Senin, 29 Desember 2014

Gadis Hujan

Dari sekian banyak pencerita, mayoritas mengidentikkan hujan sebagai kesedihan dan kemurungan. Warnanya yang kelabu menambah sendu para kekasih yang dirundung rindu. Langit yang mustinya biru berganti warna abu-abu. Bahkan tak tanggung-tanggung, ada yang berkisah tentang sifat sedih hujan. Tapi aku bukan mau menceritakan tentang mereka yang membenci hujan. Ini tentang gadis yang menyukai hujan. Gadis hujan.
"Kau tahu asal-muasal hujan?" 

Tanyanya pada suatu sore yang gerimis.

"Mereka air mata malaikat yang menangis sebab melihat umat yang melaknat. Atau hujan adalah fragmentasi dari bentuk kemurungan yang nyata. Hujan adalah akumulasi kesedihan. Tiap tetesnya berupa mozaik kegelisahan. Semua orang membenci hujan."

"Kau salah! Mereka anugerah. Aku menyukai hujan yang basah." Jawabnya bersungut-sungut.

Setelah itu aku diam. Heran. Ternyata ada yang menyukai hujan. Tidakkah ini terlalu melankolis. Gadis pecinta hujan.

"Aku selalu menunggu hujan saat awan mulai menghitam."

Aku tetap diam. Kuyakin wanita di sampingku ini memiliki banyak persediaan kosa kata unik untuk melindungi hujan dari hujan kecaman.

"Hujan bukan musibah. Manusia lah yang mencipta musibah. Banjir datang sebab selokan tertutup sampah. Aku menyukai hujan bukan untuk membelanya, tapi karena aku memang menyukai hujan. Turunnya seperti peluru yang turun dari senjata serdadu langit. Hujan itu menghidupkan bukan mematikan." Panjang lebah dia berkisah dialektik.

"Baiklah. Aku tidak akan membenci hujan lagi."

Wanita di sampingku tersenyum. Pipinya penuh seperti sedang menyimpan gula-gula dalam mulutnya. Matanya menyipit seperti burung pipit. Air wajahnya menampakkan kegembiraan.

"Kau senang?" Sambungku.

Dia mengangguk cepat tanpa mengurangi frekuensi senyumnya. Bibirnya mengembang pertanda kegembiraan yang naik. Matanya membulat pertanda semangat.

"Yuk, kita berangkat sekarang!" Ajaknya. Rencananya kita pergi ke perpus daerah. Kita sama-sama suka baca.

"Hmm~ masih hujan lo." Jawabku hati-hati. Kulirik wajahnya. Dia menguncupkan bibirnya. Merengut.

"Iya, iya. Yuk berangkat!" Ia senang bukan buatan. Aku suka melihatnya begitu, melihat ekspresi wajahnya yang cepat berubah. 

221214

Tidak ada komentar:

Posting Komentar