Sabtu, 21 Maret 2015

Bayangkanlah, Adik...

090315 •
Bayangkanlah adik,

Engkau sedang duduk sendiri di tepian telaga berwarna madu. Telaga yang airnya menganga menghadap langit. Air yang tenang dan diam. Langit barat menguning tua. Sinar tua matahari berwarna emas. Sore yang senja. Angin semilir bagai melintir dedaunan. Satu dua daun jatuh di atas permukaan air telaga.

Pandanganmu memang mengarah barat, tapi hatimu sedang menjelajah segala gundah yang serapah. Seluruh perutmu dirundung kehawatiran yang mendung. Murung yang tak terbendung. Engkau takut aku menyikut? Pergi menyelinap meninggalkanmu? Dengan wanita lain?

Jangan berhenti adik,
Lanjutkanlah bayanganmu...

Kini dadamu penuh gemuruh hingga menggoncangkan seluruh ragamu. Airmatamu menetes. Bukan sebab sedih atau senang, airmata kehawatiran. Bibirmu mulai mengeluarkan bunyi sesegukan dan badanmu tambah bergoncang. Menangis yang mengiris.

Saat itulah, ada lengan lelaki yang tiba-tiba memelukmu dari belakang. Merangkulmu. Ya, engkau duduk menekuk lutut. Itu tanganku, adik. "Tenanglah," kataku. Engkau hanya mengangguk dan badanmu tambah menggigil. Pelukan semakin kueratkan, kuhangantkan. 

Kudekatkan wajahku ke wajahmu hingga mukaku setara dengan telingamu. Lalu kubisikkan, "Adik, jangan hawatir. Aku tidak akan meninggalkanmu. Sebab aku akan menjagamu. Selalu. Selama-lama." Kini badanmu lebih tenang. Nafasmu mulai teratur.
"Adik..."
"Ya, kak..." kau menjawab sambil menoleh.
Lalu aku mencium keningmu, mengecup bibirmu.
Besok.
Seminggu lagi kita menjadi orangtua

*** 
---Ending yang lain---
Kudekatkan wajahku ke wajahmu hingga mukaku setara dengan telingamu. Lalu kubisikkan, "Adik, jangan hawatir. Aku tidak akan meninggalkanmu. Sebab aku akan menjagamu. Selalu. Selama-lama." Kini badanmu lebih tenang. Nafasmu mulai teratur.
"Adik..."
"Ya, kak..." kau menjawab sambil menoleh.

"Perutmu kenapa buncit begitu?" Tanyaku dengan ekspresi kaget yang kubuat-buat.
"Hahahaa... Ini buncit yang selalu ditungu para wanita bersuami, sayang. Buah hati kita di sini." Jawabmu, sambil mengambil tanganku dan diarahkan ke perutmu yang menggunung. 
Kuelus dengan perlahan dan halus.
Kuarahkan mukaku ke perutmu seraya berbisik,
"Sayang, sayangilah ibumu tersayang, sebab ayah menyayanginya seperti menyayangimu." 
"Bisakah kakak menggunakan kalimat sederhana untuk anak kita yang belum lahir?"
:) Aku mencintaimu, Adik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar