketidakseimbangan. Perhatianmu sangatlah besar. Sedang perhatiannya padamu seolah semakin pudar. Seperti cat merk murahan yang dilekatkan pada tembok tanpa atap. Ditampar dinginnya angin malam, diguyur basahnya hujan dan dibakar teriknya matari.

Sikap legowo yang kau berikan atas segala perlakuannya yang jumawa lambat laun mulai menipis. Kau mulai merasa tertekan dan menyimpan jarum kehawatiran. Seperti, kau yang terlalu banyak menelponnya ketimbang dia menelponmu. Memulai pesan singkat, sedang dia tidak. Memintamu mengisikan pulsanya untuk menghubungi orang lain. Seolah kau mencipta segala inginnya selalu terkabul. Tidak peduli apakah kau senang atau melarat. Kau mulai sering diam saat bertatap muka denganku. Seolah ingin menyembunyikan kegelisahanmu. Pembohong yang payah. Bahkan dengan diammu menyiratkan kejujuran bahwa kau dihantui ketidakbahagiaan.

Memang benar, dia, Sampulawa, pacar busukmu yang kau cinta, selalu berkata jujur. Tapi lidahnya seolah berduri. Kejujurannya melukaimu dengan telak. Bahkan dia bercerita dengan bangga. Kajujuran yang menyakitkan, seperti; aku masih mencintai mantanku kemaren. Dadamu serasa diperas dengan handuk keras. Sesak. Kau diam, menyunggingkan senyum pilu. Menerima irisan luka yang kian menganga. Tapi kau masih bersikukuh bahwa dia bisa berubah dengan segala sikapmu yang kau tumpahkan. Menjaring segala kesakitan demi mendapat ikan kebahagiaan. Miris sekali, menurutku.

Sebenarnya segala penilaianku di atas hanyalah bentuk dari kekalahanku pada keadaan. Tapi kurasa, kau terlalu banyak menyimpan rahasia. Tanganmu sudah penuh dengan kotak pandora. Segala isinya pasti mengandung kejutan yang menyenangkan dan menghawatirkan. Aku tak tau, lebih banyak mana. Yang jelas, segala masa lalumu akan selalu salah di matanya. Kau menerima itu sebab kau pikir, ini hanya ujian.

Sebab segala adalah menjaga.

Lima
"Aku sudah tidak tahan lagi dengannya! Muak dengan segala sikapnya! Harus berapa kali aku mengalah? Memangnya aku tidak pantas bahagia ya? Sengsara sepanjang usia?"

Itu kalimat pembukamu dalam telepon. Tidak ada basa-basi atau sekadar bertanya kabar. Ibarat orang baru bangun tidur langsung lari terbirit kencang ke kamar mandi. Belum sempat aku bicara membalas, kau melanjutkan;

"Aku ingin ketemu denganmu di tempat biasa kita mengisi waktu. Sekarang. Jangan telat ya! Aku siap-siap sekarang."

Telepon terputus.

Sudah kebiasaanmu memotong telepon tanpa persetujuan lawan bicaramu. Kebiasaan yang buruk. Tapi sepertinya kau begitu karena diperlakukan begitu oleh pacarmu yang selalu merasa ganteng. Sepengalamanku denganmu, yang sering telat dan selalu benar itu kamu. Seperti saat kau berjanji mengembalikan buku Sejarah Peradaban Islam di depan Perpustakaan Kampus. Aku menunggumu hingga dua jam dengan perut keroncongan. Dan kau datang dengan sedikit senyum manismu. Dan bilang bahwa keterlambatanmu bukan kesalahanmu, tapi karena kamar mandi hanya satu, sedang teman kosmu berjumlah lima manusia. Dan jika kau berkata sudah siap-siap itu artinya kau baru benar-benar siap satu jam berikutnya. Begitulah wanita, mahluk halus yang selalu bikin lelaki kian mampus.

Kafetarian. Semacam rendezvous bagiku. Kulirik jam tanganku, 10 menit lagi dia tak datang aku akan pergi. Kuhabiskan 10 menit dengan mengingat segala hal tentangnya. Mulai dari sikapnya yang manja semanja kelinci, siara marahnya yang tersegal nafas tak tuntas, senyumnya yang kepalang manis matang, igauannya saat telponan larut malam yang kepalang kelam, atau saat kau menutup telepon tanpa merasa harua minta ampun.

10 menit lewat. Badan kuangkat ingin membayar bill. Belum sempat kulangkahkan kaki kau datang tanpa sapa dan langsung memerintah.

"Duduk! Aku mau bicara serius sekarang."

Enam
Pada ahirnya yang selalu ada mengalahkan yang didamba. Sebab cinta bukan tentang siapa yang lebih awal dikenal atau yang lebih disayang, melainkan tentang siapa yang datang dan tidak hilang. Selamanya wanita akan menjadi misteri di mata lelaki. Hati wanita sangat tidak stabil. Bukan berarti labil. Dalam sedetik bisa saja berbeda dengan keputusan sebelumnya dengan keyakinan sekuat para pegulat yang ulet. Saat ditanya pun jawabannya tidak dapat ditakar oleh logika lelaki yang berkelakar.

Setelah kau menyampaikan maksudmu, aku hanya diam lama. Mencoba memahami alur hatimu dengan logikaku. Tapi kau sudah pernah membantah bahwa wanita tidak pandai dengan logika dalam hal cinta. Memandangi wajahmu untuk menemukan bahwa kau sedang bercanda. Namun air mukamu menyiratkan keseriusan yang sangat. Matamu berair menahan debaran hasrat yang kuat. Kau memilihku sebagai imammu. Dengan tanpa syarat kau nyatakan bahwa kau mencintaiku, memilihku. 

 Oleh Achmad Marzuki, Santri Pondok Pesantren Nurul Jadid


Dimuat di Radar Bromo, Jawa Pos, Minggu, 09 Agustus 2015

Senin, 06 April 2015

Setelah Kau Menahan Diri

070415, Probolinggo

Sepertinya kau kuat juga menahan rindu yang menggebu. Memang pernah kutulis status: Semakin banyak komunikasi, semakin banyak pula potensi bertikai.

Sudah sekitar seminggu ini kau tidak lagi rewel bertanya hal remeh tentangku. Biasanya, tiap jam sembilanan pagi kau memulai bertanya kabar. Dua hari pertama aku memang merasa nyaman. Tidak terganggu. Setelah tiga hari aku malah hawatir. Apakah ini karenaku?

Adik, aku rindu celotehmu yang remeh. Aku rindu pertanyaan takberbobotmu. Tidak adik, yang kurindu bukan itu semua, melainkan hanya dirimu, suaramu, ragamu.

Sungguh, setelah hasil solat istihoroh itu, inginku semakin menguat agar cepat bersamamu dalam lingkar agama yang sah. Aku tak ingin kau pergi, tak mungkin kubiarkan kau tinggalkanku.

Maka kemudian, kukutip kata-kata Tasaro GK dalam Novel Biografi Muhammad, dengan sedikit perubahan kata; Ketahuilah adik, andai syukur lebih tinggi kedudukannya ketimbang cinta. Maka sungguh, aku bersyukur mencintaimu. Itu baru permulaan, adik.

Jika telah tiba masaku padamu,
peluklah aku dengan senyummu.
Jika telah tiba ragaku padamu,
peluklah aku dengan kasihmu.
Jika telah tiba segala waktu,
peluklah aku dengan hangat cintamu.

O...
Wahai masa, mengapa jika harapan bersamamu kau seolah sangatlah jauh.
Sudah kuketahui teorinya:
bahwa hari kemarin akan terus menjauh dan hari esok akan terus mendekat.
Jika dua tahun dari sekarang kita targetkan menikah, maka kapan kita tunangan?

Adik, setelah mendengar kabarmu yang demikian di asramamu. Sakit, menangis, bingung... Semakin kuat inginku menjagamu kala mendengar tentangmu yang dijauhi senyum. Memelukmu hangat-hangat. Hingga kau merasa sesak tuk mencari orang-orang di masa lalumu.

Kau boleh menoleh tapi jangan berbalik apalagi pergi. Kau boleh berkomunikasi tapi jangan berhubungan apalagi merajut kenangan. Kau boleh meninggalkannya tapi jangan membenci apalagi memusuhi.
Kau boleh bernostalgia dalam kenangan tapi jangan ungkapkan dalam kenyataan. Kau boleh tapi jangan apalagi tentang dia.

O...
Adik, jariku akan terus mengetik jika tak kuhentikan. Masih banyak hal yang ingin kusampaikan. Mungkin bukan sekarang waktunya.

Selasa Pagi.
Matahari bersinar pucat tak hangat. Tapi cintaku akan tetap hangat padamu, adik.

Selasa, 24 Maret 2015

Seorang Lelaki dan Beruangnya yang Tidak Mungil Lagi



Nasehat Harus Cerdas #NgitabHikamPengasuh 250315
Nasehat adalah menginginkan kebaikan dengan kebaikan. Caranya juga harus baik dan cerdas. Jangan seperti cerita "Seorang lelaki dan beruangnya yang tidak mungil lagi".
Ups... judulnya kepanjangan ya? Hehee.
Ini dia kisahnya.

Pada suatu waktu yang tak menentu, ada lelaki pecinta segala binatang. Dia berjalan pagi di hutan, bertemu anak beruang yang masih mungil. Tidak jauh dari tempatnya terdapat raungan beruang dewasa yang sekarat. Sebab rasa cinta pada binatang, ia membawa bayi beruang mungil tersebut ke rumahnya.

Masa depan tidak pernah menjauh. Sedang hari kemarin selalu bertambah jauh. Beruang mungil itu tidak lagi bisa dibilang mungil. Beruang itu sangat menyayangi tuannya. Setiap tertimpa masalah, si beruang pasti membantunya. Seperti saat ingin membawa kayu bakar. Setiap kali terbantu, lelaki tersebut menghadiahi makanan.

Suatu saat pesat, lelaki dan beruang berjalan-jalan ke tengah hutan. Sambil bergurau mereka berdua berjalan sedikit cepat. Hingga lelaki itu kelelahan. Dan tertidur di bawah pohon. Si beruang mengawasi sekitar, menjaga agar tuannya tertidur lelap tanpa gangguan.

Tiga lalat mendekali lelaki itu. Sebelum hinggap di muka tuannya, beruang itu mengibaskan tangannya, menghalau lalat. Dasar lalat! Setelah dihalau, tetap saja kembali lagi. Hingga si beruang menjadi marah. Ahirnya si beruang mencari batu besar, ingin menghantamkannya pada tiga lalat nakal itu.

Hari sial bagi si lelaki. Dia memilih teman yang pemarah dan bodoh. Sungguh sial. Si beruang menginginkan kebaikan pada tuannya, tapi dengan cara yang salah. Batu besar itu diangkat tinggi-tinggi. Ditahan sejenak, membiarkan lalat nakal itu hinggap di muka si lelaki. Lalu...

Lelaki tersebut tidur dan tidak bangun lagi. Tiga lalat nakal pergi memanggil teman-temannya. Si beruang....?

Sabtu, 21 Maret 2015

Paris. Sederhana dan manis.


160315
Bibirmu tadi,
Seperti cabe berwarna madu mengkilat yang disusun dengan rapih.

Kerudungmu tadi,
Paris. Sederhana dan manis.

Negeri Sembilan Dimensi (9D)

130315
Kala kautersenyum. Bibirmu menipis manis seolah mewadahi tumpukan gerigi gigimu yang kautata rapi dalam mulut mungilmu.

Beginilah tingkahku bila tak dapati kabarmu. Meracau balau menumpuk kata. Jika rindu berbentuk bata, maka dalam sehari aku dapat membangun rumah megah bak istana mewah jumawa.

Menyusun kata dengan menganggap bahwa di tiap abjad ada rupamu. Satu paragraf menjelma seutuh dirimu, wujud tiba di depanku.

Aduh, dasar penghayal!

Kuharap ada bayi kita di Negeri 9 Dimensi, negeri yang kucipta sendiri.

Negeri Sembilan Dimensi adalah dunia yang diisi oleh mahluk masa depan. Mahluk yang rencananya akan dimunculkan beberapa tahun ke depan, bahkan beberapa abad ke depan. Seperti anaknya anaknya anaknya anaknya anaknya anak kita.
***

Tiga Pesan untuk Wanita

120315
Berbahagialah wanita yang pandai merawat kebersihan badannya. Terutama saat mandi.

130315
Berbahagialah wanita yang dapat mengatur pola makannya. Terutama saat ngemil.

130315
Berbahagialah wanita yang pandai mengolah tutur katanya. Terutama saat ngobrol dengan teman sebaya.


130315
Usahakan tidak tidur pagi jika menginap di rumah teman yang lain jenis kelaminnya. Sebab, bisa jadi si empunya memperhatikan dan mempertimbangkan menjadi mantu.
*Ingat film KCB tentang ibu Azzam.

Kenapa ada empat? Yang satu bonus,he

Berita tentang Keadilan?

Metrotv • 100315

Seorang nenek histeris minta ampun saat disidang di pengadilan. Penyebabnya, ia mencuri kayu bakar tetangganya.

Para koruptor tersenyum saat wajahnya disorot kamera setelah putusan hakim ditunda.


Ada apa dengan peng-adil-lan? Semoga bener-bener adil. Sesuai namanya.

-at Pondok Jus, Kraksaan.
Setelah mencari rumahmu. Kali kedua pada sebelas hari berikutnya.

Bayangkanlah, Adik...

090315 •
Bayangkanlah adik,

Engkau sedang duduk sendiri di tepian telaga berwarna madu. Telaga yang airnya menganga menghadap langit. Air yang tenang dan diam. Langit barat menguning tua. Sinar tua matahari berwarna emas. Sore yang senja. Angin semilir bagai melintir dedaunan. Satu dua daun jatuh di atas permukaan air telaga.

Pandanganmu memang mengarah barat, tapi hatimu sedang menjelajah segala gundah yang serapah. Seluruh perutmu dirundung kehawatiran yang mendung. Murung yang tak terbendung. Engkau takut aku menyikut? Pergi menyelinap meninggalkanmu? Dengan wanita lain?

Jangan berhenti adik,
Lanjutkanlah bayanganmu...

Kini dadamu penuh gemuruh hingga menggoncangkan seluruh ragamu. Airmatamu menetes. Bukan sebab sedih atau senang, airmata kehawatiran. Bibirmu mulai mengeluarkan bunyi sesegukan dan badanmu tambah bergoncang. Menangis yang mengiris.

Saat itulah, ada lengan lelaki yang tiba-tiba memelukmu dari belakang. Merangkulmu. Ya, engkau duduk menekuk lutut. Itu tanganku, adik. "Tenanglah," kataku. Engkau hanya mengangguk dan badanmu tambah menggigil. Pelukan semakin kueratkan, kuhangantkan. 

Kudekatkan wajahku ke wajahmu hingga mukaku setara dengan telingamu. Lalu kubisikkan, "Adik, jangan hawatir. Aku tidak akan meninggalkanmu. Sebab aku akan menjagamu. Selalu. Selama-lama." Kini badanmu lebih tenang. Nafasmu mulai teratur.
"Adik..."
"Ya, kak..." kau menjawab sambil menoleh.
Lalu aku mencium keningmu, mengecup bibirmu.
Besok.
Seminggu lagi kita menjadi orangtua

*** 
---Ending yang lain---
Kudekatkan wajahku ke wajahmu hingga mukaku setara dengan telingamu. Lalu kubisikkan, "Adik, jangan hawatir. Aku tidak akan meninggalkanmu. Sebab aku akan menjagamu. Selalu. Selama-lama." Kini badanmu lebih tenang. Nafasmu mulai teratur.
"Adik..."
"Ya, kak..." kau menjawab sambil menoleh.

"Perutmu kenapa buncit begitu?" Tanyaku dengan ekspresi kaget yang kubuat-buat.
"Hahahaa... Ini buncit yang selalu ditungu para wanita bersuami, sayang. Buah hati kita di sini." Jawabmu, sambil mengambil tanganku dan diarahkan ke perutmu yang menggunung. 
Kuelus dengan perlahan dan halus.
Kuarahkan mukaku ke perutmu seraya berbisik,
"Sayang, sayangilah ibumu tersayang, sebab ayah menyayanginya seperti menyayangimu." 
"Bisakah kakak menggunakan kalimat sederhana untuk anak kita yang belum lahir?"
:) Aku mencintaimu, Adik.

Satu untukmu Satu untukku

150215•
Setiap kulit selalu memiliki tempo untuk memikat. Seperti buah yang keriput pertanda dagingnya sudah kecut. Hanya sifat, karakter, dan rasa cinta yang tak bakal membuat cemberut.


Jumat, 200215•
Sering sekali saya bilang "Susah memang berhadapan dengan orang yang tak mau salah." Saya jadi takut. Adakah saya termasuk bagian dari orang tersebut? Merasa lebih baik ketimbang oranglain?

Rabu, 25 Februari 2015

Mimpi yang Menjadi Nyata?

240215
Memimpikanmu lagi. Semalam.
Seluruh pembina asrama unggulan sedang rapat tentang centang berentang. Bahwa aku akan pergi berdua dengan Rini. Tujuan kepergian kami untuk liputan, seperti wartawan kawakan. Rini teman cantikku sewaktu kuliah di Semarang. Beginilah mimpi, meski kadang tidak nyambung, tapi mimpi terus berlanjut.

Sebelum rapat selesai, hapeku berderik. Fauzan yang menerima sebab posisiku sedang sibuk memimpin rapat. Telepon agak lama dan Fauzan membicarakan hasil rapat di sana. Ada yang aneh. Cara bicara Fauzan sama dengan saat dia menjelaskan secara rumit tentang masalah yang tak begitu rumit. Tentang tamparan, keinginan yang ditahan dan dipaksa, tentang kekesalan. Kau pasti ingat itu kejadian apa. Hape kuambil, suara di seberang, wanita menangis. Sesuai prediksiku, kau yang nelpon.

"...Rini itu siapa? Cantik ta? Aku tidak mau Kak Juki berduaan dengan Rini. Aku sudah berusaha agar kembali dengannya. Tidak bisakah salah satunya diganti? Rini diganti aku atau Kak Juki diganti yang lain dalam tugas kali ini. Mengapa harus..." 

Begitulah kau. Memberondong banyak tanya dan tuntutan. Bahkan kepada orang yang tidak disenangi. Kau belum sadar bahwa yang mendengar keluh kesahmu adalah aku di sini. Di seberang telepon.

"Adik," potongku, "tenanglah! Jangan hawatir! aku tidak akan meninggalkanmu." Kudiamkan, kutunggu bagaimana reaksinya.

Nangisnya yang sesegukan keras, cepat, dan memotong bicaranya tiap kata, sekarang mulai mengendur, melunak, dan menyiratkan sedikit kedamaian. "Hiks hiks hiks... Beneran, kak?"

Sebelum menjawab mataku sudah terbuka. Waktu menunjukkan pukul 0325. Sebentar lagi subuh. Aku terbangun.
***
250215
Siangnya kau menelpon. Menuduhku memiliki wanita selain dirimu. Bahwa ada siswi kelas tiga. Informasi tersebut didengar dari banyak lidah dalam banyak mulut. Lidah manusia benar-benar tak bertulang tapi berefek lebih sakit daripada pukulan tulang. Mulut-mulut busuk terus saja mengumbar informasi fiktif. Begitukah manusia? Membincang perkara oranglain yang belum jelas kebenarannya? Aku berlindung padamu ya Allah, dari lidah pendusta dan mulut penebar masalah.

Bertanya tentang keseriusanku denganmu. Sepertinya harus kuingatkan. Adik, ini pintamu, maka yakinkan diriku. Ah, mengapa kau begitu pemaksa. Tapi aku tidak mau memaksamu berubah menjadi wanita dewasa. Sebab kedewasaan akan datang bersama masalah. Harus diingat, setiap harapan dan tujuan memiliki cobaan dan rintangan. Ini hukum alam, adik. Sekali kubilang kembali, itu berarti melupakan dan meniadakan yang lain. Jika kau meragukan keputusanku, maka akan benar-benar kubuat ragu.
***
Pesan singkatmu bersarang lagi di inbox hapeku.
“Jangan tinggalin adek,”
Bismillah,
“Kakak kenapa tidak meyakinkan? Setelah kupasrahkan sama kakak. Kakak mau pergi?”
Iya, kakak akan menjaga adek. Bersama dengan adek. Selalu. Kujawab dengan alur terbalik. Bukan dari belakang ke depan, tapi dari depan ke belakang.
“Kak cepet nikah yuk! Gak usah nunggu mbak.” Aku tau kau hanya menguji dan tidak serius.
Hahahaa... ntar mbak yang marah.
“Gak mungkin. Siap gak?” Lagi,
Siap!
“Kapan kakak siap mau ke ibu?” Dan lagi,
Besok bisa. Apa sekalian kakak anter adek pulang.
“Yee, ibu masih sakit.” Nah, tidak berani kan? Sebenarnya aku tidak mau menjawab pertanyaanmu yang menguji kesungguhanku. Sebab, sekali aku bertekad, akan kuusahakan dengan lekat.
Sekalian jenguk. Kenalan dulu. Masak datang langsung minta. Sesuai prediksiku, kau tak menjawab. Sebab inginmu sudah kaudapat; keputusanku.
***
Andai kautau....

Kalimat selanjutnya ada di buku catatan harianku. Terlalu privasi jika kutulis di sini.

Jumat, 20 Februari 2015

Dua Kisah dalam Satu Mimpi Pagi

200215
Pada suatu mimpi yang pagi. Aku, kamu, Wu Lao Shi, Mayni, Ojan, dan Fahmi dalam satu mobil yang melaju kencang menerjang secepat lari kijang. Menjauhi mara bahaya yang gencar mengincar. Membuat seluruh jantung berdegub luntang-lantung. Lalu kita lolos. Selebrasinya kucium temanku yang driver.

"Ngapain sih gitu?!" Katamu membentak dengan wajah merah mengharap.

"Ini hanya..." Tak kulanjutkan kalimatku sebab aku mengerti maksudmu. Setelah memandang matamu. Kenapa aku selalu mengerti? Atau jangan-jangan hanya sok mengerti pintamu?

Badan kuangkat, kedua lengan kujulurkan, pandangan kuisi dengan air keseriusan. Kemarilah, sayang! Batinku. Kau melakukan hal yang sama. Kau duduk di bangku tengah dan aku di bangku depan. Lalu kita berciuman mempertemukan kerinduan-kerinduan yang menghantam dan menghujam. Empat bola mata terpejam. Bukan petang, tapi warna madu yang mengelilingi kita. Warna penuh gelora romansa. Kau menambah dengan bisikan-bisikan kecil.


"Bagaimana rasanya, kak?" Kau bertanya dengan sesegukan bersela senyum dan tawa ringan. Aku tak menjawab, hanya tersenyum. Kau merayuku padahal kita sedang memadu rindu? Kita terus berpangutan seperti ular berlilitan. Matamu berlinang airmata senang. Pipimu tertarik ke samping pertanda senang. Kau memeluk ringan senang.
***
Terus begitu hingga kita menembus ruang dan waktu.

Setelah kubuka mata, tidak lagi berada dalam mobil; tidak ada teman, tidak ada dia. Ciuman barusan telah mengantarkanku pada mimpi yang lain dalam tidur pagi yang satu.

Seluruh sekitar berwarna putih polos seperti dipoles. Lalu terbentuklah sebuah suasana. Seperti gambar kerayon anak kecil. Terbentuk satu-satu. Aspal, gedung, kafe, pohon, matari, bayang, mobil, semuanya seperti hantu yang tiba-tiba muncul tanpa syarat.

Aku sedang menjadi dosen di tengah jam tayang. Mahasiswaku banyak sekali. Seperti dalam film Love in Harvard. Posisi duduk mahasiswa seperti di bioskop. Semakin ke belakang semakin meninggi.

Satu mahasiswi kritis tapi memaksa. Maksudku, teori yang diajukannya tidak searah dengan pembahasan kuliah. Dia terus saja ngotot. Maka kutumpas segala alasan logisnya hingga tumpul. Sehingga seluruh mahasiswa terbahak menertawakan teori konyolnya. Lalu dia bangkit, turun dari posisi duduknya yang berada di pojok kanan atas. Wajahnya sangat familiar menurut memori otakku. Astaga! Kau...

"Tega sekali kau, kak!" Umpatnya saat berada di depanku. Mengapa aku tak menyadari sikapnya yang ngotot begitu? Suaranya yang melengking mengiris? Yang tak mau kalah?

"Adik,..." Lagi, tak mampu kulanjutkan. Matanya telah menjelaskan semuanya. Tentang manjanya, tentang rajuknya, tentang inginnya. Dia melangkah keluar kelas.

Perkuliahan kuhentikan seketika. Mimpiku telah berfokus pada satu orang. Dan seketika, suasana yang awalnya damai tiba-tiba saja menjadi riuh. Seperti gemuruh dalam dada.

"Adik,..." Dia menoleh. Sebelum beranjak menjaga jarak, kupegang tangannya dan dia langsung melompat  memelukku. Erat sekali. Tak mau lepas. "Jangan tinggalin adik, Kak," pintanya penuh rasa. "..." Aku diam, meresapi segala rasa yang dipendamnya dalam-dalam.

Pelukannya terus melekat erat. Segala rasa ditransfer lambat menjalari badanku yang kian hangat. Aku berjalan melambat seperti orang sekarat. Walau sebenarnya aku sedang dalam kondisi sehat. Aku membawanya ke kamar, kulepas pelukannya yang membuat badanku sedikit memar. Matanya memerah, senyumnya merekah, kerudungnya terlepas lemah, rambutnya terurai sedikit menutup matanya yang terkatup, air wajahnya memucat.

"Kak, jangan tinggalin adik!" Pintanya lagi dengan suara lemah. Aku tak langsung menjawab. Kudaratkan kecupan ringan di keningnya dengan tempo cukup lama.


"Jangan hawatir. Kakak sekarang bersama adek." Sambil kusingkap rambutnya dari pandangan matanya yang sayu. "Tidurlah! Kau kecapaian." Tapi tangannya tetap menggenggam erat tanganku. Seolah aku akan meninggaklannya di lembah gelap sendirian.


Lalu tidur pagiku menguar. Kesadaranku langsung tertuju padanya. Ah, pasti dia sedang merindu. Aku terbangun dari tidurku. Lalu kutulis sebagai bukan catatan harian plus ditambah sedikit imajinasiku.

Senin, 16 Februari 2015

SALIGIA INFERNO

Tujuh dosa besar yang bakal menghantarkan ke neraka terpekat. Terkumpul dalam kata SALIGIA. Kudapatkan dari INFERNO karangan Dan Brown.

Superbia : kesombongan
Avaritia : keserakahan
Luxuria : hawa nafsu
Invidia : kecemburuan
Gula : kerakusan
Ira : kemarahan
Acedia : kemalasan

Masa Lalu Sudah Berlalu, Esok Tak Pernah Bosok

160216 • Setelah kau bertanya tentang masa laluku.

Tidak mau membenarkan diri atau membela diri.

Perilaku seseorang sangat tergantung pada keadaan sekitarnya. Tidak bisa disamakan antara keadaan orang yang di kota besar dengan orang yang berdomisili di pesanren. Kondisi yang berbeda akan menghasilkan patokan nilai yang berbeda pula.

Sekali lagi itu semua masa lalu.

Hanya saja, masa lalu seseorang terkadang sangat kelam dan kejam untuk diungkap.

Begitulah kejujuran, kadang manis, tapi lebih sering pahit, bebab aku bukan Nabi yang maksum, bukan Rasul yang agung, apalagi Malaikat yang suci. Aku hanya manusia biasa yang tak bebas dari dosa. Adalah hal biasa manusia pernah berbuat dosa. Yang luar biasa ialah manusia yang berbuat dosa, kemudian menyadari kekeliruannya, dan berniat tidak akan mengulangi lagi, serta dibuktikan dengan perilaku pribadinya saat ini sebagai bentuk proses, langkah menuju taubat.

Aku sengaja tidak bertanya padamu tentang masa lalumu, bukan karena apa, tapi semua masa lalumu akan kupeluk seluruhnya, baik maupun buruk. Sebenarnya, masa lalumu adalah milikmu, saat ini milikmu, esok milik kita. Jika memang ditakdirkan bersama. Saat itulah aku berhak membimbingmu dalam pagar agama, bukan pada nafsu keserakahan atau kesesatan. Tapi jika bukan takdir, hari esok tetaplah milikmu. Lakum dinukum waliyadin. Lakukan semaumu! Berbuat baikkah, berbuat burukkah.

Yah, kusadari dulu aku memang nakal. Tapi, saat kau tanya berapa kali. Bisa kupastikan bahwa jawabanku termasuk sedikit, jika dilihat dari kacamata orang yang bersosial di kota besar. Tentu tidak kunafikan orang lain yang lebih baik dariku. Dan kutahu orang yang lebih baik dariku di kota besar adalah ada, mungkin sedikit. Aku tak tau.

Nah! Begitulah! Silahkan! Ambil keputusan! Sekadar mengingatkan, bersikaplah dewasa, menentukan jawaban dengan cermat, bukan saat emosi. Dan sebagai catatan, bohong bukanlah jalanku. Setidaknya aku sedang belajar. Belajar jujur. Jika tidak sesuai dengan inginmu, tentu aku tak bisa memaksa, dan tidak mau memaksa. Karena dirimu adalah kuasamu. Kini, hari esok masih lah milikmu.


*kesempatan terahir?