Satu
Malam
itu kau menjebakku agar tetap mendengar suaramu yang tidak jelas. "Jika
kau menutup telepon, aku tidak akan menghubungimu lagi." Ancammu. Aku
menurut seperti sapi yang dicocok hidungnya. Suaramu yang parau, lebih tepat
didefinisikan dengan igauan, sebab kau berada di dunia nyata dan mimpi, hanya
membentuk irama lagu kehilangan. Pukul 02.30 dini hari kau menelepon. Begitulah
dirimu, kau yang menentukan jalan.
Kantukku
sudah menumpuk seperti punukan unta yang membungkuk. Kutarik sekuat-kuat
kesadaranku agar tetap bisa menjawab pertanyaanmu yang hanya butuh kata iya dan
h'em. Sesekali aku tercuri waktu. Kesadaranku hilang, terlelap sejenak, lalu
bangun lagi untuk menjawab "iya". Tapi aku lebih suka menjawab dengan
"h'em". Dengan begitu aku tak perlu membuka mulut, mengangkat rahang,
menggerakkan bibir, menarik otot suara, mendorong nada, menganga.
Malam
itu kau hanya butuh ditemani. Kukabulkan inginmu. Berbicara denganmu tidak
membutuhkan topik menarik, sebab kaulah yang menarik. Hal paling remeh pun bisa
dibicarakan. Seperti; tadi pagi Matahari muncul dari Timur. Dari saking
lumrahnya malah menjadi humor murahan dalam perbincangan. Di ahir percakapan
kau memintaku menutup dengan cerita. Lalu aku bercerita tentang sepasang
kekasih romantis yang selalu berkirim surat yang berisi tentang akumulasi
kerinduan yang tertunda. Dan kau terlelap sebelum cerita usai dikisahkan.
Saat
itulah aku biasa mengungkapkan rasa cintaku. Saat kau sudah mulai merangkak
dalam mimpi singkatmu. "Aku selalu ada untukmu, sayang". Dan kalimat
itu selalu menjadi ending favoritku saat menutup pembicaraan dimana kau sudah
terlelap di seberang telepon.
Dua
Pernah
pada malam lainnya, kau datang dengan segudang bintang. Wajahmu sumringah
melebarkan senyum merekah. Yah, kau mendekat membawa kabar bahwa kau baru saja
didekati lelaki yang sudah lama kau idamkan menjadi pacarmu. Sampulawa, dua
tahun sudah lelaki itu yang membuatku dekat denganmu. Curhatanmu tentangnya
memaksaku untuk terus merapal doa agar kau lekas lepas dari kesedihan tanpa bekas.
Sampulawa lah kesedihan tanpa kelemahan itu. Setiap adanya mencipta keresahan.
Kau
tidak begitu memperhatikan senyum palsuku. Tidak, kau sudah tidak peduli
tentang hal apapun yang membuatmu mendekati kesedihan. Saat senyumku terbentuk
sedikit saja, matamu sudah melebar seperti kelopak mawar yang mekar. Alismu
terangkat pertanda semangat yang meningkat. Semakin kulihat kau berbungah dada,
semakin kecut pula aku mendengarnya.
Di
situ aku diperlakukan bagai perekam suasana yang musti kujauhi. Tapi kau semakin
mempercepat tempo berceritamu tentang Sampulawa seolah lelaki itu sehari lagi
akan mati. Dan ini adalah hari terahir untuk menceriktakan seluruh kebaikannya.
Tapi tunggu sebentar, kenapa aku sensi banget sama si Sampulawa ini ya? Maaf,
kepada yang punya nama. Ini hanya cerita fiktif dari nama yang tidak fiktif.
Sudah
tiga jam kau bercerita tentang Sampulawa ini. Lelaki yang ternyata setelah
kuselidiki, juga memperhatikanmu. Mungkin di lain waktu aku perlu menusuk
perutnya dengan belati beracun.
Tiga
Ternyata
instingmu cukup tajam. Setelah obrolan tentang Sampulawa. Kau berubah sikap,
seolah mengetahui bahwa aku tidak suka saat kau bercerita tentangnya. Tanpa
musabab yang jelas kau menancapkan petuah: "Izinkan aku bersyukur akan
pagi, siang dan malam tanpamu. Sama seperti sehat, untuk mengetahui nikmatnya
sehat, harus sakit dulu." Maka kuikuti aturanmu.
Tiga
hari tak kuhubungi. Tepat di hari keempat, kau datang dengan muka merah padam.
Tanpa aba-aba kau melabrakku seolah aku musuh bebuyutanmu yang paling kau
benci. "Berapa lama lagi kau akan menjauhiku? Tidak menghubungiku dan
tidak terima kuhubungi?" Astaga! Sebenarnya apa sih inginmu? Kulakukan ini
karena pintamu. Dan masih kau salahkan?
"Jangan
salahkan wanita jika selingkuh kalau lelakinya tidak mau menghubunginya!" Apa!
Logika macam apa itu? Bukankah suatu hubungan harus dibangun atas dasar
kepercayaan dan pengertian? Aduh! Tapi kau bukan siap-siapaku, kan? Yeah...
Setidaknya... Ah, entahlah. Tapi sebenarnya kau adalah segalanya bagiku. Andai
kau tahu. Sungguh.
Maka
segala hal darimu akan kuterima. Walau begitu luas sikapku padamu, tetap saja
aku punya batasan, manusia selalu punya batasan. Pun keluasan hatiku tuk tetap
menerimamu, memiliki batasan. Saat batasan itu telah kau lalui. Aku harus
mendahului perasaanku padamu. Melepasmu, tapi tidak melupakanmu.
Empat
Seperti
gulungan ombak di pantai, bergantian memukul pasir landai. Hubunganmu dengannya
kadang maju dengan gulungan besar, lalu disusul air datar tanpa gelondongan.
Namun, setelah setahun kau pacaran dengannya kau mulai merasakan
ketidakseimbangan. Perhatianmu sangatlah besar. Sedang perhatiannya padamu
seolah semakin pudar. Seperti cat merk murahan yang dilekatkan pada tembok
tanpa atap. Ditampar dinginnya angin malam, diguyur basahnya hujan dan dibakar teriknya
matari.
Sikap
legowo yang kau berikan atas segala perlakuannya yang jumawa lambat laun mulai
menipis. Kau mulai merasa tertekan dan menyimpan jarum kehawatiran. Seperti,
kau yang terlalu banyak menelponnya ketimbang dia menelponmu. Memulai pesan
singkat, sedang dia tidak. Memintamu mengisikan pulsanya untuk menghubungi
orang lain. Seolah kau mencipta segala inginnya selalu terkabul. Tidak peduli
apakah kau senang atau melarat. Kau mulai sering diam saat bertatap muka
denganku. Seolah ingin menyembunyikan kegelisahanmu. Pembohong yang payah.
Bahkan dengan diammu menyiratkan kejujuran bahwa kau dihantui ketidakbahagiaan.
Memang
benar, dia, Sampulawa, pacar busukmu yang kau cinta, selalu berkata jujur. Tapi
lidahnya seolah berduri. Kejujurannya melukaimu dengan telak. Bahkan dia
bercerita dengan bangga. Kajujuran yang menyakitkan, seperti; aku masih
mencintai mantanku kemaren. Dadamu serasa diperas dengan handuk keras. Sesak.
Kau diam, menyunggingkan senyum pilu. Menerima irisan luka yang kian menganga.
Tapi kau masih bersikukuh bahwa dia bisa berubah dengan segala sikapmu yang kau
tumpahkan. Menjaring segala kesakitan demi mendapat ikan kebahagiaan. Miris
sekali, menurutku.
Sebenarnya
segala penilaianku di atas hanyalah bentuk dari kekalahanku pada keadaan. Tapi
kurasa, kau terlalu banyak menyimpan rahasia. Tanganmu sudah penuh dengan kotak
pandora. Segala isinya pasti mengandung kejutan yang menyenangkan dan
menghawatirkan. Aku tak tau, lebih banyak mana. Yang jelas, segala masa lalumu
akan selalu salah di matanya. Kau menerima itu sebab kau pikir, ini hanya
ujian.
Sebab segala adalah menjaga.
Lima
"Aku
sudah tidak tahan lagi dengannya! Muak dengan segala sikapnya! Harus berapa
kali aku mengalah? Memangnya aku tidak pantas bahagia ya? Sengsara sepanjang
usia?"
Itu
kalimat pembukamu dalam telepon. Tidak ada basa-basi atau sekadar bertanya
kabar. Ibarat orang baru bangun tidur langsung lari terbirit kencang ke kamar
mandi. Belum sempat aku bicara membalas, kau melanjutkan;
"Aku
ingin ketemu denganmu di tempat biasa kita mengisi waktu. Sekarang. Jangan
telat ya! Aku siap-siap sekarang."
Telepon
terputus.
Sudah
kebiasaanmu memotong telepon tanpa persetujuan lawan bicaramu. Kebiasaan yang
buruk. Tapi sepertinya kau begitu karena diperlakukan begitu oleh pacarmu yang
selalu merasa ganteng. Sepengalamanku denganmu, yang sering telat dan selalu
benar itu kamu. Seperti saat kau berjanji mengembalikan buku Sejarah Peradaban
Islam di depan Perpustakaan Kampus. Aku menunggumu hingga dua jam dengan perut
keroncongan. Dan kau datang dengan sedikit senyum manismu. Dan bilang bahwa
keterlambatanmu bukan kesalahanmu, tapi karena kamar mandi hanya satu, sedang
teman kosmu berjumlah lima manusia. Dan jika kau berkata sudah siap-siap itu
artinya kau baru benar-benar siap satu jam berikutnya. Begitulah wanita, mahluk
halus yang selalu bikin lelaki kian mampus.
Kafetarian.
Semacam rendezvous bagiku. Kulirik jam tanganku, 10 menit lagi dia tak datang
aku akan pergi. Kuhabiskan 10 menit dengan mengingat segala hal tentangnya.
Mulai dari sikapnya yang manja semanja kelinci, siara marahnya yang tersegal
nafas tak tuntas, senyumnya yang kepalang manis matang, igauannya saat telponan
larut malam yang kepalang kelam, atau saat kau menutup telepon tanpa merasa
harua minta ampun.
10
menit lewat. Badan kuangkat ingin membayar bill. Belum sempat kulangkahkan kaki
kau datang tanpa sapa dan langsung memerintah.
"Duduk!
Aku mau bicara serius sekarang."
Enam
Pada
ahirnya yang selalu ada mengalahkan yang didamba. Sebab cinta bukan tentang
siapa yang lebih awal dikenal atau yang lebih disayang, melainkan tentang siapa
yang datang dan tidak hilang. Selamanya wanita akan menjadi misteri di mata
lelaki. Hati wanita sangat tidak stabil. Bukan berarti labil. Dalam sedetik
bisa saja berbeda dengan keputusan sebelumnya dengan keyakinan sekuat para
pegulat yang ulet. Saat ditanya pun jawabannya tidak dapat ditakar oleh logika
lelaki yang berkelakar.
Setelah
kau menyampaikan maksudmu, aku hanya diam lama. Mencoba memahami alur hatimu
dengan logikaku. Tapi kau sudah pernah membantah bahwa wanita tidak pandai
dengan logika dalam hal cinta. Memandangi wajahmu untuk menemukan bahwa kau
sedang bercanda. Namun air mukamu menyiratkan keseriusan yang sangat. Matamu
berair menahan debaran hasrat yang kuat. Kau memilihku sebagai imammu. Dengan
tanpa syarat kau nyatakan bahwa kau mencintaiku, memilihku.
Oleh Achmad
Marzuki, Santri Pondok Pesantren Nurul Jadid
Dimuat di Radar Bromo, Jawa Pos, Minggu, 09 Agustus 2015