Senin, 29 Desember 2014

Malaikat Penghisap Darah


Sudah lama aku berdoa agar selalu dilindungi malaikat saat tidur. Menjelang subuh tubuhku selalu digerayangi mahluk nakal. Frekuensi suaranya mengganggu tidurku. Tusukan jarumnya merusak mozaik istirahatku. Akumulasi keseluruhannya membentuk fragmen kegelisahan dan keresahan. Puncaknya akan memaksaku untuk bangkit dari tidur pendekku.

Analisis otakku menghasilkan kinerja otot reflektif untuk menghapus gangguan. Mengusir ancaman mereka. Menghantam mereka dengan telapak tanganku yang mulai membara. Tak satu nyamuk pun kutangkap. Mereka nyamuk sakti mandraguna. Atau jangan-jangan mereka adalah transformasi terburuk malaikat untuk membangunkanku kala adan subuh berkumandang? Jika benar, beruntunglah aku, dibangunkan oleh malaikat...penghisap darah.

Setelah solat subuh, tidak ada lagi nyamuk malaikat itu. Mungkin mereka telah berhasil. Kini mereka membawa sekantong amal kebaikanku untuk dihaturkan pada Sang Pencipta. Semoga darahku sehat. Semoga ibadahnya cocok. Semoga...amin.

261214

Gadis Hujan

Dari sekian banyak pencerita, mayoritas mengidentikkan hujan sebagai kesedihan dan kemurungan. Warnanya yang kelabu menambah sendu para kekasih yang dirundung rindu. Langit yang mustinya biru berganti warna abu-abu. Bahkan tak tanggung-tanggung, ada yang berkisah tentang sifat sedih hujan. Tapi aku bukan mau menceritakan tentang mereka yang membenci hujan. Ini tentang gadis yang menyukai hujan. Gadis hujan.
"Kau tahu asal-muasal hujan?" 

Tanyanya pada suatu sore yang gerimis.

"Mereka air mata malaikat yang menangis sebab melihat umat yang melaknat. Atau hujan adalah fragmentasi dari bentuk kemurungan yang nyata. Hujan adalah akumulasi kesedihan. Tiap tetesnya berupa mozaik kegelisahan. Semua orang membenci hujan."

"Kau salah! Mereka anugerah. Aku menyukai hujan yang basah." Jawabnya bersungut-sungut.

Setelah itu aku diam. Heran. Ternyata ada yang menyukai hujan. Tidakkah ini terlalu melankolis. Gadis pecinta hujan.

"Aku selalu menunggu hujan saat awan mulai menghitam."

Aku tetap diam. Kuyakin wanita di sampingku ini memiliki banyak persediaan kosa kata unik untuk melindungi hujan dari hujan kecaman.

"Hujan bukan musibah. Manusia lah yang mencipta musibah. Banjir datang sebab selokan tertutup sampah. Aku menyukai hujan bukan untuk membelanya, tapi karena aku memang menyukai hujan. Turunnya seperti peluru yang turun dari senjata serdadu langit. Hujan itu menghidupkan bukan mematikan." Panjang lebah dia berkisah dialektik.

"Baiklah. Aku tidak akan membenci hujan lagi."

Wanita di sampingku tersenyum. Pipinya penuh seperti sedang menyimpan gula-gula dalam mulutnya. Matanya menyipit seperti burung pipit. Air wajahnya menampakkan kegembiraan.

"Kau senang?" Sambungku.

Dia mengangguk cepat tanpa mengurangi frekuensi senyumnya. Bibirnya mengembang pertanda kegembiraan yang naik. Matanya membulat pertanda semangat.

"Yuk, kita berangkat sekarang!" Ajaknya. Rencananya kita pergi ke perpus daerah. Kita sama-sama suka baca.

"Hmm~ masih hujan lo." Jawabku hati-hati. Kulirik wajahnya. Dia menguncupkan bibirnya. Merengut.

"Iya, iya. Yuk berangkat!" Ia senang bukan buatan. Aku suka melihatnya begitu, melihat ekspresi wajahnya yang cepat berubah. 

221214

Belatung Kebohongan


Semalam aku membaca amalan kejujuran hingga tertidur. Dalam tidurku aku bermimpi aneh. Bertemu dengan kupu-kupu kejujuran. Kupikir kupu-kupu tersebut dinamai kejujuran oleh seseorang, tapi sebenarnya itulah kejujuran. Sifat jujur berbentuk kupu-kupu. Sekilas memang seperti kupu-kupu biasa. Ternyata ada yang aneh. Sayapnya hanya satu dan berbulu seperti sayap burung. Warnanya tidak membosankan, seperti warna aurora di langit kutub. Antenanya ada tiga. Matanya biru tosca. Dan bisa bicara.

Aku berada di kebun yang semua daunnya berbeda warna. Hijau tua, agak tua, muda, dan agak muda. Merah tua, merah cerah, merah buram, dan merah muda. Kuning pekat, kuning cerah, dan kuning muda. Aku sampai tidak tahu nama-nama warna yang beraneka tersebut. Dari sekian warna daun, yang paling kusenangi adalah daun yang berwarna senja. Bukan orange. Di setiap daun terdapat kupu-kupu kejujuran yang warna sayapnya serupa warna daunnya.

"Kau tersesat?" Seekor kupu-kupu sebesar burung pipit menyapaku.
"Entahlah! Tapi aku senang berada di tempat ini."
"Ya, karena kau orang yang jujur." Kupu-kupu lain menjawabnya. Bentuknya lebih kecil lagi.
"?" Aku mengerutkan alis dan dahi pertanda tak mengerti.
"Orang jujur akan memimpikan kami. Bentuk asli kejujuran..."
"Kupu-kupu?"
"Manusia mengenal bentuk kami sebagai kupu-kupu. Tapi kami bukan kupu-kupu. Kami kejujuran."

***

Aku terbangun saar azan subuh mengalun. Jiwaku masih tertegun. Mana mungkin kejujuran berbentuk kupu-kupu? Padahal sayapnya sangatlah rapuh. Aku duduk bersimpuh. Merenung. Apa ini bentuk tenung? Ah, ini hanya mimpi yang tak agung. Jangan sampai membuatku bingung.

***

Pagi ini pandanganku terasa berbeda. Seperti tembus pandang. Aku melihat orang-orang hanya terbagi dua macam. Pertama, terang benderang dengan sayap di belakang dan yang kedua, terlihat buram kelam dan...penuh belatung.

Para lelaki di depan wanita seksi berbicara berbusa-busa belatung. Seolah dalam perutnya tersimpan ribuan belatung yang menjijikkan. "Merekalah para pembohong." Terdengar suara dengung dalam kepalaku. Ketika kutoleh orang yang benderang aku mendengar suara: "Merekalah orang-orang jujur". Dari badannya beraroma wangi. Pundak mereka kokoh seperti atlit. Astaga! Inikah maksud mimpiku semalam?

Aku dapat melihat dengan jelas antara orang yang bohong dan yang jujur. Aku berusaha bersikap seperti orang biasanya. Menyapa temanku yang mulutnya banyak memuntahkan belatung. Wew! Memuakkan! Mereka berniat tersenyum tapi yang kulihat mereka sedang menyeringai menakutkan.
Lidahku seolah terprogram hanya mengucap kejujuran setelah mimpi semalan. Bibirku jadi kaku saat berniat berbohong. Untuk itu, aku lebih suka diam daripada berbincang-bincang dengan temanku. Tapi bibir dan lidahku lebih banyak terasa kaku ketimbang mengeluarkan suara.

"Mengapa mulutmu penuh belatung!" Komentar reflekku saat ditanya tentang penampilannya.
"Sialan kau!" Balas temanku.
"Aku bercanda." Satu belatung meloncat dari mulutku.

Dari sekian banyak teman, hanya sebagian kecil yang mulutnya tidak berbelatung. Dia memang selalu blak-blakan saat bicara. Tapi itulah kejujuran.

Aku merasa bahwa ini adalah hari teraneh dalam hidupku. Sekarang sudah malam. Sudah waktunya tidur. Di samping ranjang ada cermin besar menghadapku. Tak sengaja aku melihat diriku dalam cermin. Astaga! Mulutku memang bersih tak ada belatung, tapi pandanganmu menembus daging dadaku. Di sela-sela ruas tulang rusukku terselip belatung-belatung yang menumpuk. Jantungku dikerubungi belatung. Paru-paruku tertutup belatung. Ususku dijalari ratusan belatung. Di sudut hati terdalam, ada satu kupu-kupu dengan sayap berwarna senja.

Probolinggo, 211214•

Ikan Setan


Pagi tadi aku sarapan dengan lauk ikan laut. Ikan laut yang aneh. Tidak seperti mata ikan yang digoreng. Matanya terlihat segar seperti ikan koi yang berenang di aquarium. Aku tak peduli, dagingnya nikmat sekali. Mata ikan itu menatapku dengan tajam dan bergerak-gerak. Aku tetap abai dan menutupinya dengan sayur bayam.

"Sialan! Perih tauk!"

Apa aku berhayal? Ikan itu baru saja mengumpat. Kuintip mata ikan aneh itu. Tidak ada yang berubah. Mulutnya kaku sebagaimana ikan goreng lainnya. Tidak mungkin ikan mati bisa bergerak apalagi mengumpat.

Kulanjutkan makanku. Seluruh badan ikan tinggal belulang dan kepalanya. Perutnya berisi telur yang begumul. Aha! Aku paling suka telur ikan. Kunikmati telur itu dalam mulutku. Tak langsung kutelah, kugerak-gerakkan seperti mengaduk air. Lalu mulutku terasa aneh. Telur ikan sialan itu seperti menetas dan langsung berenang ke tenggorokan menuju perut.

"Rasakan kau manusia tamak!" Ikan tak berdaging itu mengumpat lagi.

Ikan-ikan mungil itu berenang dalam lambungku, memakan pecahan nasi yang kumakan. Sekali menelan makan, ikan itu semakin besar dan lapar. Ikan mungil itu tidak kenal kenyal. Lapisan lambung seperti dikuliti dari dalam. Sampai habis. Kini ikan-ikan itu sebesar lalat ijo. Nafsu makannya bertambah.

Mereka mulai mengikis habis usus duabelas jariku. Ikan-ikan itu tak pantas lagi kubilang mungil, sekarang sebesar kelereng. Anehnya, perutku tidak membuncit kesakitan. Yang jelas, lambung dan ususku telah lenyap disantap ikan setan itu. Mereka menelusuri dan melahap segala jeroanku. Lambung. Usus. Jantung. Hati. Paru-paru. Sekarang perutku telah kosong, hanya berisi ikan-ikan setan.

Ikan di piring makanku menyeringai seolah mengerti apa yang terjadi dalam perutku. "Ini gila! Ini tidak mungkin terjadi." Sayang sekali, tokoh aku dalam cerita ini tidak bisa menentukan nasibnya sendiri. 

Cerita tetap berlanjut.

Aku mulai memukul-mukul perutku sendiri, berharap ikan sialan itu mati. Tapi rongga dalam perutku menjadi sangat luas untuk gerombolan para ikan. Ikan-ikan itu ikan kanibal. Setelah isi jeroanku habis, mereka mulai saling mangsa. Tidak ada yang lebih kecil atau lebih besar. Semua bertarung berebut saling menerkam.

Ada ikan yang cerdik. Ia menyempal tulang rusukku dan mulai menusuk ikan-ikan lainnya. Jumlah ikan berkurang, yang awalnya ratusan, kini tinggal tigabelas ekor. Merekalah para pemenang. Merekalah predator terkuat dalam perutku. Gigi-gigi mereka diasah dengan tulang rusukku. Semakin tajam dan kuat. Rasa lapar ikan setan itu semakin menjadi. Tulang rusukku mulai jadi santapan.

Kini aku bisa mengelus punggungku dari dadaku. Seperti menyentuh dasar cangkir berisi kopi kental. Seluruh tulang dalam perut dan dada sudah hilang dimakan ikan. Mereka sudah sebesar dua jari. Tidak ada yang bisa menahan nafsu makannya yang serakah. Mereka berhasil menghabiskan tulang tangan dan kakiku. Aku berjalan tanpa kerangka, seperti layangan tanpa kerangka. Kini, aku berjalan selalu menjauhi angin. Jika tidak, aku bisa terbawa terbang. Seluruh organ dalam, daging, dan tulangku sudah habis. Hanya otakku yang tersisa.

Tigabelas ikan itu sudah tinggal dua. Ikan jantan bernama Ikana dan betina bernama Ikani. Ikani telah bunting. Aku berharap ada dukun ikan yang tiba-tiba muncul dalam perutku dan memaksa Ikana-Ikani untuk menggugurkan kandungannya. Dengan tujuan itu, aku sekarang memburu ikan di sungai atau laut dan memakannya mentah-mentah. Tak jarang aku menelan ikan hidup-hidup. Siapa tau ikan yang kutelan hidup-hidup itu adalah ikan jagoan yang dapat membunuh Ikana-Ikani. Tapi Ikana sangat istimewa, seolah-olah dialah raja ikan. Semua ikan tunduk padanya. Maka tidak jarang saat aku muang air, yang keluar malah ikan hidup.

Tanpa sengaja, Ikani keluar melalui perutku. Saat itu Ikani sedang berlatih melompat. Karena kekuatannya yang besar, ia menerobos perutku yang memang sudah lapuk. Aku bahagia. Sebab Ikana akan menjadi lemah tanpa Ikani. Semakin hari Ikana semakin murung, seperti burung pipit yang kesepian. Badannya yang kekar mengerut tipis setipis kertas. Anehnya, setelah Ikani keluar dari badanku, segala badanku mulai lengkap lagi. Daging-daging bergerak-gerak mengisi daerah yang seharusnya diisi dengan daging. Tulang merambat bagai kabel, menggumpal, mengeras menjadi tulang yang lebih kokoh dari sebelumnya.

Jeroanku mulai lengkap lagi. Jantung, lambung, usus, paru-paru. Tapi badanku sekarang lebih cepat gerah. Dalam satu jam aku harus mandi. Jika tidak, aku jadi sesak bernafas, seperti akan mati, seperti ikan yang diangkis ke atas tanah. Kulitku semakin bersih dan sedikit menyerupai sisik salak. Leherku berlobang seolah disilet. Seperti insang.

Hanya di dunia cerpen semua bisa terjadi. Ikan mati dapat mengumpat. Telur ikan mati jadi hidup dan memangsa manusia dari dalam. Hingga manusia berubah jadi ikan.

Selesai dihayal dan ditulis 191214.

Bukan Kata Kata Bukan


151214
BukanKataku
Bukan tentang siapa yang pertama atau yang dikenal lebih lama atau yang paling sayang. Tapi tentang siapa yg datang dan tak menghilang. 

161214•
Banyak sekali ya paku yang musti dicabut. Seperti bulu ketek aja, habis dicabut tumbuh lagi. Sialan ni ketek! Bau lagi!

181214•
Seperti biasa, Dan Brown menyusun kata-kata seperti timbunan batu berbobot maha besar-berat dan tertata apik. Perumpamaannya sangat sesak dan padat. Gud buk.
•On reading Inferno


Selasa, 09 Desember 2014

Menyanyilah, sayang...


Tau kenapa aku memintamu menyanyi?
Sebab saat bernyanyi, tubuh secara otomatis akan melepas hormon Endorfin. Sehingga timbullah rasa senang dan bahagia.
051214

Monolog Siang


•031214
Kau terlalu banyak mikir.
"Bukankah kita punya otak?"
Hatimu juga kau kekang dengan pikiranmu? Bukan itu fungsi hati manusia, tapi agar kita tenang.
"Bicaramu selalu penuh retorika dan penafsiran."
Kata-kata hanya jembatan akan makna.
"Jangan mengucap yang ambigu dipahami. Aku capek. Masak tiap ucapanmu butuh dipikirkan lebih dari sekali."
Hmm~ ok. Pergilah dari pikiranku!
"Apa! Itu masalahmu! Hahaha"
Jangan tertawa! Ini bukan lelucon.
"Kata-katamu paradoks dengan perkataanmu yang pertama."
Biar saja. Aku tak urus itu.
"Kau semakin aneh. Aku tak mengnalimu."
Biar saja. Itu urusanmu.
"Katanya kau mencintaiku?"
Biar saja. Itu urusanku.
"Katanya ingin menjagaku?"
Jangan ingatkan aku!
Katanya ingin..."
Jangan dilanjutkan!
"...Ingin..."
Kubilang jangan!
"...ingin me..."
Diam!
"Kau mulai berani membentakku,"
Maafkan aku. Ini hanya... Ah, maaf, maaf,

Monolog 031214


••
Wanita biasanya menyukai orang yang mencintainya dengan cara dewasa.
"Dan kau masih bersikap kekanak-kanakan?"
Tidak ada pecinta yang bersikap dewasa.
"Kau benar-benar mencintainya?"
Apa aku terlihat bermain-main? Dia yang main-main.
"Kau menuduh tanpa bukti. Artinya kau sedang berpikir sesat."
Aku tidak peduli omong kosongmu.
"Kau gila!"
Tidak ada pecinta yang waras.
"Kau membodohi dirimu sendiri. Kau bilang cinta tapi menjauh?"
Simpulanmu salah. Pola pikirmu sesat.
"Kau aneh!"
Tidak. Aku hanya sedang jatuh dari cinta.
"Susah ngomong dengan orang sepertimu,"
Itu urusanmu.
"Malam sudah larut. Kau tak mau tidur?"
Aku sudah tidur.
"Ya! Kau tidur dari kenyataan."
Terserah kau bilang apa. Aku tak peduli.
"Juga padanya?"
Mana mungkin aku bisa melupakannya!
"Kau benar-benar aneh."
Sedikit.
"Ahirnya kau putus asa. Hahahaa"
Harapan tidak pernah padam.
"Ah, sudahlah! Aku ngantuk."
Itu di kamar ada wanita nganggur.
"Apa kau gila!"
Hahahaa

Monolog Malam


2 Desember 2014
Aku merasa lega berbicara denganmu.
"Kenapa sekarang berhenti?"
Berbohong itu tidak nyaman.
"Apalagi jika dibohongi!"
Aku suka melihat air mukamu.
"Kembalilah! Aku menunggumu."
Kau suka memerintah.
"Itu nurani perempuan"
Jawabanmu selalu menuntut.
"Jadi, perempuan harus selalu mengalah?"
Kau sedang membentak bukan bertanya.
"Kau egois!"
Kau tak mau kalah.
"Terserah!"
Tenanglah,
"Huh!"
Hahahaa.
"Kan!"
Hahahaa.

Oknum Sialan!

Tanggal 7 Desember 2014 kemaren waktu subuh hapeku ilang dua-duanya (bebe dan Samsung Galaksi ch@t). Semalem aku tidur jam dua karena sedang asik baca bukunya Haruki Murakami, 1Q84, jilid satu. Kupikir itu hanya anak pengurus yang sedang main-main, jadi aku santai saja. Setelah solat subuh aku konfirmasi mereka. Ternyata tidak ada yang tahu. Muncul beberapa spekulasi dari kasus tersebut. Pertama, mahasiswa lantai bawah yang ngambil. Kedua, sesama pengurus yang ngambil. Ketiga, para siswa yang ngambil. Tapi, kalau secara logika, ketiganya tidak mencapai 30 persen akan ngambil hapeku. Pagi sebelum berangkat sekolah, seluruh siswa kukumpulkan, kukabarkan keadaanku. Ternyata ada kemungkinan keempat yang sangat logis: ada keamanan pondok yang mengontrol kamar sebelum subuh.
Aku langsung menuju kantor keamanan. Mendatangi temanku, menanyakan hapeku.
"Ya! Hapemu ada pada kami. Silahkan nanti setelah sekolah datang lagi untuk mengurusnya. Aku masih ngantuk, mau tidur, semalaman tidak tidur." Katanya dan langsung masuk kamar lagi dan tidur.
Minimal keberadaan hapeku sudah ketahuan.
Jam 10 aku tidak ada jam ngajar di SMA. Kudatangi lagi kantor keamanan, yang menghadapiku namanya Amir. Dia seangkatan denganku. Tentu saja sudah menjadi keamanan senior di pondok. Kuliahnya belum selesai. Muncullah dialog begini:
"Mari, silahkan masuk, silahkan duduk. Saya tau keperluanmu. Tentang hape kan?" Ia memulai percakapan dengan banyak kalimat dan diahiri dengan senyuman aneh, seperti sedang meremehkan.
"Ah, sudah paham ternyata. Jadi, bagaimana..." Sengaja kugantungkan kalimatku.
"Nah, itu dia. Kamu kan sudah lama kukenal, juga sedaerah, sudah kuanggap keluarga sendiri. Tapi mau bagaimana lagi. Sebagai keamanan aku wajib melaksanakan tugasku: bahwa setiap santri tidak boleh membawa hape. Tentu saja konsekuensinya, hape ditahan, tidak dikembalikan, dan diambil hak pesantren."
"Sebelumnya aku minta maaf, Mir. Bukannya aku mau apa atau gimana. Tapi menurut BPPS (semacam undang-undang di pondok), yang dimaksud santri adalah mereka yang terdata di kantor pesantren dan berdomosili di pesantren. Maksudku, secara hukum aku tidak termasuk santri, sebab; pertama, aku sudah boyong (berhenti mondok) sejak tahun 2009. Kedua, berdomisiliku di pondok, niatan mengabdi, sama seperti santri yang sudah berkeluarga tapi masih mengabdi di pondok. Hanya bedanya, aku belum berkeluarga dan berdomisili di pondok untuk mempermudah mengontrol para santri. Jadi secara garis hukum aku bebas dari larangan membawa hape."
"Wah, susah ini saya jadinya. Tapi, maaf nih. Aku gak berhak mengembalikan hapemu, sebab masih ada atasanku. Kalau kamu ingin hapemu kembali, silahkan datangan kepala keamanan, siapa tahu beliau memiliki pendapat berbeda denganku dan berkenan mengembalikan" Nada bicaranya masih santai, tapi dengan getar suara yang berbeda dengan awalnya.
"Baiklah. Aku akan menghadap kepala keamanan. Oya, barang-barangku aman, kan, di sini?"
"Santai saja. Jangan hawatir. Dijamin barang tidak lecet sedikit pun."
"Oke. Aku ke sekolah dulu."
***
Bakda magrib aku ke rumah kepala keamanan dengan Humayni, teman asik diajak sharing. Kepala keamanan namanya Farhorrozi. Ia juga dosen di kampus lingkungan pondok. Begini dialog saat di rumahnya:
"Maaf mengganggu waktu bapak istirahat. Saya yang nelpon bapak tadi siang."
"Oya, ada keperluan apa?" Dia menjawab dengan nada santai bersahabat.
"Hape saya diambil teman-teman keamanan. Saya sudah menghadap mereka dan disuruh menghadap bapak."
"Santri?"
Kujelaskan kedudukanku di pondok bahwa aku dalam masa pengabdian, konsekuensi dari beasiswaku saat kuliah di Semarang.
"Ya, besok sore sampean langsung ke saya di kampus. Ndak usa ke kantor lagi. Hapenya bisa langsung di ambil. Apa hapenya?"
"Dua, pak. Bebe dan Samsung."
"Wah, dua, ya?"
"Hehee, iya, pak. Dan cargernya juga."
"Wah, ngeces ta?"
"Tidak, pak. Hanya saja, saya taruk seadanya."
"Ya, besok sore di kampus."
"Baik, pak. Terimakasih."
Walhasil, hapeku dikembalikan. Tapi ada beberapa hal yang aneh.
Pertama, lapisan layar BlackBerry tidak semestinya, seperti sempat terkelupas dan dipasang seadanya. Kedua, pulsa di hape satunya, yang Samsung, hilang 50 ribu. Keadaan ini tidak sesuai dengan janji Amir bahwa hapeku akan aman tidak ada lecet sedikit pun.
Setelah hape kudapat, aku langsung apdet status begini:
•081214•
Dasar Manusia Setan!
Berhadapan dengan orang picik tidak cukup dengan modal kejujuran, perlu sesuatu yang bernama kelicikan.
status kedua:
Institusi dan ketuanya orang baik. Dan heh! Oknum kecil di dalamnya sangat tidak cocok berada di institusi tersebut. Licik! Picik! Perampas hak orang! Sialan! Setan! Kampret! Tikus!
¤Tidak ada orang yang lebih memuakkan ketimbang perampas hak.
¤Tidak ada orang yang lebih hina ketimbang perampas hak.
¤Merekalah orang-orang yang patut disebut sampah, bahkan lebih busuk ketimbang sampah.
¤Pada ahirnya kudoakan saja semoga oknum-oknum sialan itu lenyap dari institusi tersebut.
*yg melihat status ini kuanggap ucapan 'amin'. Amin.

***
Kalau mau benar-benar bersikap profesional. Tidak mungkin keadaannya jadi begitu. Lagi pula, anak-anak keamanan juga memegang hape android tanpa izin. (Santri boleh membawa hape asal memiliki izin dari pengasuh.)
Ahirnya kudatangi lagi kantor keamanan untuk meminta kejelasan. Niatku ke sana ingin meminta nama: siapa yang ngambil hapeku, siapa yang menyimpan hapeku, siapa yang mencuri pulsaku, siapa yang memiliki rekomendasi, dan tentu saja apa sebenarnya yang mereka kerjakan.
Hasilnya bisa ditebak. Amir menghadapiku dan meminta maaf tanpa ekspresi bersalah dan hanya mengimbui dengan kata-kata:
"Baiklah, nanti akan kuselidiki siapa yang melakukan itu. Tapi sebagai catatan, aku ingin kau tidak su'udon dulu. Karena biasanya, kami menghubungi nomor kontak yang ada di hapemu."
"Jika memang demikian adanya, aku tidak masalah. Tapi anehnya, pulsaku hilang 50 ribu. Bulat. Tidak kurang, tidak lebih dari 50 ribu itu yang hilang. Bukannya ingin minta ganti. Aku hanya ingin tahu, siapa oknum yang melakukan hal busuk begitu."
"Sekali lagi minta maaf. Aku ndak tahu siapa yang ngambil, siapa yang menyimpan, dan siapa saja yang menggunakan hapemu. Tapi, ya, itu tadi. Jangan berpikir negatif dulu."
"Oke. Kira-kira, bisa ndak aku minta nama-nama mereka."
"Wah, sepertinya tidak bisa. Biarlah itu menjadi kritik untuk kami dan tentu saja aku akan membahas itu dalam rapat internal keamanan."
***
Silahkan kalian menilai sendiri bagaimana. Yang jelas, ceritaku di atas hanya sekadar pengalaman pribadi. Semoga kita semua tetap mendapat hidayah dari Allah s.w.t. Amin.