Minggu, 09 Agustus 2015

Sebab Cinta Itu Memberi



Satu
Malam itu kau menjebakku agar tetap mendengar suaramu yang tidak jelas. "Jika kau menutup telepon, aku tidak akan menghubungimu lagi." Ancammu. Aku menurut seperti sapi yang dicocok hidungnya. Suaramu yang parau, lebih tepat didefinisikan dengan igauan, sebab kau berada di dunia nyata dan mimpi, hanya membentuk irama lagu kehilangan. Pukul 02.30 dini hari kau menelepon. Begitulah dirimu, kau yang menentukan jalan.

Kantukku sudah menumpuk seperti punukan unta yang membungkuk. Kutarik sekuat-kuat kesadaranku agar tetap bisa menjawab pertanyaanmu yang hanya butuh kata iya dan h'em. Sesekali aku tercuri waktu. Kesadaranku hilang, terlelap sejenak, lalu bangun lagi untuk menjawab "iya". Tapi aku lebih suka menjawab dengan "h'em". Dengan begitu aku tak perlu membuka mulut, mengangkat rahang, menggerakkan bibir, menarik otot suara, mendorong nada, menganga.

Malam itu kau hanya butuh ditemani. Kukabulkan inginmu. Berbicara denganmu tidak membutuhkan topik menarik, sebab kaulah yang menarik. Hal paling remeh pun bisa dibicarakan. Seperti; tadi pagi Matahari muncul dari Timur. Dari saking lumrahnya malah menjadi humor murahan dalam perbincangan. Di ahir percakapan kau memintaku menutup dengan cerita. Lalu aku bercerita tentang sepasang kekasih romantis yang selalu berkirim surat yang berisi tentang akumulasi kerinduan yang tertunda. Dan kau terlelap sebelum cerita usai dikisahkan.

Saat itulah aku biasa mengungkapkan rasa cintaku. Saat kau sudah mulai merangkak dalam mimpi singkatmu. "Aku selalu ada untukmu, sayang". Dan kalimat itu selalu menjadi ending favoritku saat menutup pembicaraan dimana kau sudah terlelap di seberang telepon.

Dua
Pernah pada malam lainnya, kau datang dengan segudang bintang. Wajahmu sumringah melebarkan senyum merekah. Yah, kau mendekat membawa kabar bahwa kau baru saja didekati lelaki yang sudah lama kau idamkan menjadi pacarmu. Sampulawa, dua tahun sudah lelaki itu yang membuatku dekat denganmu. Curhatanmu tentangnya memaksaku untuk terus merapal doa agar kau lekas lepas dari kesedihan tanpa bekas. Sampulawa lah kesedihan tanpa kelemahan itu. Setiap adanya mencipta keresahan.

Kau tidak begitu memperhatikan senyum palsuku. Tidak, kau sudah tidak peduli tentang hal apapun yang membuatmu mendekati kesedihan. Saat senyumku terbentuk sedikit saja, matamu sudah melebar seperti kelopak mawar yang mekar. Alismu terangkat pertanda semangat yang meningkat. Semakin kulihat kau berbungah dada, semakin kecut pula aku mendengarnya.

Di situ aku diperlakukan bagai perekam suasana yang musti kujauhi. Tapi kau semakin mempercepat tempo berceritamu tentang Sampulawa seolah lelaki itu sehari lagi akan mati. Dan ini adalah hari terahir untuk menceriktakan seluruh kebaikannya. Tapi tunggu sebentar, kenapa aku sensi banget sama si Sampulawa ini ya? Maaf, kepada yang punya nama. Ini hanya cerita fiktif dari nama yang tidak fiktif.

Sudah tiga jam kau bercerita tentang Sampulawa ini. Lelaki yang ternyata setelah kuselidiki, juga memperhatikanmu. Mungkin di lain waktu aku perlu menusuk perutnya dengan belati beracun.

Tiga
Ternyata instingmu cukup tajam. Setelah obrolan tentang Sampulawa. Kau berubah sikap, seolah mengetahui bahwa aku tidak suka saat kau bercerita tentangnya. Tanpa musabab yang jelas kau menancapkan petuah: "Izinkan aku bersyukur akan pagi, siang dan malam tanpamu. Sama seperti sehat, untuk mengetahui nikmatnya sehat, harus sakit dulu." Maka kuikuti aturanmu.

Tiga hari tak kuhubungi. Tepat di hari keempat, kau datang dengan muka merah padam. Tanpa aba-aba kau melabrakku seolah aku musuh bebuyutanmu yang paling kau benci. "Berapa lama lagi kau akan menjauhiku? Tidak menghubungiku dan tidak terima kuhubungi?" Astaga! Sebenarnya apa sih inginmu? Kulakukan ini karena pintamu. Dan masih kau salahkan?

"Jangan salahkan wanita jika selingkuh kalau lelakinya tidak mau menghubunginya!" Apa! Logika macam apa itu? Bukankah suatu hubungan harus dibangun atas dasar kepercayaan dan pengertian? Aduh! Tapi kau bukan siap-siapaku, kan? Yeah... Setidaknya... Ah, entahlah. Tapi sebenarnya kau adalah segalanya bagiku. Andai kau tahu. Sungguh.

Maka segala hal darimu akan kuterima. Walau begitu luas sikapku padamu, tetap saja aku punya batasan, manusia selalu punya batasan. Pun keluasan hatiku tuk tetap menerimamu, memiliki batasan. Saat batasan itu telah kau lalui. Aku harus mendahului perasaanku padamu. Melepasmu, tapi tidak melupakanmu.

Empat
Seperti gulungan ombak di pantai, bergantian memukul pasir landai. Hubunganmu dengannya kadang maju dengan gulungan besar, lalu disusul air datar tanpa gelondongan. Namun, setelah setahun kau pacaran dengannya kau mulai merasakan ketidakseimbangan. Perhatianmu sangatlah besar. Sedang perhatiannya padamu seolah semakin pudar. Seperti cat merk murahan yang dilekatkan pada tembok tanpa atap. Ditampar dinginnya angin malam, diguyur basahnya hujan dan dibakar teriknya matari.

Sikap legowo yang kau berikan atas segala perlakuannya yang jumawa lambat laun mulai menipis. Kau mulai merasa tertekan dan menyimpan jarum kehawatiran. Seperti, kau yang terlalu banyak menelponnya ketimbang dia menelponmu. Memulai pesan singkat, sedang dia tidak. Memintamu mengisikan pulsanya untuk menghubungi orang lain. Seolah kau mencipta segala inginnya selalu terkabul. Tidak peduli apakah kau senang atau melarat. Kau mulai sering diam saat bertatap muka denganku. Seolah ingin menyembunyikan kegelisahanmu. Pembohong yang payah. Bahkan dengan diammu menyiratkan kejujuran bahwa kau dihantui ketidakbahagiaan.

Memang benar, dia, Sampulawa, pacar busukmu yang kau cinta, selalu berkata jujur. Tapi lidahnya seolah berduri. Kejujurannya melukaimu dengan telak. Bahkan dia bercerita dengan bangga. Kajujuran yang menyakitkan, seperti; aku masih mencintai mantanku kemaren. Dadamu serasa diperas dengan handuk keras. Sesak. Kau diam, menyunggingkan senyum pilu. Menerima irisan luka yang kian menganga. Tapi kau masih bersikukuh bahwa dia bisa berubah dengan segala sikapmu yang kau tumpahkan. Menjaring segala kesakitan demi mendapat ikan kebahagiaan. Miris sekali, menurutku.

Sebenarnya segala penilaianku di atas hanyalah bentuk dari kekalahanku pada keadaan. Tapi kurasa, kau terlalu banyak menyimpan rahasia. Tanganmu sudah penuh dengan kotak pandora. Segala isinya pasti mengandung kejutan yang menyenangkan dan menghawatirkan. Aku tak tau, lebih banyak mana. Yang jelas, segala masa lalumu akan selalu salah di matanya. Kau menerima itu sebab kau pikir, ini hanya ujian.

Sebab segala adalah menjaga.

Lima
"Aku sudah tidak tahan lagi dengannya! Muak dengan segala sikapnya! Harus berapa kali aku mengalah? Memangnya aku tidak pantas bahagia ya? Sengsara sepanjang usia?"

Itu kalimat pembukamu dalam telepon. Tidak ada basa-basi atau sekadar bertanya kabar. Ibarat orang baru bangun tidur langsung lari terbirit kencang ke kamar mandi. Belum sempat aku bicara membalas, kau melanjutkan;

"Aku ingin ketemu denganmu di tempat biasa kita mengisi waktu. Sekarang. Jangan telat ya! Aku siap-siap sekarang."

Telepon terputus.

Sudah kebiasaanmu memotong telepon tanpa persetujuan lawan bicaramu. Kebiasaan yang buruk. Tapi sepertinya kau begitu karena diperlakukan begitu oleh pacarmu yang selalu merasa ganteng. Sepengalamanku denganmu, yang sering telat dan selalu benar itu kamu. Seperti saat kau berjanji mengembalikan buku Sejarah Peradaban Islam di depan Perpustakaan Kampus. Aku menunggumu hingga dua jam dengan perut keroncongan. Dan kau datang dengan sedikit senyum manismu. Dan bilang bahwa keterlambatanmu bukan kesalahanmu, tapi karena kamar mandi hanya satu, sedang teman kosmu berjumlah lima manusia. Dan jika kau berkata sudah siap-siap itu artinya kau baru benar-benar siap satu jam berikutnya. Begitulah wanita, mahluk halus yang selalu bikin lelaki kian mampus.

Kafetarian. Semacam rendezvous bagiku. Kulirik jam tanganku, 10 menit lagi dia tak datang aku akan pergi. Kuhabiskan 10 menit dengan mengingat segala hal tentangnya. Mulai dari sikapnya yang manja semanja kelinci, siara marahnya yang tersegal nafas tak tuntas, senyumnya yang kepalang manis matang, igauannya saat telponan larut malam yang kepalang kelam, atau saat kau menutup telepon tanpa merasa harua minta ampun.

10 menit lewat. Badan kuangkat ingin membayar bill. Belum sempat kulangkahkan kaki kau datang tanpa sapa dan langsung memerintah.

"Duduk! Aku mau bicara serius sekarang."

Enam
Pada ahirnya yang selalu ada mengalahkan yang didamba. Sebab cinta bukan tentang siapa yang lebih awal dikenal atau yang lebih disayang, melainkan tentang siapa yang datang dan tidak hilang. Selamanya wanita akan menjadi misteri di mata lelaki. Hati wanita sangat tidak stabil. Bukan berarti labil. Dalam sedetik bisa saja berbeda dengan keputusan sebelumnya dengan keyakinan sekuat para pegulat yang ulet. Saat ditanya pun jawabannya tidak dapat ditakar oleh logika lelaki yang berkelakar.

Setelah kau menyampaikan maksudmu, aku hanya diam lama. Mencoba memahami alur hatimu dengan logikaku. Tapi kau sudah pernah membantah bahwa wanita tidak pandai dengan logika dalam hal cinta. Memandangi wajahmu untuk menemukan bahwa kau sedang bercanda. Namun air mukamu menyiratkan keseriusan yang sangat. Matamu berair menahan debaran hasrat yang kuat. Kau memilihku sebagai imammu. Dengan tanpa syarat kau nyatakan bahwa kau mencintaiku, memilihku. 

 Oleh Achmad Marzuki, Santri Pondok Pesantren Nurul Jadid


Dimuat di Radar Bromo, Jawa Pos, Minggu, 09 Agustus 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar