Senin, 29 Desember 2014

Malaikat Penghisap Darah


Sudah lama aku berdoa agar selalu dilindungi malaikat saat tidur. Menjelang subuh tubuhku selalu digerayangi mahluk nakal. Frekuensi suaranya mengganggu tidurku. Tusukan jarumnya merusak mozaik istirahatku. Akumulasi keseluruhannya membentuk fragmen kegelisahan dan keresahan. Puncaknya akan memaksaku untuk bangkit dari tidur pendekku.

Analisis otakku menghasilkan kinerja otot reflektif untuk menghapus gangguan. Mengusir ancaman mereka. Menghantam mereka dengan telapak tanganku yang mulai membara. Tak satu nyamuk pun kutangkap. Mereka nyamuk sakti mandraguna. Atau jangan-jangan mereka adalah transformasi terburuk malaikat untuk membangunkanku kala adan subuh berkumandang? Jika benar, beruntunglah aku, dibangunkan oleh malaikat...penghisap darah.

Setelah solat subuh, tidak ada lagi nyamuk malaikat itu. Mungkin mereka telah berhasil. Kini mereka membawa sekantong amal kebaikanku untuk dihaturkan pada Sang Pencipta. Semoga darahku sehat. Semoga ibadahnya cocok. Semoga...amin.

261214

Gadis Hujan

Dari sekian banyak pencerita, mayoritas mengidentikkan hujan sebagai kesedihan dan kemurungan. Warnanya yang kelabu menambah sendu para kekasih yang dirundung rindu. Langit yang mustinya biru berganti warna abu-abu. Bahkan tak tanggung-tanggung, ada yang berkisah tentang sifat sedih hujan. Tapi aku bukan mau menceritakan tentang mereka yang membenci hujan. Ini tentang gadis yang menyukai hujan. Gadis hujan.
"Kau tahu asal-muasal hujan?" 

Tanyanya pada suatu sore yang gerimis.

"Mereka air mata malaikat yang menangis sebab melihat umat yang melaknat. Atau hujan adalah fragmentasi dari bentuk kemurungan yang nyata. Hujan adalah akumulasi kesedihan. Tiap tetesnya berupa mozaik kegelisahan. Semua orang membenci hujan."

"Kau salah! Mereka anugerah. Aku menyukai hujan yang basah." Jawabnya bersungut-sungut.

Setelah itu aku diam. Heran. Ternyata ada yang menyukai hujan. Tidakkah ini terlalu melankolis. Gadis pecinta hujan.

"Aku selalu menunggu hujan saat awan mulai menghitam."

Aku tetap diam. Kuyakin wanita di sampingku ini memiliki banyak persediaan kosa kata unik untuk melindungi hujan dari hujan kecaman.

"Hujan bukan musibah. Manusia lah yang mencipta musibah. Banjir datang sebab selokan tertutup sampah. Aku menyukai hujan bukan untuk membelanya, tapi karena aku memang menyukai hujan. Turunnya seperti peluru yang turun dari senjata serdadu langit. Hujan itu menghidupkan bukan mematikan." Panjang lebah dia berkisah dialektik.

"Baiklah. Aku tidak akan membenci hujan lagi."

Wanita di sampingku tersenyum. Pipinya penuh seperti sedang menyimpan gula-gula dalam mulutnya. Matanya menyipit seperti burung pipit. Air wajahnya menampakkan kegembiraan.

"Kau senang?" Sambungku.

Dia mengangguk cepat tanpa mengurangi frekuensi senyumnya. Bibirnya mengembang pertanda kegembiraan yang naik. Matanya membulat pertanda semangat.

"Yuk, kita berangkat sekarang!" Ajaknya. Rencananya kita pergi ke perpus daerah. Kita sama-sama suka baca.

"Hmm~ masih hujan lo." Jawabku hati-hati. Kulirik wajahnya. Dia menguncupkan bibirnya. Merengut.

"Iya, iya. Yuk berangkat!" Ia senang bukan buatan. Aku suka melihatnya begitu, melihat ekspresi wajahnya yang cepat berubah. 

221214

Belatung Kebohongan


Semalam aku membaca amalan kejujuran hingga tertidur. Dalam tidurku aku bermimpi aneh. Bertemu dengan kupu-kupu kejujuran. Kupikir kupu-kupu tersebut dinamai kejujuran oleh seseorang, tapi sebenarnya itulah kejujuran. Sifat jujur berbentuk kupu-kupu. Sekilas memang seperti kupu-kupu biasa. Ternyata ada yang aneh. Sayapnya hanya satu dan berbulu seperti sayap burung. Warnanya tidak membosankan, seperti warna aurora di langit kutub. Antenanya ada tiga. Matanya biru tosca. Dan bisa bicara.

Aku berada di kebun yang semua daunnya berbeda warna. Hijau tua, agak tua, muda, dan agak muda. Merah tua, merah cerah, merah buram, dan merah muda. Kuning pekat, kuning cerah, dan kuning muda. Aku sampai tidak tahu nama-nama warna yang beraneka tersebut. Dari sekian warna daun, yang paling kusenangi adalah daun yang berwarna senja. Bukan orange. Di setiap daun terdapat kupu-kupu kejujuran yang warna sayapnya serupa warna daunnya.

"Kau tersesat?" Seekor kupu-kupu sebesar burung pipit menyapaku.
"Entahlah! Tapi aku senang berada di tempat ini."
"Ya, karena kau orang yang jujur." Kupu-kupu lain menjawabnya. Bentuknya lebih kecil lagi.
"?" Aku mengerutkan alis dan dahi pertanda tak mengerti.
"Orang jujur akan memimpikan kami. Bentuk asli kejujuran..."
"Kupu-kupu?"
"Manusia mengenal bentuk kami sebagai kupu-kupu. Tapi kami bukan kupu-kupu. Kami kejujuran."

***

Aku terbangun saar azan subuh mengalun. Jiwaku masih tertegun. Mana mungkin kejujuran berbentuk kupu-kupu? Padahal sayapnya sangatlah rapuh. Aku duduk bersimpuh. Merenung. Apa ini bentuk tenung? Ah, ini hanya mimpi yang tak agung. Jangan sampai membuatku bingung.

***

Pagi ini pandanganku terasa berbeda. Seperti tembus pandang. Aku melihat orang-orang hanya terbagi dua macam. Pertama, terang benderang dengan sayap di belakang dan yang kedua, terlihat buram kelam dan...penuh belatung.

Para lelaki di depan wanita seksi berbicara berbusa-busa belatung. Seolah dalam perutnya tersimpan ribuan belatung yang menjijikkan. "Merekalah para pembohong." Terdengar suara dengung dalam kepalaku. Ketika kutoleh orang yang benderang aku mendengar suara: "Merekalah orang-orang jujur". Dari badannya beraroma wangi. Pundak mereka kokoh seperti atlit. Astaga! Inikah maksud mimpiku semalam?

Aku dapat melihat dengan jelas antara orang yang bohong dan yang jujur. Aku berusaha bersikap seperti orang biasanya. Menyapa temanku yang mulutnya banyak memuntahkan belatung. Wew! Memuakkan! Mereka berniat tersenyum tapi yang kulihat mereka sedang menyeringai menakutkan.
Lidahku seolah terprogram hanya mengucap kejujuran setelah mimpi semalan. Bibirku jadi kaku saat berniat berbohong. Untuk itu, aku lebih suka diam daripada berbincang-bincang dengan temanku. Tapi bibir dan lidahku lebih banyak terasa kaku ketimbang mengeluarkan suara.

"Mengapa mulutmu penuh belatung!" Komentar reflekku saat ditanya tentang penampilannya.
"Sialan kau!" Balas temanku.
"Aku bercanda." Satu belatung meloncat dari mulutku.

Dari sekian banyak teman, hanya sebagian kecil yang mulutnya tidak berbelatung. Dia memang selalu blak-blakan saat bicara. Tapi itulah kejujuran.

Aku merasa bahwa ini adalah hari teraneh dalam hidupku. Sekarang sudah malam. Sudah waktunya tidur. Di samping ranjang ada cermin besar menghadapku. Tak sengaja aku melihat diriku dalam cermin. Astaga! Mulutku memang bersih tak ada belatung, tapi pandanganmu menembus daging dadaku. Di sela-sela ruas tulang rusukku terselip belatung-belatung yang menumpuk. Jantungku dikerubungi belatung. Paru-paruku tertutup belatung. Ususku dijalari ratusan belatung. Di sudut hati terdalam, ada satu kupu-kupu dengan sayap berwarna senja.

Probolinggo, 211214•

Ikan Setan


Pagi tadi aku sarapan dengan lauk ikan laut. Ikan laut yang aneh. Tidak seperti mata ikan yang digoreng. Matanya terlihat segar seperti ikan koi yang berenang di aquarium. Aku tak peduli, dagingnya nikmat sekali. Mata ikan itu menatapku dengan tajam dan bergerak-gerak. Aku tetap abai dan menutupinya dengan sayur bayam.

"Sialan! Perih tauk!"

Apa aku berhayal? Ikan itu baru saja mengumpat. Kuintip mata ikan aneh itu. Tidak ada yang berubah. Mulutnya kaku sebagaimana ikan goreng lainnya. Tidak mungkin ikan mati bisa bergerak apalagi mengumpat.

Kulanjutkan makanku. Seluruh badan ikan tinggal belulang dan kepalanya. Perutnya berisi telur yang begumul. Aha! Aku paling suka telur ikan. Kunikmati telur itu dalam mulutku. Tak langsung kutelah, kugerak-gerakkan seperti mengaduk air. Lalu mulutku terasa aneh. Telur ikan sialan itu seperti menetas dan langsung berenang ke tenggorokan menuju perut.

"Rasakan kau manusia tamak!" Ikan tak berdaging itu mengumpat lagi.

Ikan-ikan mungil itu berenang dalam lambungku, memakan pecahan nasi yang kumakan. Sekali menelan makan, ikan itu semakin besar dan lapar. Ikan mungil itu tidak kenal kenyal. Lapisan lambung seperti dikuliti dari dalam. Sampai habis. Kini ikan-ikan itu sebesar lalat ijo. Nafsu makannya bertambah.

Mereka mulai mengikis habis usus duabelas jariku. Ikan-ikan itu tak pantas lagi kubilang mungil, sekarang sebesar kelereng. Anehnya, perutku tidak membuncit kesakitan. Yang jelas, lambung dan ususku telah lenyap disantap ikan setan itu. Mereka menelusuri dan melahap segala jeroanku. Lambung. Usus. Jantung. Hati. Paru-paru. Sekarang perutku telah kosong, hanya berisi ikan-ikan setan.

Ikan di piring makanku menyeringai seolah mengerti apa yang terjadi dalam perutku. "Ini gila! Ini tidak mungkin terjadi." Sayang sekali, tokoh aku dalam cerita ini tidak bisa menentukan nasibnya sendiri. 

Cerita tetap berlanjut.

Aku mulai memukul-mukul perutku sendiri, berharap ikan sialan itu mati. Tapi rongga dalam perutku menjadi sangat luas untuk gerombolan para ikan. Ikan-ikan itu ikan kanibal. Setelah isi jeroanku habis, mereka mulai saling mangsa. Tidak ada yang lebih kecil atau lebih besar. Semua bertarung berebut saling menerkam.

Ada ikan yang cerdik. Ia menyempal tulang rusukku dan mulai menusuk ikan-ikan lainnya. Jumlah ikan berkurang, yang awalnya ratusan, kini tinggal tigabelas ekor. Merekalah para pemenang. Merekalah predator terkuat dalam perutku. Gigi-gigi mereka diasah dengan tulang rusukku. Semakin tajam dan kuat. Rasa lapar ikan setan itu semakin menjadi. Tulang rusukku mulai jadi santapan.

Kini aku bisa mengelus punggungku dari dadaku. Seperti menyentuh dasar cangkir berisi kopi kental. Seluruh tulang dalam perut dan dada sudah hilang dimakan ikan. Mereka sudah sebesar dua jari. Tidak ada yang bisa menahan nafsu makannya yang serakah. Mereka berhasil menghabiskan tulang tangan dan kakiku. Aku berjalan tanpa kerangka, seperti layangan tanpa kerangka. Kini, aku berjalan selalu menjauhi angin. Jika tidak, aku bisa terbawa terbang. Seluruh organ dalam, daging, dan tulangku sudah habis. Hanya otakku yang tersisa.

Tigabelas ikan itu sudah tinggal dua. Ikan jantan bernama Ikana dan betina bernama Ikani. Ikani telah bunting. Aku berharap ada dukun ikan yang tiba-tiba muncul dalam perutku dan memaksa Ikana-Ikani untuk menggugurkan kandungannya. Dengan tujuan itu, aku sekarang memburu ikan di sungai atau laut dan memakannya mentah-mentah. Tak jarang aku menelan ikan hidup-hidup. Siapa tau ikan yang kutelan hidup-hidup itu adalah ikan jagoan yang dapat membunuh Ikana-Ikani. Tapi Ikana sangat istimewa, seolah-olah dialah raja ikan. Semua ikan tunduk padanya. Maka tidak jarang saat aku muang air, yang keluar malah ikan hidup.

Tanpa sengaja, Ikani keluar melalui perutku. Saat itu Ikani sedang berlatih melompat. Karena kekuatannya yang besar, ia menerobos perutku yang memang sudah lapuk. Aku bahagia. Sebab Ikana akan menjadi lemah tanpa Ikani. Semakin hari Ikana semakin murung, seperti burung pipit yang kesepian. Badannya yang kekar mengerut tipis setipis kertas. Anehnya, setelah Ikani keluar dari badanku, segala badanku mulai lengkap lagi. Daging-daging bergerak-gerak mengisi daerah yang seharusnya diisi dengan daging. Tulang merambat bagai kabel, menggumpal, mengeras menjadi tulang yang lebih kokoh dari sebelumnya.

Jeroanku mulai lengkap lagi. Jantung, lambung, usus, paru-paru. Tapi badanku sekarang lebih cepat gerah. Dalam satu jam aku harus mandi. Jika tidak, aku jadi sesak bernafas, seperti akan mati, seperti ikan yang diangkis ke atas tanah. Kulitku semakin bersih dan sedikit menyerupai sisik salak. Leherku berlobang seolah disilet. Seperti insang.

Hanya di dunia cerpen semua bisa terjadi. Ikan mati dapat mengumpat. Telur ikan mati jadi hidup dan memangsa manusia dari dalam. Hingga manusia berubah jadi ikan.

Selesai dihayal dan ditulis 191214.

Bukan Kata Kata Bukan


151214
BukanKataku
Bukan tentang siapa yang pertama atau yang dikenal lebih lama atau yang paling sayang. Tapi tentang siapa yg datang dan tak menghilang. 

161214•
Banyak sekali ya paku yang musti dicabut. Seperti bulu ketek aja, habis dicabut tumbuh lagi. Sialan ni ketek! Bau lagi!

181214•
Seperti biasa, Dan Brown menyusun kata-kata seperti timbunan batu berbobot maha besar-berat dan tertata apik. Perumpamaannya sangat sesak dan padat. Gud buk.
•On reading Inferno


Selasa, 09 Desember 2014

Menyanyilah, sayang...


Tau kenapa aku memintamu menyanyi?
Sebab saat bernyanyi, tubuh secara otomatis akan melepas hormon Endorfin. Sehingga timbullah rasa senang dan bahagia.
051214

Monolog Siang


•031214
Kau terlalu banyak mikir.
"Bukankah kita punya otak?"
Hatimu juga kau kekang dengan pikiranmu? Bukan itu fungsi hati manusia, tapi agar kita tenang.
"Bicaramu selalu penuh retorika dan penafsiran."
Kata-kata hanya jembatan akan makna.
"Jangan mengucap yang ambigu dipahami. Aku capek. Masak tiap ucapanmu butuh dipikirkan lebih dari sekali."
Hmm~ ok. Pergilah dari pikiranku!
"Apa! Itu masalahmu! Hahaha"
Jangan tertawa! Ini bukan lelucon.
"Kata-katamu paradoks dengan perkataanmu yang pertama."
Biar saja. Aku tak urus itu.
"Kau semakin aneh. Aku tak mengnalimu."
Biar saja. Itu urusanmu.
"Katanya kau mencintaiku?"
Biar saja. Itu urusanku.
"Katanya ingin menjagaku?"
Jangan ingatkan aku!
Katanya ingin..."
Jangan dilanjutkan!
"...Ingin..."
Kubilang jangan!
"...ingin me..."
Diam!
"Kau mulai berani membentakku,"
Maafkan aku. Ini hanya... Ah, maaf, maaf,

Monolog 031214


••
Wanita biasanya menyukai orang yang mencintainya dengan cara dewasa.
"Dan kau masih bersikap kekanak-kanakan?"
Tidak ada pecinta yang bersikap dewasa.
"Kau benar-benar mencintainya?"
Apa aku terlihat bermain-main? Dia yang main-main.
"Kau menuduh tanpa bukti. Artinya kau sedang berpikir sesat."
Aku tidak peduli omong kosongmu.
"Kau gila!"
Tidak ada pecinta yang waras.
"Kau membodohi dirimu sendiri. Kau bilang cinta tapi menjauh?"
Simpulanmu salah. Pola pikirmu sesat.
"Kau aneh!"
Tidak. Aku hanya sedang jatuh dari cinta.
"Susah ngomong dengan orang sepertimu,"
Itu urusanmu.
"Malam sudah larut. Kau tak mau tidur?"
Aku sudah tidur.
"Ya! Kau tidur dari kenyataan."
Terserah kau bilang apa. Aku tak peduli.
"Juga padanya?"
Mana mungkin aku bisa melupakannya!
"Kau benar-benar aneh."
Sedikit.
"Ahirnya kau putus asa. Hahahaa"
Harapan tidak pernah padam.
"Ah, sudahlah! Aku ngantuk."
Itu di kamar ada wanita nganggur.
"Apa kau gila!"
Hahahaa

Monolog Malam


2 Desember 2014
Aku merasa lega berbicara denganmu.
"Kenapa sekarang berhenti?"
Berbohong itu tidak nyaman.
"Apalagi jika dibohongi!"
Aku suka melihat air mukamu.
"Kembalilah! Aku menunggumu."
Kau suka memerintah.
"Itu nurani perempuan"
Jawabanmu selalu menuntut.
"Jadi, perempuan harus selalu mengalah?"
Kau sedang membentak bukan bertanya.
"Kau egois!"
Kau tak mau kalah.
"Terserah!"
Tenanglah,
"Huh!"
Hahahaa.
"Kan!"
Hahahaa.

Oknum Sialan!

Tanggal 7 Desember 2014 kemaren waktu subuh hapeku ilang dua-duanya (bebe dan Samsung Galaksi ch@t). Semalem aku tidur jam dua karena sedang asik baca bukunya Haruki Murakami, 1Q84, jilid satu. Kupikir itu hanya anak pengurus yang sedang main-main, jadi aku santai saja. Setelah solat subuh aku konfirmasi mereka. Ternyata tidak ada yang tahu. Muncul beberapa spekulasi dari kasus tersebut. Pertama, mahasiswa lantai bawah yang ngambil. Kedua, sesama pengurus yang ngambil. Ketiga, para siswa yang ngambil. Tapi, kalau secara logika, ketiganya tidak mencapai 30 persen akan ngambil hapeku. Pagi sebelum berangkat sekolah, seluruh siswa kukumpulkan, kukabarkan keadaanku. Ternyata ada kemungkinan keempat yang sangat logis: ada keamanan pondok yang mengontrol kamar sebelum subuh.
Aku langsung menuju kantor keamanan. Mendatangi temanku, menanyakan hapeku.
"Ya! Hapemu ada pada kami. Silahkan nanti setelah sekolah datang lagi untuk mengurusnya. Aku masih ngantuk, mau tidur, semalaman tidak tidur." Katanya dan langsung masuk kamar lagi dan tidur.
Minimal keberadaan hapeku sudah ketahuan.
Jam 10 aku tidak ada jam ngajar di SMA. Kudatangi lagi kantor keamanan, yang menghadapiku namanya Amir. Dia seangkatan denganku. Tentu saja sudah menjadi keamanan senior di pondok. Kuliahnya belum selesai. Muncullah dialog begini:
"Mari, silahkan masuk, silahkan duduk. Saya tau keperluanmu. Tentang hape kan?" Ia memulai percakapan dengan banyak kalimat dan diahiri dengan senyuman aneh, seperti sedang meremehkan.
"Ah, sudah paham ternyata. Jadi, bagaimana..." Sengaja kugantungkan kalimatku.
"Nah, itu dia. Kamu kan sudah lama kukenal, juga sedaerah, sudah kuanggap keluarga sendiri. Tapi mau bagaimana lagi. Sebagai keamanan aku wajib melaksanakan tugasku: bahwa setiap santri tidak boleh membawa hape. Tentu saja konsekuensinya, hape ditahan, tidak dikembalikan, dan diambil hak pesantren."
"Sebelumnya aku minta maaf, Mir. Bukannya aku mau apa atau gimana. Tapi menurut BPPS (semacam undang-undang di pondok), yang dimaksud santri adalah mereka yang terdata di kantor pesantren dan berdomosili di pesantren. Maksudku, secara hukum aku tidak termasuk santri, sebab; pertama, aku sudah boyong (berhenti mondok) sejak tahun 2009. Kedua, berdomisiliku di pondok, niatan mengabdi, sama seperti santri yang sudah berkeluarga tapi masih mengabdi di pondok. Hanya bedanya, aku belum berkeluarga dan berdomisili di pondok untuk mempermudah mengontrol para santri. Jadi secara garis hukum aku bebas dari larangan membawa hape."
"Wah, susah ini saya jadinya. Tapi, maaf nih. Aku gak berhak mengembalikan hapemu, sebab masih ada atasanku. Kalau kamu ingin hapemu kembali, silahkan datangan kepala keamanan, siapa tahu beliau memiliki pendapat berbeda denganku dan berkenan mengembalikan" Nada bicaranya masih santai, tapi dengan getar suara yang berbeda dengan awalnya.
"Baiklah. Aku akan menghadap kepala keamanan. Oya, barang-barangku aman, kan, di sini?"
"Santai saja. Jangan hawatir. Dijamin barang tidak lecet sedikit pun."
"Oke. Aku ke sekolah dulu."
***
Bakda magrib aku ke rumah kepala keamanan dengan Humayni, teman asik diajak sharing. Kepala keamanan namanya Farhorrozi. Ia juga dosen di kampus lingkungan pondok. Begini dialog saat di rumahnya:
"Maaf mengganggu waktu bapak istirahat. Saya yang nelpon bapak tadi siang."
"Oya, ada keperluan apa?" Dia menjawab dengan nada santai bersahabat.
"Hape saya diambil teman-teman keamanan. Saya sudah menghadap mereka dan disuruh menghadap bapak."
"Santri?"
Kujelaskan kedudukanku di pondok bahwa aku dalam masa pengabdian, konsekuensi dari beasiswaku saat kuliah di Semarang.
"Ya, besok sore sampean langsung ke saya di kampus. Ndak usa ke kantor lagi. Hapenya bisa langsung di ambil. Apa hapenya?"
"Dua, pak. Bebe dan Samsung."
"Wah, dua, ya?"
"Hehee, iya, pak. Dan cargernya juga."
"Wah, ngeces ta?"
"Tidak, pak. Hanya saja, saya taruk seadanya."
"Ya, besok sore di kampus."
"Baik, pak. Terimakasih."
Walhasil, hapeku dikembalikan. Tapi ada beberapa hal yang aneh.
Pertama, lapisan layar BlackBerry tidak semestinya, seperti sempat terkelupas dan dipasang seadanya. Kedua, pulsa di hape satunya, yang Samsung, hilang 50 ribu. Keadaan ini tidak sesuai dengan janji Amir bahwa hapeku akan aman tidak ada lecet sedikit pun.
Setelah hape kudapat, aku langsung apdet status begini:
•081214•
Dasar Manusia Setan!
Berhadapan dengan orang picik tidak cukup dengan modal kejujuran, perlu sesuatu yang bernama kelicikan.
status kedua:
Institusi dan ketuanya orang baik. Dan heh! Oknum kecil di dalamnya sangat tidak cocok berada di institusi tersebut. Licik! Picik! Perampas hak orang! Sialan! Setan! Kampret! Tikus!
¤Tidak ada orang yang lebih memuakkan ketimbang perampas hak.
¤Tidak ada orang yang lebih hina ketimbang perampas hak.
¤Merekalah orang-orang yang patut disebut sampah, bahkan lebih busuk ketimbang sampah.
¤Pada ahirnya kudoakan saja semoga oknum-oknum sialan itu lenyap dari institusi tersebut.
*yg melihat status ini kuanggap ucapan 'amin'. Amin.

***
Kalau mau benar-benar bersikap profesional. Tidak mungkin keadaannya jadi begitu. Lagi pula, anak-anak keamanan juga memegang hape android tanpa izin. (Santri boleh membawa hape asal memiliki izin dari pengasuh.)
Ahirnya kudatangi lagi kantor keamanan untuk meminta kejelasan. Niatku ke sana ingin meminta nama: siapa yang ngambil hapeku, siapa yang menyimpan hapeku, siapa yang mencuri pulsaku, siapa yang memiliki rekomendasi, dan tentu saja apa sebenarnya yang mereka kerjakan.
Hasilnya bisa ditebak. Amir menghadapiku dan meminta maaf tanpa ekspresi bersalah dan hanya mengimbui dengan kata-kata:
"Baiklah, nanti akan kuselidiki siapa yang melakukan itu. Tapi sebagai catatan, aku ingin kau tidak su'udon dulu. Karena biasanya, kami menghubungi nomor kontak yang ada di hapemu."
"Jika memang demikian adanya, aku tidak masalah. Tapi anehnya, pulsaku hilang 50 ribu. Bulat. Tidak kurang, tidak lebih dari 50 ribu itu yang hilang. Bukannya ingin minta ganti. Aku hanya ingin tahu, siapa oknum yang melakukan hal busuk begitu."
"Sekali lagi minta maaf. Aku ndak tahu siapa yang ngambil, siapa yang menyimpan, dan siapa saja yang menggunakan hapemu. Tapi, ya, itu tadi. Jangan berpikir negatif dulu."
"Oke. Kira-kira, bisa ndak aku minta nama-nama mereka."
"Wah, sepertinya tidak bisa. Biarlah itu menjadi kritik untuk kami dan tentu saja aku akan membahas itu dalam rapat internal keamanan."
***
Silahkan kalian menilai sendiri bagaimana. Yang jelas, ceritaku di atas hanya sekadar pengalaman pribadi. Semoga kita semua tetap mendapat hidayah dari Allah s.w.t. Amin.



Minggu, 30 November 2014

Desember - Awal yang Baru


Ini adalah hari pertama diciptakan. Memang banyak versi, tapi aku lebih suka versi yang mengatakan bahwa segala bermula pada awal Desember, bulan penghabisan dalam tahun. Apalagi sekarang hari Senin. Dalam bahasa arab Senin bermakna dua. Artinya sebelum mencipta semesta Tuhan telah membuat inti dari segala-gala, yang dicipta hari Ahad, artinya satu, awal dari segala angka. Hari Senin inilah Tuhan sibuk memikirkan apa saja yang akan dijadikan tontonan menarik. Tapi cara pikir Tuhan tidak sama dengan manusia. Sekali Tuhan berpikir akan langsung dapat ide, cepat sekali, secepat cepat. Sekali dapat ide akan langsung dicipta dan kita tahu bukan jika Tuhan mencipta? Ya, benar. Tidak butuh proses, seperti sulapan pesulap paling canggih.

Kata ahli warna, asal muasal warna adalah putih seperti air tawar. Tapi aku lebih suka mengatakan bahwa warna yang pertama dibikin Tuhan berupa warna cerah yang tidak menyilaukan. Gelap belum ada, jadi tidak ada bayangan apalagi kenangan. Dengan sekejap-kejap semesta muncul dari warna cerah itu. Membentuk gumpalan-gumpalan yang semakin menjauh dari pusatnya. Sesekali ada yang berbenturan tetapi beraturan. Gumpalan itu semakin jelas bentuknya menjadi benda yang sekarang dikenal dengan sebutan benda langit. Kalau kita melihat pasti sangat seru, seperti kembang api di tahun baru. Mungkin lebih seru lagi sebab gelap belum tercipta saat itu.

Semuanya berjalan sangat cepat. Bintang dan Planet sudah berporos pada tempatnya. Bumi sudah lebat dengan tumbuhan yang daunnya gemuk-gemunuk. Ujung daun tiap pohon selalu ada butiran embun. Rumput-rumput hijau seperti hijau. Pepohonan sangat kokoh dan rimbun, belum ada penebang liar. Tanahnya masih subur gembur, belum tercampur obat-obatan. Sungai memiliki air sejernih jernih. Ikan-ikan sangat senang berenang tenang. Tidak ada limbah sampah apalagi sumpah serapah. Seorang lelaki tertidur terlelap di bawah pohon yang daunnya gemuk-gemunuk itu.

"Kunamai kau 'Adam', sebab kau masih akan tiada. Selayaknya sesuatu itu sesuai dengan keadaannya."

Ini bukan kalam Tuhan, sebab kalam Tuhan tidak memiliki suara dan tidak pula disusun oleh deretan huruf dan angka-sangka. Tapi siapa lagi yang bisa membuat ngerti manusia selain Tuhan? Adam meikmati mimpi perdananya, mimpi yang pasti benar dan nyata. Begitulah asalnya, manusia yang tak berdosa akan mudah melihat masa depannya. Tuhan penuh rahasia. Lebih rahasia ketimbang rahasia.

"Tuk,"

Adam terbangun dari mimpinya yang hangat. Setetes embun jatuh pas di kelopak matanya. Ia bangun dan langsung dapat mengenal segala hal yang ada di sekitarnya. Tidak ada yang aneh. Seperti ketika lidah kita mengecap garam, tanpa ilmu pengetahuan pun rasa asin akan terasa di lidah. Hari pertama Adam hidup belum ada pertanyaan. Hari pertama digunakan untuk melihat-lihat isi dunia. Mengamati dan merekam segala bentuk dan nama-nama benda. Tidak ada pertanyaan.

Manusia sekarang malah hidup dengan menumpuk pertanyaan. Ya, hanya menumpuk, tapi tidak mau mencari jawabannya. Contoh sederhana, menanyakan kenapa rambut yang tumbuh di kepala disebut rambut, di atas mata disebut alis, di bawah hidung disebut kumis, di bawah dagu disebut jenggot, di bawah... Tidak perlu diteruskan, sudah terlalu banyak tanya.

Kemudian Adam mengelilingi seluruh bumi, bahkan menjelajahi seluruh alam. Adam adalah jelmaan Tuhan di bumi. Waktu itu jam belum ada dan sehari waktu itu tidak bisa dipastikan berjumlah 24. Adam menyusuri tiap lintasa planet dan menyentuh gugusan bintang-bintang serta dapat merasakan gelombang tiap galaksi yang ada. Dosa belum dikenal, tidak ada satir penghalang. Kinerja otak manusia aktif 100 persen.

Tuhan lah yang mengaktifkan otak Adam. Ia hanya ingin ngecek seberapa hebat ciptaannya. Ternyata sangat luar biasa menurut penglihatan manusia saat ini. Rata-rata manusia saat ini, ya, seperti Anda yang sedang membaca cerita pendek ini, hanya memfungsikan otaknya 10 persen. Seperti kain hitam yang ditaburi cahaya, Adam menyerap segala bentuk informasi di alam jagad. Bukan Cuma mengetahui tapi juga paham terhadap fungsi-fungsinya.

Senja telah tiba. Seluruh alam meredup, bukan karena cahaya telah ditarik kembali oleh Tuhan, melainkan begitulah keadaannya. Hari pertama hari perkenalan.

Fajar mulai terbit. Seluruh mahluk memulai hidupnya, kecuali malam yang mulai mengahiri petangnya. Di waktu subuh, semua ciptaan mengeluarkan segala suara untuk memuji Sang Pencipta. Ayam berkokok pertanda paruhnya telah siap mematok makan. Pohon yang tidur semalaman mulai bangun dan menggerakkan ranting-rantingnya, seperti perawan yang mengibaskan rambutnya. Adam menjawab sapaan pohon. Ingat, di hari pertama Adam telah mengerti segala bentuk percakapan, baik itu yang bisa bergerak atau tidak.

Hari kedua dicipta berselimut tanya. *akan dilanjutkan.

Jakarta, 1 Desember 2014 - Probolinggo 16 Desember 2014

Jelang Desember


November menyimpan kenangan
pada pohon-pohon dan gedung-gedung
pada kertas dan layar handphone
pada telinga anak-anak
pada mulut yang menjadi kecut

November menyimpan kenangan
pada nama yang selalu diingat
pada nama yang dirapal dalam doa
pada nama yang berujung ketidakpastian
pada nama yang musti dilupa

November menyimpan rindu
pada seorang yang memikirkan orang lain
pada seorang semanis madu
pada seorang yang dirundung masa lalu
pada seorang yang berhati batu

November menyimpan kematian
membunuh satu hati yang mendekat
membunuh satu rindu yang melekat
membunuh satu orang yang sekarat
membunuh satu jiwa yang keparat

November seharusnya
tidak pernah ada dalam tahun
tidak pernah menjadi harapan
tidak pernah mencipta kenangan
tidak pernah dimimpikan
Jakarta, 30 November 2014

Cerita Mimpi (lima)


"Gara-gara memimpikanmu, solat subuhku tidak sah." 
"Loh, kog bisa gitu?"
"Iyalah. Aku lupa mandi besar."
"Hahahaa"
"Kog bisa ya?"
"Hahahaa"
"Huh!"
"Hahahaa"

Diceritakan 271114.

Cerita Mimpi (empat)


"Kau hebat sekali dalam mimpiku. Aku kewalahan bertanding melawanmu." Cercahnya padaku tiba-tiba.
"Emangnya mimpi gimana?"
"Ya itu. Kita bertarung entah merebutkan apa."
"Trus..."
"Uda gitu aja."
"Sialan, mimpimu singkat sekali."
"Hehee"


Diceritakan pada 271114
Pemimpi: Humayni

Cerita Mimpi (tiga)


"Aku memimpikanmu tiga hari yang lalu." Katamu. Dan aku hanya tersenyum tak komentar. Memberi waktu agar kau melanjutkan.
"Saat itu kita jalan-jalan ke luar kota. Kita rombongan banyak orang. Sudah waktunya solat magrib. Kamar mandi masih antri temen-temen lainnya yang ambil wuduk. Kau masih membaca buku kecil berbahasa arab. Kutawarkan agar kau wuduk duluan. Kau menolak. Yah, biar yang lain dulu. Aku mau nyelesein bacaanku. Begitu jawabmu.
Temen-temen tidak benar-benar wuduk. Mereka masih ada yang guyon. Melihat itu semua, kau menghentikan bacaanmu dan memurkai mereka semua yang main-main. Murkamu di mimpiku adalah murkamu yang sangat. Semua jadi diam. Sebab kau seperti penghotbah yang melihat kemaksiatan paling menjijikkan. Menyuruh kami agar taat aturan pesantren dan agama. Kau seperti Nabi saja."
"Hahahaa" Aku tertawa.

Dan kau tiba-tiba saja bertanya, "Kau sedang rutin membaca apa?"
"Hahahaa" Tawaku semakin panjang dan lantang. 
"Kau selalu begitu. Menanggapi segala dengan senyum dan tawa" 
"Hahahaa" Tawaku semakin jadi.
Diceritakan pada 271114

Pemimpi: Wildan Rofi'i

Cerita Mimpi (dua)


"Mimpiku kacau sekali tadi malam. Ada lebih dari lima mimpi saling bertumpuk."
Memang begitu. Manusia akan selalu bermimpi lebih dari satu dalam semalam. Tapi setidaknya, ada satu mimpi yang paling bisa diingat. Begitu tanggapanku.
Dan kau melanjutkan.
"Kog begini ya mimpiku. Lantas apa yang akan kuceritakan nantinya. Ah, kukatakan baik saja nanti mimpinya."
Kau bilang begitu dalam mimpimu? Sadar bahwa kau dalam mimpi? Hahaa
"Hehee. Iya. Ya, begitulah"
Aku lebih suka jika mimpimu baik sekalian, atau buruk sekalian. Biar aku nulisnya jelas, gak tanggung begini. Mimpi lagi ya. Hehee.
"Hehehee. Beres bos"

Ditulis 281114

Pemimpi: Alfan Jamil

Cerita Mimpi (satu)


Temennya temenku cerita mimpinya padaku. Gini ceritanya:
"Aku kan solat isya agak malem ya. Habis itu aku wirid seperti biasa. Karna ngantuk, ya uda, aku tidur" aku tak menyela, kubiarkan ia melanjutkan ceritanya.
"Aku mimpi pacarku baikan lagi sama mantannya, tapi itu cuma di fesbuk. Eh, ini cuma mimpi aja kan? Gak ada efek kan?" 
Semua perkara punya dampak, bro. Tapi aku tak mengatakan itu padanya. Sebab ia bertanya untuk mengokohkan hubungannya. Kasian sekali temennya temenku ini. Dia sudah terperdaya wanita.
"Ya, tidak ada mimpi yang sejelas kenyataan. Maksudku itu belum tentu terjadi." Jawabku menenangkannya.
"Tapi aku tidur tiga kali malam itu."
" Maksudmu?" Tanyaku. Tak tahan aku diam terus.
"Setelah mimpi yang pertama, aku bangun untuk solat tahajjud dan tertidur lagi sambil berdikir."
Keren sekali temennya temenku ini. Seolah-olah hidupnya dipenuhi ibadah. Dia melanjutkan ceritanya.
"Tidur keduaku tak menghasilkan mimpi. Bangun pas adan subuh. Dan tertidur lagi sambil dikir setelah solat subuh."
Ah, walaupun sering dikir tapi tidurnya juga sering. Hahaa. Dia melanjutkan ceritanya.
"Dalam tidur ketigaku ini aku mimpi lagi. Pacarku bener-bener memilih mantannya. Dengan wajah tak bersalah ia berjalan berdampingan dengan mantannya di depanku. Kalau di mimpi pertama cuma di fesbuk. Mimpi keduaku malah dalam nyata dalam mimpi. Menurutmu gimana?"
Aku bukan ahli dalam menafsiri mimpi. Maka kukatakan padanya, "Begini, aku tak mau mengartikan mimpimu. Tapi yang jelas, di sini kau sedang terlalu sering memikirkannya dan tidak mau kehilangan dia kan?"
"Iya," dia menyela tanpa komando. Sialan, itu bukan pertanyaan tak perlu dijawab.
"Nah, saranku, cobalah kau komunikasikan lagi dengannya. Kau kroscek keadaan sebenernya gimana. Saran keduaku, kau itu orang baik, jangan jatuh hanya gara-gara satu wanita. Ingat! Rencana Allah selalu lebih indah ketimbang keinginan kita."
Temenya temenku ini diam menyimak dengan muka yang bersungut-sungut. Tak keluar lagi komentar dari mulutnya.
Sudahlah, tak usa dibaca lagi ceritanya telah usai. Salam cerita mimpi!
Dicatat tgl 281114.

Sebab Hidup Sederhana

Banyak kali ngetik sms yang kubuat untukmu. Tapi kuhapus lagi. Pada ahirnya kata-kata paling sederhana yang kukirimkan.

Ternyata pesan sederhana yang kukirimkan berupa kebodohan dan masalah. Apa boleh buat. Aku harus membuatmu tidak menyukaiku. Membenciku. Ya!

Bukannya aku tidak mencintaimu. Tapi kau terlalu sibuk dengan perasaanmu. Kau takkan sesibuk itu jika tidak memasukkanku dalam pikiranmu.

Pernah kubilang: mencintai tanpa memiliki itu adalah konsep terbodoh dalam mencintai. Kini kutau, tidak selamanya bodoh itu buruk. Ya, situasi yang klasikal.

Surabaya-Jakarta, 30 Nopember 2014

Senin, 24 November 2014

Menyerah Tapi Bukan Menyerah

•241114•
Menyerahkan segala perkara pada Allah bukan masalah kecil bagiku. Sebab Tuhanku tidak mungil. Ini sangat penting bagiku. Memang tidak pas aku memaksamu melakukannya. Tapi setidaknya, jangan sampai menyepelekan perkara penyerahan total pada Tuhan. Tuhanku Allah. Yeah, memang. Sebenarnya aku sekarang sedang belajar penyerahan. Sebab kata temenku di Lamongan, Tuhan sudah jarang dijumpai di hati manusia. Aku ingin merasakan sejuknya hati yang bersanding dengan Tuhan. Berbahagialah mereka yang hatinya selalu dengan Allah.
Mungkin inginku memang terlalu muluk bagi sebagian orang. Penyerahan total pada Tuhan. Heh! Manusia sok suci! Bah! Biarlah mereka berkata apa. Tapi yang jelas, yang menggenggam hati manusia itu adalah Tuhan. Sekuat apa usaha dan keinginan manusia tidak akan mempan melawan takdir Tuhan. Demi Allah tidak akan mampu.
Memang benar manusia punya kuasa. Diberi akal agar difungsikan untuk berfikir. Ada daya yang bisa menuntun pada pilihan-pilihan. Membuat terobosan aplikatif. Keberhasilan sesungguhnya adalah berupa usaha maksimal untuk mendapatkan tujuan. Tujuan yang tercapai hanya buah daripada usaha.
Seperti saat solat. Mau bicara solat yang diterima dan cocok di sisi Allah. Heh! Jangan mimpi! Jujur aku belum tau seperti apa rasanya solat dengan husyuk. Walau susahnya minta ampun, kita orang muslim masih saja solat. Proses itulah yang dinilai. Insyaallah begitu. Semoga begitu.
Sekali lagi, jangan sampai menyepelekan kuasa Tuhan dalam tiap langkah kita. Apalagi perkara masa depan. Solat istihorohlah! Di sana Allah akan membocorkan sedikit gambaran akan masa depan. Jangan memaksa dalang. Sebab jika itu dilakukan kau akan terbuang. Serahkan pada Allah, Ia akan menuntun kita pada kebaikan kita sendiri. Semoga kebersamaan kita adalah kebaikan yang diridoi Allah. Amin.

Minggu, 23 November 2014

Sebab Lalai

: 23 11 14 :
sudah lama sekali hatiku terpasung pada wanita. hampir satu tahun. aku jadi takut. kata temanku di semarang dulu, sekarang banyak sekali lelaki yang menuhankan wanita, diperbudak wanita. sepertinya aku termasuk salah satunya. sampai-sampai tidak mau kehilangan dia. tapi ya Allah aku benar-benar menginginkannya. maafkanlah ya Allah, sebab engkaulah sang mahamaaf.

kemaren karena kecapean aku lalai tidak solat duhur. pulang sekolah jam satu siang. aku istirahat di kamar. tidur. aku sudah ragu akan bisa bangun sebelum asar. untuk mengantisipasi, kuubah alarm jamku pukul setengah dua siang. sialnya aku bangun jam tiga. bangun pas mendengar adan asar.
  
sepertinya tidak solat pada waktunya termasuk dari menyalakan sumbu masalah manusia. sebab setelah itu semuaku masalah jadi teringat. masalah perempuan yang selalu kuharapkan. mbaknya yang pernah kutanyai menjawab takkan memberikan adiknya. katanya bisa mengganggu kuliahnya. bayangan prediksi keluargaku masa depan yang katanya akan jadi rumit dan ribet, bahkan berakibat fatal mengkristal jadi perceraian. pihak keluargaku yang masih mengambang saat kuceritakan tentang pilihanku. masalah es duaku yang belum juga kumulai. pengambilan ijazah es satuku juga tak kulirik. laporan pengabdian belum kugarap sama sekali.dan masalah bagaimana mengantar anak-anak asrama menjadi santri yang soleh.

bangun tidur aku jadi kacau sebab masalah semuanya jadi teringat. untung masih ada temanku yang mau mendengar keluhku, ebi dan edi. dua orang ini menguatkanku. memotifasiku. terimakasih kawan, kalian memang teman yang baik. kalian mendukung rencana-rencanaku. bukan sekadar mendukung, tapi juga memberikan solusi-solusi. ebi memberi masukan bagaimana kita selayaknya. jangan terlalu mengatur orang lain untuk baik, tuntunlah diri sendiri menjadi baik, niscaya Allah akan memberikan yang layak. sebab Allah mahamelihat. dan edi memberiku banyak sekali makanan dan satu minuman segar. kita ngobrol tentang segalanya.
  
untungnya, pagi kemaren aku ngaji hikam di musolla pada pengasuh, k.h. moh. zuhri. kiaiku yang paling kuta'dimi. yang selalu akan kujadikan pedoman setelah orangtuaku. bahwasanya tujuan manusia sebenarnya di muka bumi ini adalah taqorrub ilallah (mendekat pada Allah). sedang tujuan setan adalah membuat manusia lupa akan tujuannya. cara terbaik melawan itu dengan cara menyerahkan segala perkara pada Allah. jika ada masalah haturkan pada Allah, maka Ia akan membimbing kita pada jalan keluar yang baik. caranya bisa dengan solat istihoroh.
  
tapi jika kita mengusahakan segala hal dengan kemampuan diri sendiri, niscaya Allah akan mengabaikan kita. bahwa manusia semacam itu adalah manusia yang sombong, yang sudah mengaku dirinya pasti bisa tanpa adanya kekuatan Tuhan.

padahal manusia tidak punya daya dan kekuatan dalam melakukan sesuatu. la haula wa la quwwata illa billahil'aliyyil'adim. jika sudah jelas demikian, mengapa kita masih memaksakan kehendak diri? segala keinginan harus terpenuhi? Tuhan pun dituntut untuk mengabulkan? semoga saja aku tidak termasuk dari manusia pemaksa. jika keinginan tidak nyata, lepaskan, relakan. sebab rencana Allah adalah sebaik-baiknya rencana. jadilah do'a kita begini: ya Allah, jadikanlah pilihanku baik bagiku. tetapi jika tidak, gantilah dengan yang pantas dan baik bagiku. amin. do'a seperti ini menunjukkan kepasrahan mutlak. semoga dan semoga. amin

kalian yang masuk dalam catatan ini, jangan diambil hati. ini hanya catatanku, tidak untuk disukai apalagi dikomentari.

Senin, 24 Februari 2014

Feeneatri


Januari, bulan yang selalu menangis. Kini mulai memasuki bulan kedua, sisa-sisa hujan masih saja membasahi Februari. Feeneatri pernah berkisah bahwa hujan itu berwarna tembaga, warna yang sederhana.  Ia bahkan bisa menutupi kesedihan dengan sempurna. Lihat saja, perawan muda tidak akan ketahuan menangis jikalau dia sedang bermandi hujan. Aku tak menjawab, tak membantah, hanya memandangnya, karena inginku hanya dia berbicara banyak-banyak. Aku suka mendengar suaranya, melihat wajahnya. Caranya bicara begitu anggun, menggerakkan bibirnya seolah sedang bernyanyi. Jika menoleh, dia juga punya gerakan eksotis tersendiri; mengeser bola matanya dahulu sebelum menggeser lehernya.
"Sudah kubilang jangan menggodaku. Aku ini bukan manusia, tidak sepantasnya kau menyukai kaumku."
"Feeneatri, tidak pernah kutemukan wanita secantik dirimu. Perilakumu juga halus dan selalu berhati-hati. Apa lagi yang ditunggu lelaki bujang jika telah dirasa menemukan pasangannya?"
"Tentu saja aku selalu cantik di depanmu, selalu sopan dan santun, itu karena kau sendiri yang menciptakanku. Fantasimu! Apa kata pembaca  cerpenmu jika mereka tahu bahwa penulisnya mencintai tokoh fiksinya sendiri?"
"Bukankah tokoh fiksi harus menurut pada apa yang penulis ciptakan! Kau juga tokoh fiksi yang aneh, Feeneatri. Bisa menentang dan merayuku, dengan keliaranmu dalam cerita. Suaramu juga penuh berahi."
"Kau pengarang sinting!" Setelah itu dia menghilang.
Kejadian itu terjadi ketika aku temenung di tanah setinggi 2392 meter, puncak Bromo. Tidak ada yang salah seorang penulis yang mencintai tokoh fiksinya bukan? Karena ada lelaki yang mencintai tembok, menjadikannya istri. Feeneatri sendiri berasal dari dua suku kata; Feenea+tri. Feenea berasal dari finny, bahasa Irlandia yang berarti perempuan cantik dan tri kependekan dari santri. Jadi feenearti berarti santri perempuan yang cantik. Aku meraciknya sebagai perempuan berwajah puisi yang memiliki kecantikan bak edelweis: sederhana namun memikat semua mata.
***
Sisa-sisa malam menyelimuti Bromo. Tidak ada angin tapi udara dingin masih menusuk-nusuk. Jaket hitam bertuliskan Nevada di dadaku sedikit melindungiku dari sengatan dingin. Ufuk timur mulai tampak sedikit merah. Banyak sekali wisatawan menumpuk di puncak, ingin menikmati matahari terbit. Aneh. Bukankah setiap hari matahari selalu terbit. Aku saja baru kali ini benar-benar memperhatikan matahari terbit. Di hari biasanya aku tak peduli, tahu-tahu aku sudah berada di kantor, mendapati tugas yang berjibun, dan matahari sudah setinggi tongkat.
“Gerakan matahari pagi lambat-lambat cepat. Warnanya kuning cerah kemerahan. Karena itulah aku menyukai warna kuning.” Seorang perempuan cantik menyahut padaku di belakangku.
“Kau siapa?” dilihat dari wajah dan pakaiannya, dia seperti Feeneatri, tokoh fiksiku.
“Aku Feeneatri,”
Tidak mungkin. Dia hanya ada dalam khayalku. Perempuan ini manusia bukan bayangan, dia memiliki bayangan.
“Kau tidak tahu ya? Ada hukum dalam dunia khayal yang menyatakan bahwa; khayalan akan bisa menjadi manusia kalau sering dipikirkan. Dan kau terlalu sering memikirkanku.”
Astaga! Dia bisa membaca pikiranku.
“Aku tidak mau kau jadi manusia.”
“Kenapa, bukankah kau mencintaiku? Jika aku jadi manusia, kau bebas mencintaiku, tak perlu berkhayal.”
“Tidak. Kau sama sekali tak tahu manusia. Mereka selalu membikin rusuh dunia. Dalam hal cinta, pasti ada gelisah dan penghianatan, lebih baik aku mencintaimu sebagai bayangan, dengan begitu kau tak kan bisa meninggalkanku, tak kan mungkin menghianatiku, karena aku yang menciptamu.”
“Dunia manusia begitu mengerikan” Tapi kau sudah terlambat, Kak. Feeneatri sudah mulai berkata dalam hati. Dan tidak ada satu manusiapun yang mengetahui isi hati manusia lainnya.
***
Wisatawan mulai membidik ufuk timur. Menangkap matahari pagi. Memenjarakan keindahan alam dalam kotak-kotak elektrik. Subhanallah, indah nian matahari pagi rupanya. Piringan matahari sedikit-sedikit mulai timbul muncul di kaki langit, seperti bayi mungil yang belajar merangkak. Kuliriki Feeneatri, tidak mungkin! bayangan tubuhnya semakin petang, pertanda dia benar-benar berubah jadi manusia. Hanya di dunia cerpen, tokoh fiksi bisa berubah jadi manusia.
Matahari setinggi tongkat. Wisatawan mulai turun, kembali ke penginapan. Ada yang naik ojek motor, ada yang menunggang kuda, tetapi aku memilih berjalan kaki, berdua dengan Feeneatri. Tangan kananku memeluk pundaknya, tangan kirinya memeluk pinggangku, kepalanya disandarkan di pundakku, kepalaku kusandarkan ke kepalanya. Seorang lelaki memotret kami, katanya kami sangat romantis. Lelaki itu tak tahu kalau perempuan di sampingku ini baru saja mengenal dunia manusia.
Jalan yang kami lalui bukan jalan beraspal melainkan jalan setapak yang penuh jejak tapal kuda. Setiap sepuluh meter Feeneatri minta berhenti, istirahat. Hey. Dia mulai mengenal capek. Dan setiap kali duduk istirahat dia memelukku, nyaman, katanya, hangat. Kali ini dia mengenal dingin. Penginapan sudah kelihatan. Aku memilih penginapan yang strategis, terletak di pinggir tebing, dari jendela sudah bisa menikmati indahnya punuk Bromo.
 “Kak, perutku sakit.”
“Aku tahu. Itu namanya lapar. Perutmu harus diisi. Ayo ke warung, kita cari soto ayam.” Kali ini dia tahu bagaimana jadi manusia kelaparan. Secara alamiah, jika perut lapar diisi makanan tentu akan merasa kenyang. Sebentar lagi Feeneatri akan mengenal kenyang.
“Ah, nikmat sekali, Kak. Tapi lidahku terasa panas.”
“Ucapkan alhamdulillah, begitu orang bersyukur biasa berucap. Lidahmu yang terasa panas itu karena pedas.” Sekarang dia tahu rasanya pedas.
Banyak sekali definisi-definisi dalam dunia manusia. Ini lebih sulit dari yang Feeneatri bayangkan. Padahal di dunia khayal tak perlu lapar, tak perlu kenyang, tak perlu dingin, tapi tetap memerlukan kehangatan. Cinta selalu menarik untuk dibikin cerita, bahkan bagi tokoh cerita sekalipun. Feeneatri yang hidupnya hanya di khayalan pun juga mengenal tentang cinta.
***
Senja telah tiba. Sebentar lagi terangnya siang akan ditaburi gelapnya malam. Waktu paling romantis di muka bumi berada di antara siang menuju malam. Waktu pulang bagi segala makhluk. Manusia yang bekerja pulang ke rumah tercinta. Burung-burung terbang menuju sarang. Tetapi aku lebih suka pulang ke khayalanku, bertemu Feeneatri di negeri rindu. Aku mencoba berkhayal, kupejamkan mataku, hanya gelap kudapat. Mata kubuka, pergi ke penginapan, tak kutemukan jua wajahnya. Di mana gerangan Feeneatri berada? Yang lebih aneh lagi ingatanku akan wajahnya yang syahdu telah lupa. Hilang begitu saja. Tanganku terasa dingin, kurogoh sakuku. Kutemukan secarik kertas.
Kak, sepertinya semua memori tentangku dalam khayalmu telah habis. Sebenarnya khayalan si penghayal bisa dihabiskan oleh si khayalan jika si khayalan berkehendak. Aku terlalu cinta padamu hingga akhirnya aku merubah diriku memiliki wujud, agar kau bisa memelukku dalam duniamu. Sekarang waktuku sudah habis. Jika kau melihat kertas ini, berati aku telah hilang, terlenyap. Dan peraturannya kau tidak bisa bertemu denganku lagi, walau di khayalan sekalipun, tidak akan bisa. Maaf.
Kekasihmu di dunia fana, tokohmu di dunia fiksi
Feeneatri

Probolinggo, 2 Februari 2014
Oleh Achmad Marzuki, Santri Pondok Pesantren Nurul Jadid