Minggu, 18 Januari 2015

Gadis Hujan (Empat)


Pada Mulanya,

Semua berawal dari pelatihan jurnalistik yang diadakan oleh perpus daerah. Demi menjaga tradisi cinta ilmu, lebih-lebih dalam tulis-menulis --dan tentu saja membaca. Orang luar itu, luar daerah, menjadi penyaji di bangku depan menghadap kami. Lelaki itu mengawali dengan perkenalan. Menyebut dirinya sebagai teman, bukan guru. Tidak aneh dalam dunia pesantren.

Tapi, itu hanya terjadi satu kali. Menurut jadwal, tiap minggu diadakan sekali pertemuan. Minggu-minggu berikutnya dia tidak datang. Mungkin bertabrakan dengan agendanya yang lain. Seperti orang sibuk saja. Saat itu tidak ada kesan yang luar biasa darinya. Malah cenderung abai.

 Setelah itu tidak ada kabar. Sekitar dua atau tiga bulan.

Memang masih tidak bertemu muka dengannya, hanya saja seperti sudah direncanakan. Entah bagaimana dia atau aku menghubunginya, melalui pesan singkat di fesbuk. Lalu saling tukar pin bbm. Dan berbagi nomor hp. Di sini semua rasa berawal. Kesesakan-kesesakan dalam dada mulai membentuk, membengkak dan menghentak.

Perbincangan awal masih tentang jurnalistik. Belajar menulis tercepat ialah dengan membaca tulisan orang lain. Ingin menulis opini, baca opini orang. Menulis puisi, baca puisi orang. Cerita, baca cerita orang. Begitu saran yang pernah diberikannya lewat pesan bbm.

Di mana pun tidak mungkin ada pertemanan antara lelaki dan perempuan. Akan selalu ada rasa lain yang muncul. Begitu pun aku. Sebagaimana topik pemuda, seserius apapun sebuah perbincangan antara lelaki dan perempuan, tetap akan beralih pada kisah asmara.

Semua tanpa rencana. Aku bercerita padanya bahwa aku menyukai hujan. Dia menawariku buku tentang hujan. Dan dia mendatangiku di sela aku dalam agenda organisasi ekstra kampus. Membawa buku berwarna madu. Warna yang manis. Warna yang romantis. Lima menit kami berbincang sejenak tentang penulis dan buku. Seolah kami saling pamer seberapa banyak buku yang pernah dibaca. Sepertinya dia lebih banyak membaca.

Liburan kampus tinggal seminggu dan aku harus menyelesaikan bukunya sebelum itu. Katanya, kau boleh membaca buku ini lebih dulu tapi dengan syarat. "Apa?". Kau harus menceritakan isinya. "Waduh, baiklah. Tak apa." Jawabku. Sebelum libur kampus kembalikan ya! "Tak masalah,".

Tiga hari sebelum liburan kuselesaikan membacanya. Dia mendatangiku lagi untuk mengambil bukunya. Tidak banyak perbincangan yang dibuat. Sekitar satu menit bertemu. Lalu dia pergi. Dia pandai sekali mencipta momen yang minimalis.

Liburan telah tiba. Aku pulang ke rumah. Dia menghabiskan liburan di Jakarta. Ada urusan penting, katanya. Apa aku tidak bengitu penting baginya?

Saat itu lah rasa rindu mulai memburu. Aku juga tidak tahu bagaimana asalnya. Tiba-tiba saja aku memikirkannya. Membayangkannya. Mendamba kehadirannya. Merasa jengkel jika bbm tak berbalas. Seakan-akan, tanpanya aku merasa dehidrasi. Berita tentangnya ibarat air laut. Semakin banyak kuteguk, semakin haus dan aus tenggorokanku.

Ada yang menggangguku dalam berinteraksi kata (sms atau bbm) dengannya. Dia selalu menunda menjawab, maksudku dia biasa lama menjawabnya. Atau aku yang terlalu buru-buru?

Aku memanggilnya kakak, tapi dia tak memanggilku adik. Sering sekali aku memanggilnya sayang, dia hanya sekali memanggilku sayang. Apa aku terlalu berharap lebih?

Takut sekali aku ditinggal dia. Apa ini rindu yang wajar? Pernah aku merindukannya dengan seluruh badanku. Maksudku, aku menggigil, seolah serat otot dan aliran darah dipenuhi cairan rindu. Hampir-hampir aku menangisinya tanpa alasan. Apa ini rindu yang wajar? Padahal hanya tiga kali bertatap muka. Entah bagaimana sebenarnya perasaannya padaku. Yang jelas hatiku saat ini dipenuhi cairan rindu.

Pernah sekali kuperhatikan beranda fesbuknya. Ada potret wanita yang ditandai bersamanya. Entah apa, hatiku dongkol, dadaku sesak, air mukaku mengeras. Apa ini yang disebut cemburu? Apa aku sebegitu menyayanginya? Padahal dia belum apa-apaku, status juga tak jelas. Tanpa sadar, aku bersikap ngambek padanya. Bodoh sekali. Untungnya, dia berusaha mendinginkanku dengan menyangkal bahwa potret tersebut bukan berarti penting. Nadaku tetap merengut tapi hatiku tersenyum.

Dia paling sering menggunakan kata ibarat dan pengandaian. Seperti pertama dia merayuku, istilah teman lelaki diibaratkan polisi. "Aku takut rindu padamu, takut ditilang polisimu." Hahaa. Gombal dan modus!
Ini beberapa pesan singkatku dengannya.
Hati-hati di jalan, jaga hati! Kataku.
Jangan hawatir, rusukku masih kuat kog.
Hehee. Moga aja selalu kuat.
Ya, semoga kamu kuat.
Insyaallah, akan selalu kuat jika dirawat. Jika kau siap merawat, pasti akan kuat.
Seperti menanam tanaman di pot. Tak bisa ditinggalkan. Harus disiram jika ingin berbunga. Tak bisa mengandalkan hujan semata.
Jadi kusarankan, jangan pernah tinggalkan bunga itu. Biar tak mati.
Apa aku menanam bunga manja yang rapuh? Kuharap tanamanku lebih kuat dari kaktus. Ditinggal lama oleh hujan dan masih setia menunggu, walau terlihat sekarat.
Jadi kau tak suka bunga manja?
Bukan begitu. Aku tidak suka bunga mati. Apalagi bunga plastik.
Hmm~ terus gimana maunya? Aku ingin jadi bunga yang kaumau.
Jangan berubah. Jadilah bungamu sendiri! Itu lebih menarik sebab aku tak tau.
Oke. Bisa merawat bungaku?
Aku...sedang merawatnya. (Manis sekali! Tentu saja respon ini tak kusampaikan padanya. Dia melanjutkan,) Walau belum tau itu bunga apa. Yang jelas harus dirawat supaya tau itu bunga apa.
O ya? Terimakasih. Aku janji akan jadi bunga yang kau inginkan.

Dan tiap kali kutanya sedang apa, selalu dia jawab dengan sedang baca buku. Aku heran mengapa dia suka sekali membaca. Atau jangan-jangan itu hanya alasan cerdasnya untuk memperdaya aku. Bahkan kadang aku merasa cemburu pada buku yang selalu dia pegang, selalu dia bawa, selalu dia baca, selalu dia renungi, selalu dia pikirkan. Bodoh sekali! Bisa-bisanya aku iri pada buku.

Sudah pernah kukatakan kalau dia menyebutku Gadis Hujan dan aku memanggilnya Lelaki Berpayung? Ya, aku menyebutnya demikian. Dia memberiku buku tentang hujan. Covernya manis sekali.


Probolinggo, 10 01 15

Wanita Busuk

20 12 14

Sebenarnya judulnya terlalu sadis. Masih bingung cari diksi yang baik. Tapi setidaknya, begini jelas kisahnya.

Semalam, malam Sabtu, aku ditugasi menjaga ujian Diniyah Daltim. Semua anak didiknya santri wati dari pelbagai instansi. Ada MTs, SMP, MAN, MA dan SMA. Tidak seperti wanita biasanya. Mereka sangat jorok jika dinilai dari pandangan santri. Liar. Suka memotong pembicaraan orang lain. Terbahak dengan mulut terbuka lebar. Mulutnya bau, beraroma makanan murahan. Makan berdiri. Minum berjalan. Berjalannya dengan sandal berbunyi memuakkan, seperti orang tak kuat ngangkat sandalnya saja.

Santri wati sekarang juga suka memelas jika ada maunya (di depan guru) dan tak mau dibebani tugas yang meningkatkan kualitas. Manja. Sombong. Tak mau capek berfikir atau bersikap sopan. Suka mengejek guru di depan gurunya saat pelajaran berlangsung. Mengabaikan guru dengan rujaan di kelas saat gurunya menerangkan. Tiduran di lantai di belakang bangku (lantai kelasnya bersih. Sepatu di luar kelas). Duduk di atas meja di luar kelas sudah pemandangan biasa (yang kulihat di SMA, entah yang lain).

Harus kunamai sebagai wanita macam apa jika tingkah lakunya demikian adanya? Memang, itu hanya semua sifat buruk mereka saja. Tak kusebutkan yang baik-baiknya. Kata mereka berarti sifat-sifat sialan itu ada di banyak badan. Mayoritas, begitu lah realitasnya. Ah, wanita jaman sekarang banyak yang kardi, semua inginnya musti terjadi. Jika tidak, ia ngambek marah dan mengancam hal-hal yang membosankan. Masih terlalu burukkah wanita begitu kunamai sebagai wanita busuk? Atau perempuan setan? Perempuan setengah Medusa?


Berilah mereka hidayah ya Allah. Bimbinglah kami menuju cinta abadimu. Ini bukan menyuruh atau menuntun apalagi menuntut, tapi doa dan harapan. Aku tak tahu bahasa halus saat berdoa. Yang jelas aku tak patut memaksa Tuhan. 

Kamis, 15 Januari 2015

Pecahan Waktu


030115•
Jika hujan cemburu, gemuruh guntur memburu. Bagai orangtua yang tak rela anaknya dimangsa kesedihan. Dan para kilat merambat cepat, memaksa telinga tuk disumbat. Seolah akan masuk semut raksasa ke ruang telinga.



Jiwa kerdil selalu ingin menguasai, walau tidak mampu. Jiwa besar tidak bernafsu menguasai, walau mampu.
•Habis nonton Pendekar Tongkat Emas, 070115

080115•
Berharga tidaknya suatu hal dinilai dari seberapa sulit diperoleh. Semakin sulit didapat, semakin layak dijaga dan dipertahankan.

110115•
Setiap yang hidup pasti mendapat masalah. Dari segi kesehatan, keuangan, asmara, dan sosial. Jika orang itu baik dan mampu melewatinya, niscaya derajadnya meninggi. Dan sedikit sekali yang menyadarinya. Semoga kita termasuk bagian dari yang sedikit.

Sebab Hujan Turun•110115
Ahir Desember 2014 kemarin aku bertandang ke teman Semarang. Sore dan malam selalu hujan. Tiga hari di sana, tidur di kontrakan teman seangkatan. Miris. Kekeringan air di tengah musim hujan. Air bak mandi tak pernah setinggi sepuluh senti. Kalau mau mandi, keluar cari musolla-mesjid atau pom bensin terdekat. Heuheu. Ahir Januari rencananya ke Semarang lagi, wisuda mereka. Insyaallah,
Mereka itu Afrizal, Burhan, Subhan, Muhlasin, dan Imam. Eh, si Imam belum kelar ding skripsinya. hehee

120115•
Saat ujian aku mengawasi. Mau kerja sama, nyontek, mikir keras, atau apalah terserah mereka. Kuperbolehkan. Hanya satu instruksiku. Jangan ramai! Sayang sekali, pita suara mereka terlalu tipis. Mengapa pelajar sekarang susah sekali untuk tenang di kelas?

130115•
Tidak mungkin! Dua titik dan tiga bintang mengingatkanku padanya. Sudah lama aku abai. Kenapa tiba-tiba teringat? Lagi pula, senyumnya memang pantas dinilai manis.


160115 :
Begini susahnya setelah membaca karya bagus. Karya lainnya yang berada di bawahnya terasa hambar. Sialan kau 
Haruki Murakami! Sialan kau Dan Brown! Habis ngatamin 1Q84, Inferno, dan Digital Fortress.

Minggu, 04 Januari 2015

Seorang Gadis dan Hujan Murung

 Kata gadis itu, hujan adalah mahluk Tuhan yang hidup. Bisa merasakan dan mengeluarkan emosi seperti manusia. Juga bisa diajak bicara. Tapi bagiku, itu semua hanya bisa ada dalam dunia fiksi hayal, tidak dalam kenyataan. Walau sudah kuutarakan alasan selogis mungkin, gadis itu ngotot berpendapat bahwa hujan dapat berkomunikasi. Setelah kalian baca tulisan ini hingga tuntas, nanti kalian akan tahu, mengapa tulisan ini kuberi judul Seorang Gadis dan Hujan Murung.
Pada suatu waktu gadis itu bercerita padaku.
"Kan kubuktikan bahwa hujan itu mengeluarkan emosi. Pernah kan hujan turun dengan butir besar-besar, sebesar biji jagung atau bahkan sebesar kelereng. Itu hujan pemarah dan terburu-buru. Dia datang tanpa pamit. Tidak mau tau matahari sedang cerah atau langit sedang terang. Orang yang marah bersuara keras-keras. Hujan pemarah juga bersuara ramai. Dengarkan saja bunyinya saat tertahan kaca mobil atau jatuh di atap seng. Tapi, hujan pemarah tidak pernah lama. Memang begitu seharusnya, marah jangan lama-lama."
Aku hanya tersenyum belibis mendengar penjelasannya. Gadis aneh.
"Jangan tersenyum dulu. Aku belum selesai. Kedua, hujan pemalu. Dia turun sembunyi-sembunyi. Tiba-tiba saja tanah membasah. Ujung daun membentuk butiran bagai embun. Hujan pemalu turun tidak ada yang menyadarinya. Konon, tanaman pun tak menyadari kedatangannya. Aku tau hujan pemalu dari hujan cantik."
Hujan cantik? Penjelasan yang lebih aneh. Tentu saja aku tak mengatakannya pada gadis tersebut.
"Ketiga, hujan cantik. Kalau mau turun bertemu bumi, hujan yang satu ini selalu berdandan terlebih dahulu. Butirannya dipoles sebasah mungkin. Jatuhnya akan ditata sekalem mungkin. Dan mereka menghadap bumi dengan riang. Bocah-bocah mungil paling suka pada hujan cantik. Mereka akan saling bersorak melempar senang. Membikin tangannya mirip mangkuk dan menampung hujan cantik sebanyak mungkin. Tapi tetap saja, tangan anak kecil tak pernah mampu menahan air walau hanya satu cangkir."
Aku selalu dimarahi ibuku waktu kecil jika mandi hujan. Apa karena ini aku memusuhi hujan? Gadis itu melanjutkan.
"Keempat, hujan pilih kasih. Dia hanya turun di daerah yang di tanahnya terdapat kekasihnya,..." Hujan punya kekasih? Batinku. "Aku pernah melihat hujan sedang apel dengan pacarnya. Belahan tanah utara membasah dan bagian selatan tetap kering, seolah tak dikenal. Pemisahan hujan pilih kasih ini membentuk garis lurus dan panjang seperti garis ufuk pemisah kaki langit dan rambut laut. Dia berbincang dengan pacarnya dengan suara semerdu tetesan air. Hujan merayu tanpa kata-kata. Hanya membasahi kekasihnya dengan air cinta."
Apalagi ini? Hujan pilih kasih? Membasahi kekasihnya dengan air cinta? Macam pacar dengan pacarnya yang banyak saja. Pilih kasih, memilih seseorang yang hanya dikasihi saja? Entah otak gadis ini telah diisi dengan kamus hujan atau entah.
"Kelima, hujan putus asa. Sebenarnya hujan putus asa datang di saat yang tepat, di tanah yang membutuhkan siraman. Tetapi bumi sekarang tidak lagi berlantai tanah semua. Jika diperhatikan, kawasan yang rawan banjir adalah daerah yang tanahnya tertutup semen atau beton aspal. Kehadirannya selalu dipandang sebagai musibah. Sayang sekali, hujan tidak bisa memntukan sendiri kapan akan turun. Jika Malaikat mulai memetiknya dari awan legam, kata tugasnya telah tiba. Turun ke bumi dengan rasa putus asa. Seperti orang mengantri mendapat hukuman, tidak dapat giliran kecuali telah dipersilahkan. Banjir selalu berasal dari hujan ini. Aku kasihan sekali. Manusia serakah dan sombong selalu mencari objek lain yang disalahkan. Padahal tidak ada hujan yang salah."
Hujan putus asa? Maka hujan sukses atau senang, seharusnya juga ada. Tapi aku tak yakin akan benar-benar ada. Gadis itu berkisah tentang hujan lancar sekali. Seolah dia memungut kata-katanya dari udara kosong di sekelilingnya. Aku tak mau otakku jadi kisut gara-gara mendengar deskripsinya. Dan aku masih bertahan. Diam tak berkomentar.
“Keenam, hujan penyabar. Hujan datang sedikit-sedikit dengan butiran kecil-kecil dan dalam jangka waktu yang lama. Aku pernah bermain dengan hujan penyabar selam tiga hari tiga malam. Bermain dengannya harus ekstra sabar. Soalnya rembesan hujan bisa masuk ke sela rumah mana saja. Asal ada cela, dengan sabar hujan ini merangkak masuk. Hujan penyabar tugasnya untuk menyejukkan bumi dan langit. Lalu, hujan sekanjutnya adalah hujan…”
"Sudah, sudah! Aku tahu kau masih punya banyak macam-macam hujan, sebanyak macam-macam orang. Sudah mendung, mending kita pulang. Mumpung belum hujan..."
"Aku punya satu harapan pada hujan.” Katanya memotong. “Aku ingin pergi bersama hujan. Menjadi hujan."
"Pasti jika kau jadi hujan. Kau akan menjadi hujan pemurung! Hahahaa"
Dia tidak tertawa. Mukanya datar. Muram. Tidak seceria saat dia berkisah tentang emosi hujan. Hujan yang turun seperti hujan pemalu, diganti dengan hujan ceria, menjelma hujan pilih kasih, ditumpas oleh hujan peramah. Gadis itu berdiri, melangkah, mendekati hujan.
Tangannya menengadah menahan hujan. Tetes hujan yang mengenainya tidak jatuh ke tanah. Menyerap pada badannya seakan badannya berasal dari kain tisu. Kerudungnya membasah. Semakin basah warnanya menguar. Dan hilang. Kini rambut legam sebahu terlihat menggilap. Membentuk aliran air yang rapih. Semakin basah, rambutnya merubah warna sewarna dengan hujan. Semua hujan yang mengenai tubuhnya, diserapnya dengan rakus. Seolah badannya terbuat dari pasir.
Tiap helai benang tidak lagi menutupi badannya. Kulit yang awalnya berwarna sawo matang sedikit demi sedikit berubah warna. Warna basah. Rias sederhana di wajahnya juga berganti rias basah. Detak nafasnya berubah embun. Seolah dalam badannya sedingin lemari es. Suaranya tidak lagi terdengar, sesenyap suara kepul asap es. Aku heran sendiri, mana mungkin bisa jadi begitu.
Astaga! Gadis itu berubah jadi hujan. Ya, hujan. Bukan air. Badannya seperti air yang dibentuk dengan bentuk seorang wanita. Lama-lama genangan air itu pecah membentuk mozaik berstruktur hujan yang halus. Pecahan airnya tidak turun ke bumi, tapi melangit. Membumbung tinggi menggapai awan tertinggi. Menjadi hujan seperti keinginannya. Hujan yang... murung. Sifat murung hujan ini terfragmentasikan pada kekasih yang ditinggal hilang tanpa kabar. Setiap ada kekasih yang disakiti, hujan murung akan turun. Hujan yang kuyup seolah tidak ada kesedihan yang lebih basah ketimbang hujan murung.
Mobil Menuju Jakarta, 02/01/15

Radar Bromo, 08 Februari 2015




Gadis Hujan di Pergantian Tahun


Tahun baru semalam hujan lebat, selebat daun beringin yang gemuk. Jatuhnya kecil-kecil seperti peluru serdadu langit memberondong bumi tanpa ampun. Udara menggigil gemetar seolah bumi menjelma lemari es. Pasangan muda menerobos jalan beraspal tanpa mantel hujan. Mereka basah seolah baru keluar dari kolam renang. Lampu mobil mencoba menerobos tirai hujan yang padat.
Sudah pukul 20.00. Empat jam lagi berganti tahun. Lapangan alun-alun kota dipenuhi orang dari berbagai asal. Jika dilihat dari atas seperti kerumunan semut menemukan gula. Semakin ke tengah semakin sesak tak berjarak. Di pantai, orang-orang berjejer bagai ikan asin yang dijemur. Bau keringat sedikit menyengat. Tapi tetap saja banyak orang mengunjungi tempat yang secara prediktif sudah pasti penuh sesak.
Sebagian orang tak jadi berangkat sebab awan semakin pekat. Hujan terus jatuh seolah tak ada batas air di atap langit. "Ah, sepertinya tahun baru kali ini hanya bisa mendekam dalam rumah. Pukul 23.00 masih hujan, rencanaku pasti batal nih." Seseorang menggerutu pada dirinya sendiri sebab rencananya dihalangi hujan. "Maaf ya, sayang, ditunda aja ya jalan-jalannya. Besok boleh kan?" Rayu seorang lagi pada pacarnya.
Hanya satu orang yang menyungging senyum tak putus-putus. Tangannya menengadah menampung tetes hujan dari genteng. Sesekali matanya diusap, tertetes hujan yang dingin. "Dingin yang hangat." Gadis itu bergumam seperti sedang berbisik. Lengan bajunya mulai basah tapi gadis itu seolah sedang merasa digenggam tangan lelaki yang hangat.
Wajahnya basah kuyup. Tetes hujan membelai muka bulatnya. Matanya membulat. Seolah hatinya merekah bagai jagung popcorn yang mekar. Pipinya memerah seperti pipinya pemain opera saat tampil. Gadis itu menutup matanya. Menghirup nafas dalam-dalam seakan udara kian menipis. Menahannya kuat-kuat dalam dadanya. Dan mengeluarkannya dari mulutnya kecil-kecil. Bibirnya yang kecil bergerak kecil dengan ritme yang kecil pula. Mengulanginya beberapa kali seolah ritual wajib.
Separuh badannya sudah basah. Kursi duduknya juga basah. Tinggal punggungnya yang kering. Tapi gadis itu seolah tak merasa dingin. Padahal pengunjung alun-alun dan pantai mencari tempat berteduh atau membungkus dirinya dengan jas plastik murahan demi menjaga bajunya agar tetap kering. Kini gadis itu berdiri, tangannya terjulur ke depan, melangkah maju meninggalkan beranda rumah, ke halaman.
Mukanya dihadapkan ke langit. Matanya berkedip-kedip melawan tetes hujan yang ritmis. Bibir mungilnya ditarik ke samping membentuk garis lurus yang manis. Membentuk senyum paling indah. Tangannya dibentang ke samping. Dia memutar badannya pelan sekali. Memutar badan dengan sesekali kaki dijinjit. "Aku sedang menari denganmu. Berdansa mencipta romansa." Apa gadis ini sedang bicara dengan hujan? Menari dengan hujan atau sedang mengingat kekasihnya yang pergi? Meninggalkannya di kala hujan?
"Apa yang membuatmu menyukai hujan?" Tanyaku padanya suatu hari.
"Sebab banyak orang membenci hujan." Ia menjawab dengan pandangan menerawang.
"Itu bukan suka tapi kau mengasihani hujan."
"Kata-kata memang terlalu sempit untuk menjelaskan rasa. Baiklah, aku menyukai hujan tanpa alasan. Apa ini cukup?"
"Wah, tak perlu lah kau bersungut-sungut begitu menjelaskannya. Lagian kita cuma membincang huja."
"Cuma membincang hujan? Kuperkirakan pasti kamu juga membenci hujan seperti orang kebanyakan. Ya kan?"
"....ti..dak," jawabku hati-hati.
"Kau bohong!"
"Bagaimana kau tau?" Jawabku setengah bergumam.
"Hujan membisikiku."
"Hujan membisikimu? Sekarang tidak hujan."
"Seorang pecinta dapat menyampaikan pesan pada yang dicinta tanpa bicara, bahkan tanpa kehadirannya. Bisa lewat tatapan saja atau udara. Sudah ada sinyal sendiri yang menghantarkannya."
"Kau terlalu banyak baca fiksi."
"Fiksi berasal dari kenyataan."
Gadis Hujan. Begitu kunamai dia. Dia gadis pecinta akut pada yang bernama hujan. Gadis Hujan itu bermain dengan hujan pada pergantian tahun ini hingga pukul satu dini hari. Membuat buku jarinya mengerut. Bibirnya ungu dengan getaran ritmis. Kulit badannya putih pucat seperti mayat bergerak. Wajahnya putih pualam. Telinganya dingin beku. Tapi air wajahnya tetap mengerutkan kebahagiaan. Cara bahagia yang aneh, pikirku.
Pagi tadi dia bilang padaku, sedang flu. Dan sekarang sudah merindukan hujan lagi. "Mendung menggodaku lagi untuk berjumpa dengan hujan," katanya tersenyum. Bibirnya masih mengguratkan bekas dingin semalam.
"Mendung yang genit!" Kataku acuh. Gadis hujan itu tertawa rapi, menjejerkan giginya bagai prajurit berbaris. Saat dia tersenyum atau tertawa, pipinya membentuk bulatan menarik dan warnanya berubah merona, warna cantik untuk wanita menarik.
"Semalam aku dipeluk hujan sangat erat. Di setiap sela, hujan menyentuhnya. Di kerudung, baju, kaos, telapak tangan, lengan, kulit, rambut, daging, tulang, hati, serat urat, aliran darah, semuanya disentuh oleh hujan yang basah." Bisiknya pagi tadi. Aku hanya diam tak berkomentar. Memasang muka datar.
"Kau cemburu ya?" Ucapnya lagi dan tertawa rapi. Aku tetap diam, hanya menoleh.
"Kau tak pandai berbohong, kak! Hahahaa!" Lanjutnya. Aku tetap diam.

Bondowoso, 01/01/15