Minggu, 18 Januari 2015

Gadis Hujan (Empat)


Pada Mulanya,

Semua berawal dari pelatihan jurnalistik yang diadakan oleh perpus daerah. Demi menjaga tradisi cinta ilmu, lebih-lebih dalam tulis-menulis --dan tentu saja membaca. Orang luar itu, luar daerah, menjadi penyaji di bangku depan menghadap kami. Lelaki itu mengawali dengan perkenalan. Menyebut dirinya sebagai teman, bukan guru. Tidak aneh dalam dunia pesantren.

Tapi, itu hanya terjadi satu kali. Menurut jadwal, tiap minggu diadakan sekali pertemuan. Minggu-minggu berikutnya dia tidak datang. Mungkin bertabrakan dengan agendanya yang lain. Seperti orang sibuk saja. Saat itu tidak ada kesan yang luar biasa darinya. Malah cenderung abai.

 Setelah itu tidak ada kabar. Sekitar dua atau tiga bulan.

Memang masih tidak bertemu muka dengannya, hanya saja seperti sudah direncanakan. Entah bagaimana dia atau aku menghubunginya, melalui pesan singkat di fesbuk. Lalu saling tukar pin bbm. Dan berbagi nomor hp. Di sini semua rasa berawal. Kesesakan-kesesakan dalam dada mulai membentuk, membengkak dan menghentak.

Perbincangan awal masih tentang jurnalistik. Belajar menulis tercepat ialah dengan membaca tulisan orang lain. Ingin menulis opini, baca opini orang. Menulis puisi, baca puisi orang. Cerita, baca cerita orang. Begitu saran yang pernah diberikannya lewat pesan bbm.

Di mana pun tidak mungkin ada pertemanan antara lelaki dan perempuan. Akan selalu ada rasa lain yang muncul. Begitu pun aku. Sebagaimana topik pemuda, seserius apapun sebuah perbincangan antara lelaki dan perempuan, tetap akan beralih pada kisah asmara.

Semua tanpa rencana. Aku bercerita padanya bahwa aku menyukai hujan. Dia menawariku buku tentang hujan. Dan dia mendatangiku di sela aku dalam agenda organisasi ekstra kampus. Membawa buku berwarna madu. Warna yang manis. Warna yang romantis. Lima menit kami berbincang sejenak tentang penulis dan buku. Seolah kami saling pamer seberapa banyak buku yang pernah dibaca. Sepertinya dia lebih banyak membaca.

Liburan kampus tinggal seminggu dan aku harus menyelesaikan bukunya sebelum itu. Katanya, kau boleh membaca buku ini lebih dulu tapi dengan syarat. "Apa?". Kau harus menceritakan isinya. "Waduh, baiklah. Tak apa." Jawabku. Sebelum libur kampus kembalikan ya! "Tak masalah,".

Tiga hari sebelum liburan kuselesaikan membacanya. Dia mendatangiku lagi untuk mengambil bukunya. Tidak banyak perbincangan yang dibuat. Sekitar satu menit bertemu. Lalu dia pergi. Dia pandai sekali mencipta momen yang minimalis.

Liburan telah tiba. Aku pulang ke rumah. Dia menghabiskan liburan di Jakarta. Ada urusan penting, katanya. Apa aku tidak bengitu penting baginya?

Saat itu lah rasa rindu mulai memburu. Aku juga tidak tahu bagaimana asalnya. Tiba-tiba saja aku memikirkannya. Membayangkannya. Mendamba kehadirannya. Merasa jengkel jika bbm tak berbalas. Seakan-akan, tanpanya aku merasa dehidrasi. Berita tentangnya ibarat air laut. Semakin banyak kuteguk, semakin haus dan aus tenggorokanku.

Ada yang menggangguku dalam berinteraksi kata (sms atau bbm) dengannya. Dia selalu menunda menjawab, maksudku dia biasa lama menjawabnya. Atau aku yang terlalu buru-buru?

Aku memanggilnya kakak, tapi dia tak memanggilku adik. Sering sekali aku memanggilnya sayang, dia hanya sekali memanggilku sayang. Apa aku terlalu berharap lebih?

Takut sekali aku ditinggal dia. Apa ini rindu yang wajar? Pernah aku merindukannya dengan seluruh badanku. Maksudku, aku menggigil, seolah serat otot dan aliran darah dipenuhi cairan rindu. Hampir-hampir aku menangisinya tanpa alasan. Apa ini rindu yang wajar? Padahal hanya tiga kali bertatap muka. Entah bagaimana sebenarnya perasaannya padaku. Yang jelas hatiku saat ini dipenuhi cairan rindu.

Pernah sekali kuperhatikan beranda fesbuknya. Ada potret wanita yang ditandai bersamanya. Entah apa, hatiku dongkol, dadaku sesak, air mukaku mengeras. Apa ini yang disebut cemburu? Apa aku sebegitu menyayanginya? Padahal dia belum apa-apaku, status juga tak jelas. Tanpa sadar, aku bersikap ngambek padanya. Bodoh sekali. Untungnya, dia berusaha mendinginkanku dengan menyangkal bahwa potret tersebut bukan berarti penting. Nadaku tetap merengut tapi hatiku tersenyum.

Dia paling sering menggunakan kata ibarat dan pengandaian. Seperti pertama dia merayuku, istilah teman lelaki diibaratkan polisi. "Aku takut rindu padamu, takut ditilang polisimu." Hahaa. Gombal dan modus!
Ini beberapa pesan singkatku dengannya.
Hati-hati di jalan, jaga hati! Kataku.
Jangan hawatir, rusukku masih kuat kog.
Hehee. Moga aja selalu kuat.
Ya, semoga kamu kuat.
Insyaallah, akan selalu kuat jika dirawat. Jika kau siap merawat, pasti akan kuat.
Seperti menanam tanaman di pot. Tak bisa ditinggalkan. Harus disiram jika ingin berbunga. Tak bisa mengandalkan hujan semata.
Jadi kusarankan, jangan pernah tinggalkan bunga itu. Biar tak mati.
Apa aku menanam bunga manja yang rapuh? Kuharap tanamanku lebih kuat dari kaktus. Ditinggal lama oleh hujan dan masih setia menunggu, walau terlihat sekarat.
Jadi kau tak suka bunga manja?
Bukan begitu. Aku tidak suka bunga mati. Apalagi bunga plastik.
Hmm~ terus gimana maunya? Aku ingin jadi bunga yang kaumau.
Jangan berubah. Jadilah bungamu sendiri! Itu lebih menarik sebab aku tak tau.
Oke. Bisa merawat bungaku?
Aku...sedang merawatnya. (Manis sekali! Tentu saja respon ini tak kusampaikan padanya. Dia melanjutkan,) Walau belum tau itu bunga apa. Yang jelas harus dirawat supaya tau itu bunga apa.
O ya? Terimakasih. Aku janji akan jadi bunga yang kau inginkan.

Dan tiap kali kutanya sedang apa, selalu dia jawab dengan sedang baca buku. Aku heran mengapa dia suka sekali membaca. Atau jangan-jangan itu hanya alasan cerdasnya untuk memperdaya aku. Bahkan kadang aku merasa cemburu pada buku yang selalu dia pegang, selalu dia bawa, selalu dia baca, selalu dia renungi, selalu dia pikirkan. Bodoh sekali! Bisa-bisanya aku iri pada buku.

Sudah pernah kukatakan kalau dia menyebutku Gadis Hujan dan aku memanggilnya Lelaki Berpayung? Ya, aku menyebutnya demikian. Dia memberiku buku tentang hujan. Covernya manis sekali.


Probolinggo, 10 01 15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar