Senin, 29 Desember 2014

Ikan Setan


Pagi tadi aku sarapan dengan lauk ikan laut. Ikan laut yang aneh. Tidak seperti mata ikan yang digoreng. Matanya terlihat segar seperti ikan koi yang berenang di aquarium. Aku tak peduli, dagingnya nikmat sekali. Mata ikan itu menatapku dengan tajam dan bergerak-gerak. Aku tetap abai dan menutupinya dengan sayur bayam.

"Sialan! Perih tauk!"

Apa aku berhayal? Ikan itu baru saja mengumpat. Kuintip mata ikan aneh itu. Tidak ada yang berubah. Mulutnya kaku sebagaimana ikan goreng lainnya. Tidak mungkin ikan mati bisa bergerak apalagi mengumpat.

Kulanjutkan makanku. Seluruh badan ikan tinggal belulang dan kepalanya. Perutnya berisi telur yang begumul. Aha! Aku paling suka telur ikan. Kunikmati telur itu dalam mulutku. Tak langsung kutelah, kugerak-gerakkan seperti mengaduk air. Lalu mulutku terasa aneh. Telur ikan sialan itu seperti menetas dan langsung berenang ke tenggorokan menuju perut.

"Rasakan kau manusia tamak!" Ikan tak berdaging itu mengumpat lagi.

Ikan-ikan mungil itu berenang dalam lambungku, memakan pecahan nasi yang kumakan. Sekali menelan makan, ikan itu semakin besar dan lapar. Ikan mungil itu tidak kenal kenyal. Lapisan lambung seperti dikuliti dari dalam. Sampai habis. Kini ikan-ikan itu sebesar lalat ijo. Nafsu makannya bertambah.

Mereka mulai mengikis habis usus duabelas jariku. Ikan-ikan itu tak pantas lagi kubilang mungil, sekarang sebesar kelereng. Anehnya, perutku tidak membuncit kesakitan. Yang jelas, lambung dan ususku telah lenyap disantap ikan setan itu. Mereka menelusuri dan melahap segala jeroanku. Lambung. Usus. Jantung. Hati. Paru-paru. Sekarang perutku telah kosong, hanya berisi ikan-ikan setan.

Ikan di piring makanku menyeringai seolah mengerti apa yang terjadi dalam perutku. "Ini gila! Ini tidak mungkin terjadi." Sayang sekali, tokoh aku dalam cerita ini tidak bisa menentukan nasibnya sendiri. 

Cerita tetap berlanjut.

Aku mulai memukul-mukul perutku sendiri, berharap ikan sialan itu mati. Tapi rongga dalam perutku menjadi sangat luas untuk gerombolan para ikan. Ikan-ikan itu ikan kanibal. Setelah isi jeroanku habis, mereka mulai saling mangsa. Tidak ada yang lebih kecil atau lebih besar. Semua bertarung berebut saling menerkam.

Ada ikan yang cerdik. Ia menyempal tulang rusukku dan mulai menusuk ikan-ikan lainnya. Jumlah ikan berkurang, yang awalnya ratusan, kini tinggal tigabelas ekor. Merekalah para pemenang. Merekalah predator terkuat dalam perutku. Gigi-gigi mereka diasah dengan tulang rusukku. Semakin tajam dan kuat. Rasa lapar ikan setan itu semakin menjadi. Tulang rusukku mulai jadi santapan.

Kini aku bisa mengelus punggungku dari dadaku. Seperti menyentuh dasar cangkir berisi kopi kental. Seluruh tulang dalam perut dan dada sudah hilang dimakan ikan. Mereka sudah sebesar dua jari. Tidak ada yang bisa menahan nafsu makannya yang serakah. Mereka berhasil menghabiskan tulang tangan dan kakiku. Aku berjalan tanpa kerangka, seperti layangan tanpa kerangka. Kini, aku berjalan selalu menjauhi angin. Jika tidak, aku bisa terbawa terbang. Seluruh organ dalam, daging, dan tulangku sudah habis. Hanya otakku yang tersisa.

Tigabelas ikan itu sudah tinggal dua. Ikan jantan bernama Ikana dan betina bernama Ikani. Ikani telah bunting. Aku berharap ada dukun ikan yang tiba-tiba muncul dalam perutku dan memaksa Ikana-Ikani untuk menggugurkan kandungannya. Dengan tujuan itu, aku sekarang memburu ikan di sungai atau laut dan memakannya mentah-mentah. Tak jarang aku menelan ikan hidup-hidup. Siapa tau ikan yang kutelan hidup-hidup itu adalah ikan jagoan yang dapat membunuh Ikana-Ikani. Tapi Ikana sangat istimewa, seolah-olah dialah raja ikan. Semua ikan tunduk padanya. Maka tidak jarang saat aku muang air, yang keluar malah ikan hidup.

Tanpa sengaja, Ikani keluar melalui perutku. Saat itu Ikani sedang berlatih melompat. Karena kekuatannya yang besar, ia menerobos perutku yang memang sudah lapuk. Aku bahagia. Sebab Ikana akan menjadi lemah tanpa Ikani. Semakin hari Ikana semakin murung, seperti burung pipit yang kesepian. Badannya yang kekar mengerut tipis setipis kertas. Anehnya, setelah Ikani keluar dari badanku, segala badanku mulai lengkap lagi. Daging-daging bergerak-gerak mengisi daerah yang seharusnya diisi dengan daging. Tulang merambat bagai kabel, menggumpal, mengeras menjadi tulang yang lebih kokoh dari sebelumnya.

Jeroanku mulai lengkap lagi. Jantung, lambung, usus, paru-paru. Tapi badanku sekarang lebih cepat gerah. Dalam satu jam aku harus mandi. Jika tidak, aku jadi sesak bernafas, seperti akan mati, seperti ikan yang diangkis ke atas tanah. Kulitku semakin bersih dan sedikit menyerupai sisik salak. Leherku berlobang seolah disilet. Seperti insang.

Hanya di dunia cerpen semua bisa terjadi. Ikan mati dapat mengumpat. Telur ikan mati jadi hidup dan memangsa manusia dari dalam. Hingga manusia berubah jadi ikan.

Selesai dihayal dan ditulis 191214.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar