Pada Mulanya,
Semua berawal dari pelatihan
jurnalistik yang diadakan oleh perpus daerah. Demi menjaga tradisi cinta ilmu,
lebih-lebih dalam tulis-menulis --dan tentu saja membaca. Orang luar itu, luar
daerah, menjadi penyaji di bangku depan menghadap kami. Lelaki itu mengawali
dengan perkenalan. Menyebut dirinya sebagai teman, bukan guru. Tidak aneh dalam
dunia pesantren.
Tapi, itu hanya terjadi satu kali.
Menurut jadwal, tiap minggu diadakan sekali pertemuan. Minggu-minggu berikutnya
dia tidak datang. Mungkin bertabrakan dengan agendanya yang lain. Seperti orang
sibuk saja. Saat itu tidak ada kesan yang luar biasa darinya. Malah cenderung
abai.
Setelah itu tidak ada kabar. Sekitar dua atau tiga
bulan.
Memang masih tidak bertemu
muka dengannya, hanya saja seperti sudah direncanakan. Entah bagaimana dia atau
aku menghubunginya, melalui pesan singkat di fesbuk. Lalu saling tukar pin bbm.
Dan berbagi nomor hp. Di sini semua rasa berawal. Kesesakan-kesesakan dalam
dada mulai membentuk, membengkak dan menghentak.
Perbincangan awal masih
tentang jurnalistik. Belajar menulis
tercepat ialah dengan membaca tulisan orang lain. Ingin menulis opini, baca
opini orang. Menulis puisi, baca puisi orang. Cerita, baca cerita orang.
Begitu saran yang pernah diberikannya lewat pesan bbm.
Di mana pun tidak mungkin ada
pertemanan antara lelaki dan perempuan. Akan selalu ada rasa lain yang muncul.
Begitu pun aku. Sebagaimana topik pemuda, seserius apapun sebuah perbincangan
antara lelaki dan perempuan, tetap akan beralih pada kisah asmara.
Semua tanpa rencana. Aku
bercerita padanya bahwa aku menyukai hujan. Dia menawariku buku tentang hujan.
Dan dia mendatangiku di sela aku dalam agenda organisasi ekstra kampus. Membawa
buku berwarna madu. Warna yang manis. Warna yang romantis. Lima menit kami
berbincang sejenak tentang penulis dan buku. Seolah kami saling pamer seberapa
banyak buku yang pernah dibaca. Sepertinya dia lebih banyak membaca.
Liburan kampus tinggal
seminggu dan aku harus menyelesaikan bukunya sebelum itu. Katanya, kau boleh
membaca buku ini lebih dulu tapi dengan syarat. "Apa?". Kau harus
menceritakan isinya. "Waduh, baiklah. Tak apa." Jawabku. Sebelum
libur kampus kembalikan ya! "Tak masalah,".
Tiga hari sebelum liburan
kuselesaikan membacanya. Dia mendatangiku lagi untuk mengambil bukunya. Tidak
banyak perbincangan yang dibuat. Sekitar satu menit bertemu. Lalu dia pergi.
Dia pandai sekali mencipta momen yang minimalis.
Liburan telah tiba. Aku
pulang ke rumah. Dia menghabiskan liburan di Jakarta. Ada urusan penting,
katanya. Apa aku tidak bengitu penting
baginya?
Saat itu lah rasa rindu mulai
memburu. Aku juga tidak tahu bagaimana asalnya. Tiba-tiba saja aku
memikirkannya. Membayangkannya. Mendamba kehadirannya. Merasa jengkel jika bbm
tak berbalas. Seakan-akan, tanpanya aku merasa dehidrasi. Berita tentangnya
ibarat air laut. Semakin banyak kuteguk, semakin haus dan aus tenggorokanku.
Ada yang menggangguku dalam
berinteraksi kata (sms atau bbm) dengannya. Dia selalu menunda menjawab,
maksudku dia biasa lama menjawabnya. Atau
aku yang terlalu buru-buru?
Aku memanggilnya kakak, tapi dia
tak memanggilku adik. Sering sekali aku memanggilnya sayang, dia hanya sekali
memanggilku sayang. Apa aku terlalu
berharap lebih?
Takut sekali aku ditinggal
dia. Apa ini rindu yang wajar? Pernah
aku merindukannya dengan seluruh badanku. Maksudku, aku menggigil, seolah serat
otot dan aliran darah dipenuhi cairan rindu. Hampir-hampir aku menangisinya
tanpa alasan. Apa ini rindu yang wajar?
Padahal hanya tiga kali bertatap muka. Entah bagaimana sebenarnya perasaannya
padaku. Yang jelas hatiku saat ini dipenuhi cairan rindu.
Pernah sekali kuperhatikan
beranda fesbuknya. Ada potret wanita yang ditandai bersamanya. Entah apa,
hatiku dongkol, dadaku sesak, air mukaku mengeras. Apa ini yang disebut cemburu? Apa aku sebegitu menyayanginya?
Padahal dia belum apa-apaku, status juga tak jelas. Tanpa sadar, aku bersikap
ngambek padanya. Bodoh sekali. Untungnya, dia berusaha mendinginkanku dengan
menyangkal bahwa potret tersebut bukan berarti penting. Nadaku tetap merengut
tapi hatiku tersenyum.
Dia paling sering menggunakan
kata ibarat dan pengandaian. Seperti pertama dia merayuku, istilah teman lelaki
diibaratkan polisi. "Aku takut rindu padamu, takut ditilang polisimu." Hahaa. Gombal dan modus!
Ini beberapa pesan singkatku
dengannya.
•Hati-hati
di jalan, jaga hati! Kataku.
Jangan hawatir, rusukku masih kuat kog.
•Hehee.
Moga aja selalu kuat.
Ya, semoga kamu kuat.
•Insyaallah,
akan selalu kuat jika dirawat. Jika kau siap merawat, pasti akan kuat.
Seperti menanam tanaman di pot. Tak bisa ditinggalkan. Harus disiram jika ingin
berbunga. Tak bisa mengandalkan hujan semata.
•Jadi
kusarankan, jangan pernah tinggalkan bunga itu. Biar tak mati.
Apa aku menanam bunga manja
yang rapuh? Kuharap tanamanku lebih kuat
dari kaktus. Ditinggal lama oleh hujan dan masih setia menunggu, walau
terlihat sekarat.
•Jadi
kau tak suka bunga manja?
Bukan begitu. Aku tidak suka
bunga mati. Apalagi bunga plastik.
•Hmm~
terus gimana maunya? Aku ingin jadi bunga yang kaumau.
Jangan berubah. Jadilah
bungamu sendiri! Itu lebih menarik sebab aku tak tau.
•Oke.
Bisa merawat bungaku?
Aku...sedang merawatnya. (Manis
sekali! Tentu saja respon ini tak kusampaikan padanya. Dia melanjutkan,) Walau
belum tau itu bunga apa. Yang jelas harus dirawat supaya tau itu bunga apa.
•O
ya? Terimakasih. Aku janji akan jadi bunga yang kau inginkan.
Dan tiap kali kutanya sedang
apa, selalu dia jawab dengan sedang baca
buku. Aku heran mengapa dia suka sekali membaca. Atau jangan-jangan itu
hanya alasan cerdasnya untuk memperdaya aku. Bahkan kadang aku merasa cemburu
pada buku yang selalu dia pegang, selalu dia bawa, selalu dia baca, selalu dia renungi,
selalu dia pikirkan. Bodoh sekali! Bisa-bisanya aku iri pada buku.
Sudah pernah kukatakan kalau
dia menyebutku Gadis Hujan dan aku memanggilnya Lelaki Berpayung? Ya, aku
menyebutnya demikian. Dia memberiku buku tentang hujan. Covernya manis sekali.
Probolinggo, 10 01 15