Minggu, 04 Januari 2015

Seorang Gadis dan Hujan Murung

 Kata gadis itu, hujan adalah mahluk Tuhan yang hidup. Bisa merasakan dan mengeluarkan emosi seperti manusia. Juga bisa diajak bicara. Tapi bagiku, itu semua hanya bisa ada dalam dunia fiksi hayal, tidak dalam kenyataan. Walau sudah kuutarakan alasan selogis mungkin, gadis itu ngotot berpendapat bahwa hujan dapat berkomunikasi. Setelah kalian baca tulisan ini hingga tuntas, nanti kalian akan tahu, mengapa tulisan ini kuberi judul Seorang Gadis dan Hujan Murung.
Pada suatu waktu gadis itu bercerita padaku.
"Kan kubuktikan bahwa hujan itu mengeluarkan emosi. Pernah kan hujan turun dengan butir besar-besar, sebesar biji jagung atau bahkan sebesar kelereng. Itu hujan pemarah dan terburu-buru. Dia datang tanpa pamit. Tidak mau tau matahari sedang cerah atau langit sedang terang. Orang yang marah bersuara keras-keras. Hujan pemarah juga bersuara ramai. Dengarkan saja bunyinya saat tertahan kaca mobil atau jatuh di atap seng. Tapi, hujan pemarah tidak pernah lama. Memang begitu seharusnya, marah jangan lama-lama."
Aku hanya tersenyum belibis mendengar penjelasannya. Gadis aneh.
"Jangan tersenyum dulu. Aku belum selesai. Kedua, hujan pemalu. Dia turun sembunyi-sembunyi. Tiba-tiba saja tanah membasah. Ujung daun membentuk butiran bagai embun. Hujan pemalu turun tidak ada yang menyadarinya. Konon, tanaman pun tak menyadari kedatangannya. Aku tau hujan pemalu dari hujan cantik."
Hujan cantik? Penjelasan yang lebih aneh. Tentu saja aku tak mengatakannya pada gadis tersebut.
"Ketiga, hujan cantik. Kalau mau turun bertemu bumi, hujan yang satu ini selalu berdandan terlebih dahulu. Butirannya dipoles sebasah mungkin. Jatuhnya akan ditata sekalem mungkin. Dan mereka menghadap bumi dengan riang. Bocah-bocah mungil paling suka pada hujan cantik. Mereka akan saling bersorak melempar senang. Membikin tangannya mirip mangkuk dan menampung hujan cantik sebanyak mungkin. Tapi tetap saja, tangan anak kecil tak pernah mampu menahan air walau hanya satu cangkir."
Aku selalu dimarahi ibuku waktu kecil jika mandi hujan. Apa karena ini aku memusuhi hujan? Gadis itu melanjutkan.
"Keempat, hujan pilih kasih. Dia hanya turun di daerah yang di tanahnya terdapat kekasihnya,..." Hujan punya kekasih? Batinku. "Aku pernah melihat hujan sedang apel dengan pacarnya. Belahan tanah utara membasah dan bagian selatan tetap kering, seolah tak dikenal. Pemisahan hujan pilih kasih ini membentuk garis lurus dan panjang seperti garis ufuk pemisah kaki langit dan rambut laut. Dia berbincang dengan pacarnya dengan suara semerdu tetesan air. Hujan merayu tanpa kata-kata. Hanya membasahi kekasihnya dengan air cinta."
Apalagi ini? Hujan pilih kasih? Membasahi kekasihnya dengan air cinta? Macam pacar dengan pacarnya yang banyak saja. Pilih kasih, memilih seseorang yang hanya dikasihi saja? Entah otak gadis ini telah diisi dengan kamus hujan atau entah.
"Kelima, hujan putus asa. Sebenarnya hujan putus asa datang di saat yang tepat, di tanah yang membutuhkan siraman. Tetapi bumi sekarang tidak lagi berlantai tanah semua. Jika diperhatikan, kawasan yang rawan banjir adalah daerah yang tanahnya tertutup semen atau beton aspal. Kehadirannya selalu dipandang sebagai musibah. Sayang sekali, hujan tidak bisa memntukan sendiri kapan akan turun. Jika Malaikat mulai memetiknya dari awan legam, kata tugasnya telah tiba. Turun ke bumi dengan rasa putus asa. Seperti orang mengantri mendapat hukuman, tidak dapat giliran kecuali telah dipersilahkan. Banjir selalu berasal dari hujan ini. Aku kasihan sekali. Manusia serakah dan sombong selalu mencari objek lain yang disalahkan. Padahal tidak ada hujan yang salah."
Hujan putus asa? Maka hujan sukses atau senang, seharusnya juga ada. Tapi aku tak yakin akan benar-benar ada. Gadis itu berkisah tentang hujan lancar sekali. Seolah dia memungut kata-katanya dari udara kosong di sekelilingnya. Aku tak mau otakku jadi kisut gara-gara mendengar deskripsinya. Dan aku masih bertahan. Diam tak berkomentar.
“Keenam, hujan penyabar. Hujan datang sedikit-sedikit dengan butiran kecil-kecil dan dalam jangka waktu yang lama. Aku pernah bermain dengan hujan penyabar selam tiga hari tiga malam. Bermain dengannya harus ekstra sabar. Soalnya rembesan hujan bisa masuk ke sela rumah mana saja. Asal ada cela, dengan sabar hujan ini merangkak masuk. Hujan penyabar tugasnya untuk menyejukkan bumi dan langit. Lalu, hujan sekanjutnya adalah hujan…”
"Sudah, sudah! Aku tahu kau masih punya banyak macam-macam hujan, sebanyak macam-macam orang. Sudah mendung, mending kita pulang. Mumpung belum hujan..."
"Aku punya satu harapan pada hujan.” Katanya memotong. “Aku ingin pergi bersama hujan. Menjadi hujan."
"Pasti jika kau jadi hujan. Kau akan menjadi hujan pemurung! Hahahaa"
Dia tidak tertawa. Mukanya datar. Muram. Tidak seceria saat dia berkisah tentang emosi hujan. Hujan yang turun seperti hujan pemalu, diganti dengan hujan ceria, menjelma hujan pilih kasih, ditumpas oleh hujan peramah. Gadis itu berdiri, melangkah, mendekati hujan.
Tangannya menengadah menahan hujan. Tetes hujan yang mengenainya tidak jatuh ke tanah. Menyerap pada badannya seakan badannya berasal dari kain tisu. Kerudungnya membasah. Semakin basah warnanya menguar. Dan hilang. Kini rambut legam sebahu terlihat menggilap. Membentuk aliran air yang rapih. Semakin basah, rambutnya merubah warna sewarna dengan hujan. Semua hujan yang mengenai tubuhnya, diserapnya dengan rakus. Seolah badannya terbuat dari pasir.
Tiap helai benang tidak lagi menutupi badannya. Kulit yang awalnya berwarna sawo matang sedikit demi sedikit berubah warna. Warna basah. Rias sederhana di wajahnya juga berganti rias basah. Detak nafasnya berubah embun. Seolah dalam badannya sedingin lemari es. Suaranya tidak lagi terdengar, sesenyap suara kepul asap es. Aku heran sendiri, mana mungkin bisa jadi begitu.
Astaga! Gadis itu berubah jadi hujan. Ya, hujan. Bukan air. Badannya seperti air yang dibentuk dengan bentuk seorang wanita. Lama-lama genangan air itu pecah membentuk mozaik berstruktur hujan yang halus. Pecahan airnya tidak turun ke bumi, tapi melangit. Membumbung tinggi menggapai awan tertinggi. Menjadi hujan seperti keinginannya. Hujan yang... murung. Sifat murung hujan ini terfragmentasikan pada kekasih yang ditinggal hilang tanpa kabar. Setiap ada kekasih yang disakiti, hujan murung akan turun. Hujan yang kuyup seolah tidak ada kesedihan yang lebih basah ketimbang hujan murung.
Mobil Menuju Jakarta, 02/01/15

Radar Bromo, 08 Februari 2015




Tidak ada komentar:

Posting Komentar