Minggu, 04 Januari 2015

Gadis Hujan di Pergantian Tahun


Tahun baru semalam hujan lebat, selebat daun beringin yang gemuk. Jatuhnya kecil-kecil seperti peluru serdadu langit memberondong bumi tanpa ampun. Udara menggigil gemetar seolah bumi menjelma lemari es. Pasangan muda menerobos jalan beraspal tanpa mantel hujan. Mereka basah seolah baru keluar dari kolam renang. Lampu mobil mencoba menerobos tirai hujan yang padat.
Sudah pukul 20.00. Empat jam lagi berganti tahun. Lapangan alun-alun kota dipenuhi orang dari berbagai asal. Jika dilihat dari atas seperti kerumunan semut menemukan gula. Semakin ke tengah semakin sesak tak berjarak. Di pantai, orang-orang berjejer bagai ikan asin yang dijemur. Bau keringat sedikit menyengat. Tapi tetap saja banyak orang mengunjungi tempat yang secara prediktif sudah pasti penuh sesak.
Sebagian orang tak jadi berangkat sebab awan semakin pekat. Hujan terus jatuh seolah tak ada batas air di atap langit. "Ah, sepertinya tahun baru kali ini hanya bisa mendekam dalam rumah. Pukul 23.00 masih hujan, rencanaku pasti batal nih." Seseorang menggerutu pada dirinya sendiri sebab rencananya dihalangi hujan. "Maaf ya, sayang, ditunda aja ya jalan-jalannya. Besok boleh kan?" Rayu seorang lagi pada pacarnya.
Hanya satu orang yang menyungging senyum tak putus-putus. Tangannya menengadah menampung tetes hujan dari genteng. Sesekali matanya diusap, tertetes hujan yang dingin. "Dingin yang hangat." Gadis itu bergumam seperti sedang berbisik. Lengan bajunya mulai basah tapi gadis itu seolah sedang merasa digenggam tangan lelaki yang hangat.
Wajahnya basah kuyup. Tetes hujan membelai muka bulatnya. Matanya membulat. Seolah hatinya merekah bagai jagung popcorn yang mekar. Pipinya memerah seperti pipinya pemain opera saat tampil. Gadis itu menutup matanya. Menghirup nafas dalam-dalam seakan udara kian menipis. Menahannya kuat-kuat dalam dadanya. Dan mengeluarkannya dari mulutnya kecil-kecil. Bibirnya yang kecil bergerak kecil dengan ritme yang kecil pula. Mengulanginya beberapa kali seolah ritual wajib.
Separuh badannya sudah basah. Kursi duduknya juga basah. Tinggal punggungnya yang kering. Tapi gadis itu seolah tak merasa dingin. Padahal pengunjung alun-alun dan pantai mencari tempat berteduh atau membungkus dirinya dengan jas plastik murahan demi menjaga bajunya agar tetap kering. Kini gadis itu berdiri, tangannya terjulur ke depan, melangkah maju meninggalkan beranda rumah, ke halaman.
Mukanya dihadapkan ke langit. Matanya berkedip-kedip melawan tetes hujan yang ritmis. Bibir mungilnya ditarik ke samping membentuk garis lurus yang manis. Membentuk senyum paling indah. Tangannya dibentang ke samping. Dia memutar badannya pelan sekali. Memutar badan dengan sesekali kaki dijinjit. "Aku sedang menari denganmu. Berdansa mencipta romansa." Apa gadis ini sedang bicara dengan hujan? Menari dengan hujan atau sedang mengingat kekasihnya yang pergi? Meninggalkannya di kala hujan?
"Apa yang membuatmu menyukai hujan?" Tanyaku padanya suatu hari.
"Sebab banyak orang membenci hujan." Ia menjawab dengan pandangan menerawang.
"Itu bukan suka tapi kau mengasihani hujan."
"Kata-kata memang terlalu sempit untuk menjelaskan rasa. Baiklah, aku menyukai hujan tanpa alasan. Apa ini cukup?"
"Wah, tak perlu lah kau bersungut-sungut begitu menjelaskannya. Lagian kita cuma membincang huja."
"Cuma membincang hujan? Kuperkirakan pasti kamu juga membenci hujan seperti orang kebanyakan. Ya kan?"
"....ti..dak," jawabku hati-hati.
"Kau bohong!"
"Bagaimana kau tau?" Jawabku setengah bergumam.
"Hujan membisikiku."
"Hujan membisikimu? Sekarang tidak hujan."
"Seorang pecinta dapat menyampaikan pesan pada yang dicinta tanpa bicara, bahkan tanpa kehadirannya. Bisa lewat tatapan saja atau udara. Sudah ada sinyal sendiri yang menghantarkannya."
"Kau terlalu banyak baca fiksi."
"Fiksi berasal dari kenyataan."
Gadis Hujan. Begitu kunamai dia. Dia gadis pecinta akut pada yang bernama hujan. Gadis Hujan itu bermain dengan hujan pada pergantian tahun ini hingga pukul satu dini hari. Membuat buku jarinya mengerut. Bibirnya ungu dengan getaran ritmis. Kulit badannya putih pucat seperti mayat bergerak. Wajahnya putih pualam. Telinganya dingin beku. Tapi air wajahnya tetap mengerutkan kebahagiaan. Cara bahagia yang aneh, pikirku.
Pagi tadi dia bilang padaku, sedang flu. Dan sekarang sudah merindukan hujan lagi. "Mendung menggodaku lagi untuk berjumpa dengan hujan," katanya tersenyum. Bibirnya masih mengguratkan bekas dingin semalam.
"Mendung yang genit!" Kataku acuh. Gadis hujan itu tertawa rapi, menjejerkan giginya bagai prajurit berbaris. Saat dia tersenyum atau tertawa, pipinya membentuk bulatan menarik dan warnanya berubah merona, warna cantik untuk wanita menarik.
"Semalam aku dipeluk hujan sangat erat. Di setiap sela, hujan menyentuhnya. Di kerudung, baju, kaos, telapak tangan, lengan, kulit, rambut, daging, tulang, hati, serat urat, aliran darah, semuanya disentuh oleh hujan yang basah." Bisiknya pagi tadi. Aku hanya diam tak berkomentar. Memasang muka datar.
"Kau cemburu ya?" Ucapnya lagi dan tertawa rapi. Aku tetap diam, hanya menoleh.
"Kau tak pandai berbohong, kak! Hahahaa!" Lanjutnya. Aku tetap diam.

Bondowoso, 01/01/15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar