Tanggal 7 Desember 2014 kemaren waktu subuh hapeku ilang dua-duanya (bebe dan Samsung Galaksi ch@t). Semalem aku tidur jam dua karena sedang asik baca bukunya Haruki Murakami, 1Q84, jilid satu. Kupikir itu hanya anak pengurus yang sedang main-main, jadi aku santai saja. Setelah solat subuh aku konfirmasi mereka. Ternyata tidak ada yang tahu. Muncul beberapa spekulasi dari kasus tersebut. Pertama, mahasiswa lantai bawah yang ngambil. Kedua, sesama pengurus yang ngambil. Ketiga, para siswa yang ngambil. Tapi, kalau secara logika, ketiganya tidak mencapai 30 persen akan ngambil hapeku. Pagi sebelum berangkat sekolah, seluruh siswa kukumpulkan, kukabarkan keadaanku. Ternyata ada kemungkinan keempat yang sangat logis: ada keamanan pondok yang mengontrol kamar sebelum subuh.
Aku langsung menuju kantor keamanan. Mendatangi temanku, menanyakan hapeku.
"Ya! Hapemu ada pada kami. Silahkan nanti setelah sekolah datang lagi untuk mengurusnya. Aku masih ngantuk, mau tidur, semalaman tidak tidur." Katanya dan langsung masuk kamar lagi dan tidur.
Minimal keberadaan hapeku sudah ketahuan.
Jam 10 aku tidak ada jam ngajar di SMA. Kudatangi lagi kantor keamanan, yang menghadapiku namanya Amir. Dia seangkatan denganku. Tentu saja sudah menjadi keamanan senior di pondok. Kuliahnya belum selesai. Muncullah dialog begini:
"Mari, silahkan masuk, silahkan duduk. Saya tau keperluanmu. Tentang hape kan?" Ia memulai percakapan dengan banyak kalimat dan diahiri dengan senyuman aneh, seperti sedang meremehkan.
"Ah, sudah paham ternyata. Jadi, bagaimana..." Sengaja kugantungkan kalimatku.
"Nah, itu dia. Kamu kan sudah lama kukenal, juga sedaerah, sudah kuanggap keluarga sendiri. Tapi mau bagaimana lagi. Sebagai keamanan aku wajib melaksanakan tugasku: bahwa setiap santri tidak boleh membawa hape. Tentu saja konsekuensinya, hape ditahan, tidak dikembalikan, dan diambil hak pesantren."
"Sebelumnya aku minta maaf, Mir. Bukannya aku mau apa atau gimana. Tapi menurut BPPS (semacam undang-undang di pondok), yang dimaksud santri adalah mereka yang terdata di kantor pesantren dan berdomosili di pesantren. Maksudku, secara hukum aku tidak termasuk santri, sebab; pertama, aku sudah boyong (berhenti mondok) sejak tahun 2009. Kedua, berdomisiliku di pondok, niatan mengabdi, sama seperti santri yang sudah berkeluarga tapi masih mengabdi di pondok. Hanya bedanya, aku belum berkeluarga dan berdomisili di pondok untuk mempermudah mengontrol para santri. Jadi secara garis hukum aku bebas dari larangan membawa hape."
"Wah, susah ini saya jadinya. Tapi, maaf nih. Aku gak berhak mengembalikan hapemu, sebab masih ada atasanku. Kalau kamu ingin hapemu kembali, silahkan datangan kepala keamanan, siapa tahu beliau memiliki pendapat berbeda denganku dan berkenan mengembalikan" Nada bicaranya masih santai, tapi dengan getar suara yang berbeda dengan awalnya.
"Baiklah. Aku akan menghadap kepala keamanan. Oya, barang-barangku aman, kan, di sini?"
"Santai saja. Jangan hawatir. Dijamin barang tidak lecet sedikit pun."
"Oke. Aku ke sekolah dulu."
***
Bakda magrib aku ke rumah kepala keamanan dengan Humayni, teman asik diajak sharing. Kepala keamanan namanya Farhorrozi. Ia juga dosen di kampus lingkungan pondok. Begini dialog saat di rumahnya:
"Maaf mengganggu waktu bapak istirahat. Saya yang nelpon bapak tadi siang."
"Oya, ada keperluan apa?" Dia menjawab dengan nada santai bersahabat.
"Hape saya diambil teman-teman keamanan. Saya sudah menghadap mereka dan disuruh menghadap bapak."
"Santri?"
Kujelaskan kedudukanku di pondok bahwa aku dalam masa pengabdian, konsekuensi dari beasiswaku saat kuliah di Semarang.
"Ya, besok sore sampean langsung ke saya di kampus. Ndak usa ke kantor lagi. Hapenya bisa langsung di ambil. Apa hapenya?"
"Dua, pak. Bebe dan Samsung."
"Wah, dua, ya?"
"Hehee, iya, pak. Dan cargernya juga."
"Wah, ngeces ta?"
"Tidak, pak. Hanya saja, saya taruk seadanya."
"Ya, besok sore di kampus."
"Baik, pak. Terimakasih."
Walhasil, hapeku dikembalikan. Tapi ada beberapa hal yang aneh.
Pertama, lapisan layar BlackBerry tidak semestinya, seperti sempat terkelupas dan dipasang seadanya. Kedua, pulsa di hape satunya, yang Samsung, hilang 50 ribu. Keadaan ini tidak sesuai dengan janji Amir bahwa hapeku akan aman tidak ada lecet sedikit pun.
Setelah hape kudapat, aku langsung apdet status begini:
•081214•Dasar Manusia Setan!Berhadapan dengan orang picik tidak cukup dengan modal kejujuran, perlu sesuatu yang bernama kelicikan.
status kedua:
Institusi dan ketuanya orang baik. Dan heh! Oknum kecil di dalamnya sangat tidak cocok berada di institusi tersebut. Licik! Picik! Perampas hak orang! Sialan! Setan! Kampret! Tikus!¤Tidak ada orang yang lebih memuakkan ketimbang perampas hak.¤Tidak ada orang yang lebih hina ketimbang perampas hak.¤Merekalah orang-orang yang patut disebut sampah, bahkan lebih busuk ketimbang sampah.¤Pada ahirnya kudoakan saja semoga oknum-oknum sialan itu lenyap dari institusi tersebut.
*yg melihat status ini kuanggap ucapan 'amin'. Amin.
***
Kalau mau benar-benar bersikap profesional. Tidak mungkin keadaannya jadi begitu. Lagi pula, anak-anak keamanan juga memegang hape android tanpa izin. (Santri boleh membawa hape asal memiliki izin dari pengasuh.)
Ahirnya kudatangi lagi kantor keamanan untuk meminta kejelasan. Niatku ke sana ingin meminta nama: siapa yang ngambil hapeku, siapa yang menyimpan hapeku, siapa yang mencuri pulsaku, siapa yang memiliki rekomendasi, dan tentu saja apa sebenarnya yang mereka kerjakan.
Hasilnya bisa ditebak. Amir menghadapiku dan meminta maaf tanpa ekspresi bersalah dan hanya mengimbui dengan kata-kata:
"Baiklah, nanti akan kuselidiki siapa yang melakukan itu. Tapi sebagai catatan, aku ingin kau tidak su'udon dulu. Karena biasanya, kami menghubungi nomor kontak yang ada di hapemu."
"Jika memang demikian adanya, aku tidak masalah. Tapi anehnya, pulsaku hilang 50 ribu. Bulat. Tidak kurang, tidak lebih dari 50 ribu itu yang hilang. Bukannya ingin minta ganti. Aku hanya ingin tahu, siapa oknum yang melakukan hal busuk begitu."
"Sekali lagi minta maaf. Aku ndak tahu siapa yang ngambil, siapa yang menyimpan, dan siapa saja yang menggunakan hapemu. Tapi, ya, itu tadi. Jangan berpikir negatif dulu."
"Oke. Kira-kira, bisa ndak aku minta nama-nama mereka."
"Wah, sepertinya tidak bisa. Biarlah itu menjadi kritik untuk kami dan tentu saja aku akan membahas itu dalam rapat internal keamanan."
***
Silahkan kalian menilai sendiri bagaimana. Yang jelas, ceritaku di atas hanya sekadar pengalaman pribadi. Semoga kita semua tetap mendapat hidayah dari Allah s.w.t. Amin.