Kata gadis itu, hujan
adalah mahluk Tuhan yang hidup. Bisa merasakan dan mengeluarkan emosi seperti
manusia. Juga bisa diajak bicara. Tapi bagiku, itu semua hanya bisa ada dalam
dunia fiksi hayal, tidak dalam kenyataan. Walau sudah kuutarakan alasan selogis
mungkin, gadis itu ngotot berpendapat bahwa hujan dapat berkomunikasi. Setelah
kalian baca tulisan ini hingga tuntas, nanti kalian akan tahu, mengapa tulisan
ini kuberi judul Seorang Gadis dan Hujan
Murung.
Pada suatu waktu gadis itu
bercerita padaku.
"Kan kubuktikan bahwa
hujan itu mengeluarkan emosi. Pernah kan hujan turun dengan butir besar-besar,
sebesar biji jagung atau bahkan sebesar kelereng. Itu hujan pemarah dan
terburu-buru. Dia datang tanpa pamit. Tidak mau tau matahari sedang cerah atau
langit sedang terang. Orang yang marah bersuara keras-keras. Hujan pemarah juga
bersuara ramai. Dengarkan saja bunyinya saat tertahan kaca mobil atau jatuh di
atap seng. Tapi, hujan pemarah tidak pernah lama. Memang begitu seharusnya,
marah jangan lama-lama."
Aku hanya tersenyum belibis
mendengar penjelasannya. Gadis aneh.
"Jangan tersenyum
dulu. Aku belum selesai. Kedua, hujan pemalu. Dia turun sembunyi-sembunyi.
Tiba-tiba saja tanah membasah. Ujung daun membentuk butiran bagai embun. Hujan
pemalu turun tidak ada yang menyadarinya. Konon, tanaman pun tak menyadari
kedatangannya. Aku tau hujan pemalu dari hujan cantik."
Hujan cantik? Penjelasan
yang lebih aneh. Tentu saja aku tak mengatakannya pada gadis tersebut.
"Ketiga, hujan cantik.
Kalau mau turun bertemu bumi, hujan yang satu ini selalu berdandan terlebih
dahulu. Butirannya dipoles sebasah mungkin. Jatuhnya akan ditata sekalem
mungkin. Dan mereka menghadap bumi dengan riang. Bocah-bocah mungil paling suka
pada hujan cantik. Mereka akan saling bersorak melempar senang. Membikin
tangannya mirip mangkuk dan menampung hujan cantik sebanyak mungkin. Tapi tetap
saja, tangan anak kecil tak pernah mampu menahan air walau hanya satu
cangkir."
Aku selalu dimarahi ibuku
waktu kecil jika mandi hujan. Apa karena ini aku memusuhi hujan? Gadis itu
melanjutkan.
"Keempat, hujan pilih
kasih. Dia hanya turun di daerah yang di tanahnya terdapat kekasihnya,..."
Hujan punya kekasih? Batinku.
"Aku pernah melihat hujan sedang apel dengan pacarnya. Belahan tanah utara
membasah dan bagian selatan tetap kering, seolah tak dikenal. Pemisahan hujan
pilih kasih ini membentuk garis lurus dan panjang seperti garis ufuk pemisah
kaki langit dan rambut laut. Dia berbincang dengan pacarnya dengan suara
semerdu tetesan air. Hujan merayu tanpa kata-kata. Hanya membasahi kekasihnya
dengan air cinta."
Apalagi ini? Hujan pilih
kasih? Membasahi kekasihnya dengan air cinta? Macam pacar dengan pacarnya yang
banyak saja. Pilih kasih, memilih seseorang yang hanya dikasihi saja? Entah
otak gadis ini telah diisi dengan kamus hujan atau entah.
"Kelima, hujan putus
asa. Sebenarnya hujan putus asa datang di saat yang tepat, di tanah yang
membutuhkan siraman. Tetapi bumi sekarang tidak lagi berlantai tanah semua.
Jika diperhatikan, kawasan yang rawan banjir adalah daerah yang tanahnya
tertutup semen atau beton aspal. Kehadirannya selalu dipandang sebagai musibah.
Sayang sekali, hujan tidak bisa memntukan sendiri kapan akan turun. Jika
Malaikat mulai memetiknya dari awan legam, kata tugasnya telah tiba. Turun ke
bumi dengan rasa putus asa. Seperti orang mengantri mendapat hukuman, tidak
dapat giliran kecuali telah dipersilahkan. Banjir selalu berasal dari hujan
ini. Aku kasihan sekali. Manusia serakah dan sombong selalu mencari objek lain
yang disalahkan. Padahal tidak ada hujan yang salah."
Hujan putus asa? Maka hujan
sukses atau senang, seharusnya juga ada. Tapi aku tak yakin akan benar-benar
ada. Gadis itu berkisah tentang hujan lancar sekali. Seolah dia memungut
kata-katanya dari udara kosong di sekelilingnya. Aku tak mau otakku jadi kisut
gara-gara mendengar deskripsinya. Dan aku masih bertahan. Diam tak berkomentar.
“Keenam, hujan penyabar. Hujan
datang sedikit-sedikit dengan butiran kecil-kecil dan dalam jangka waktu yang
lama. Aku pernah bermain dengan hujan penyabar selam tiga hari tiga malam. Bermain
dengannya harus ekstra sabar. Soalnya rembesan hujan bisa masuk ke sela rumah
mana saja. Asal ada cela, dengan sabar hujan ini merangkak masuk. Hujan penyabar
tugasnya untuk menyejukkan bumi dan langit. Lalu, hujan sekanjutnya adalah
hujan…”
"Sudah, sudah! Aku
tahu kau masih punya banyak macam-macam hujan, sebanyak macam-macam orang.
Sudah mendung, mending kita pulang. Mumpung belum hujan..."
"Aku punya satu
harapan pada hujan.” Katanya memotong. “Aku ingin pergi bersama hujan. Menjadi
hujan."
"Pasti jika kau jadi
hujan. Kau akan menjadi hujan pemurung! Hahahaa"
Dia tidak tertawa. Mukanya
datar. Muram. Tidak seceria saat dia berkisah tentang emosi hujan. Hujan yang turun
seperti hujan pemalu, diganti dengan hujan ceria, menjelma hujan pilih kasih,
ditumpas oleh hujan peramah. Gadis itu berdiri, melangkah, mendekati hujan.
Tangannya menengadah
menahan hujan. Tetes hujan yang mengenainya tidak jatuh ke tanah. Menyerap pada
badannya seakan badannya berasal dari kain tisu. Kerudungnya membasah. Semakin
basah warnanya menguar. Dan hilang. Kini rambut legam sebahu terlihat
menggilap. Membentuk aliran air yang rapih. Semakin basah, rambutnya merubah
warna sewarna dengan hujan. Semua hujan yang mengenai tubuhnya, diserapnya
dengan rakus. Seolah badannya terbuat dari pasir.
Tiap helai benang tidak
lagi menutupi badannya. Kulit yang awalnya berwarna sawo matang sedikit demi
sedikit berubah warna. Warna basah. Rias sederhana di wajahnya juga berganti
rias basah. Detak nafasnya berubah embun. Seolah dalam badannya sedingin lemari
es. Suaranya tidak lagi terdengar, sesenyap suara kepul asap es. Aku heran
sendiri, mana mungkin bisa jadi begitu.
Astaga! Gadis itu berubah
jadi hujan. Ya, hujan. Bukan air. Badannya seperti air yang dibentuk dengan
bentuk seorang wanita. Lama-lama genangan air itu pecah membentuk mozaik
berstruktur hujan yang halus. Pecahan airnya tidak turun ke bumi, tapi
melangit. Membumbung tinggi menggapai awan tertinggi. Menjadi hujan seperti
keinginannya. Hujan yang... murung. Sifat murung hujan ini terfragmentasikan
pada kekasih yang ditinggal hilang tanpa kabar. Setiap ada kekasih yang
disakiti, hujan murung akan turun. Hujan yang kuyup seolah tidak ada kesedihan
yang lebih basah ketimbang hujan murung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar