Tahun baru semalam hujan
lebat, selebat daun beringin yang gemuk. Jatuhnya kecil-kecil seperti peluru
serdadu langit memberondong bumi tanpa ampun. Udara menggigil gemetar seolah
bumi menjelma lemari es. Pasangan muda menerobos jalan beraspal tanpa mantel
hujan. Mereka basah seolah baru keluar dari kolam renang. Lampu mobil mencoba
menerobos tirai hujan yang padat.
Sudah pukul 20.00. Empat
jam lagi berganti tahun. Lapangan alun-alun kota dipenuhi orang dari berbagai
asal. Jika dilihat dari atas seperti kerumunan semut menemukan gula. Semakin ke
tengah semakin sesak tak berjarak. Di pantai, orang-orang berjejer bagai ikan
asin yang dijemur. Bau keringat sedikit menyengat. Tapi tetap saja banyak orang
mengunjungi tempat yang secara prediktif sudah pasti penuh sesak.
Sebagian orang tak jadi berangkat
sebab awan semakin pekat. Hujan terus jatuh seolah tak ada batas air di atap
langit. "Ah, sepertinya tahun baru
kali ini hanya bisa mendekam dalam rumah. Pukul 23.00 masih hujan, rencanaku
pasti batal nih." Seseorang menggerutu pada dirinya sendiri sebab
rencananya dihalangi hujan. "Maaf
ya, sayang, ditunda aja ya jalan-jalannya. Besok boleh kan?" Rayu
seorang lagi pada pacarnya.
Hanya satu orang yang
menyungging senyum tak putus-putus. Tangannya menengadah menampung tetes hujan
dari genteng. Sesekali matanya diusap, tertetes hujan yang dingin. "Dingin yang hangat." Gadis
itu bergumam seperti sedang berbisik. Lengan bajunya mulai basah tapi gadis itu
seolah sedang merasa digenggam tangan lelaki yang hangat.
Wajahnya basah kuyup. Tetes
hujan membelai muka bulatnya. Matanya membulat. Seolah hatinya merekah bagai
jagung popcorn yang mekar. Pipinya
memerah seperti pipinya pemain opera saat tampil. Gadis itu menutup matanya.
Menghirup nafas dalam-dalam seakan udara kian menipis. Menahannya kuat-kuat
dalam dadanya. Dan mengeluarkannya dari mulutnya kecil-kecil. Bibirnya yang
kecil bergerak kecil dengan ritme yang kecil pula. Mengulanginya beberapa kali
seolah ritual wajib.
Separuh badannya sudah
basah. Kursi duduknya juga basah. Tinggal punggungnya yang kering. Tapi gadis
itu seolah tak merasa dingin. Padahal pengunjung alun-alun dan pantai mencari
tempat berteduh atau membungkus dirinya dengan jas plastik murahan demi menjaga
bajunya agar tetap kering. Kini gadis itu berdiri, tangannya terjulur ke depan,
melangkah maju meninggalkan beranda rumah, ke halaman.
Mukanya dihadapkan ke
langit. Matanya berkedip-kedip melawan tetes hujan yang ritmis. Bibir mungilnya
ditarik ke samping membentuk garis lurus yang manis. Membentuk senyum paling
indah. Tangannya dibentang ke samping. Dia memutar badannya pelan sekali.
Memutar badan dengan sesekali kaki dijinjit. "Aku sedang menari denganmu. Berdansa mencipta romansa."
Apa gadis ini sedang bicara dengan hujan? Menari dengan hujan atau sedang
mengingat kekasihnya yang pergi? Meninggalkannya di kala hujan?
"Apa yang membuatmu
menyukai hujan?" Tanyaku padanya suatu hari.
"Sebab banyak orang
membenci hujan." Ia menjawab dengan pandangan menerawang.
"Itu bukan suka tapi
kau mengasihani hujan."
"Kata-kata memang
terlalu sempit untuk menjelaskan rasa. Baiklah, aku menyukai hujan tanpa
alasan. Apa ini cukup?"
"Wah, tak perlu lah
kau bersungut-sungut begitu menjelaskannya. Lagian kita cuma membincang
huja."
"Cuma membincang
hujan? Kuperkirakan pasti kamu juga membenci hujan seperti orang kebanyakan. Ya
kan?"
"....ti..dak,"
jawabku hati-hati.
"Kau bohong!"
"Bagaimana kau
tau?" Jawabku setengah bergumam.
"Hujan
membisikiku."
"Hujan membisikimu?
Sekarang tidak hujan."
"Seorang pecinta dapat
menyampaikan pesan pada yang dicinta tanpa bicara, bahkan tanpa kehadirannya.
Bisa lewat tatapan saja atau udara. Sudah ada sinyal sendiri yang
menghantarkannya."
"Kau terlalu banyak
baca fiksi."
"Fiksi berasal dari
kenyataan."
Gadis Hujan. Begitu kunamai
dia. Dia gadis pecinta akut pada yang bernama hujan. Gadis Hujan itu bermain
dengan hujan pada pergantian tahun ini hingga pukul satu dini hari. Membuat
buku jarinya mengerut. Bibirnya ungu dengan getaran ritmis. Kulit badannya
putih pucat seperti mayat bergerak. Wajahnya putih pualam. Telinganya dingin
beku. Tapi air wajahnya tetap mengerutkan kebahagiaan. Cara bahagia yang aneh,
pikirku.
Pagi
tadi dia bilang padaku, sedang flu. Dan sekarang sudah merindukan hujan lagi.
"Mendung menggodaku lagi untuk berjumpa dengan hujan," katanya
tersenyum. Bibirnya masih mengguratkan bekas dingin semalam.
"Mendung
yang genit!" Kataku acuh. Gadis hujan itu tertawa rapi, menjejerkan
giginya bagai prajurit berbaris. Saat dia tersenyum atau tertawa, pipinya
membentuk bulatan menarik dan warnanya berubah merona, warna cantik untuk
wanita menarik.
"Semalam
aku dipeluk hujan sangat erat. Di setiap sela, hujan menyentuhnya. Di kerudung,
baju, kaos, telapak tangan, lengan, kulit, rambut, daging, tulang, hati, serat
urat, aliran darah, semuanya disentuh oleh hujan yang basah." Bisiknya
pagi tadi. Aku hanya diam tak berkomentar. Memasang muka datar.
"Kau
cemburu ya?" Ucapnya lagi dan tertawa rapi. Aku tetap diam, hanya menoleh.
"Kau tak pandai berbohong, kak! Hahahaa!" Lanjutnya. Aku tetap diam.
"Kau tak pandai berbohong, kak! Hahahaa!" Lanjutnya. Aku tetap diam.
Bondowoso, 01/01/15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar