Senin, 24 Februari 2014

Feeneatri


Januari, bulan yang selalu menangis. Kini mulai memasuki bulan kedua, sisa-sisa hujan masih saja membasahi Februari. Feeneatri pernah berkisah bahwa hujan itu berwarna tembaga, warna yang sederhana.  Ia bahkan bisa menutupi kesedihan dengan sempurna. Lihat saja, perawan muda tidak akan ketahuan menangis jikalau dia sedang bermandi hujan. Aku tak menjawab, tak membantah, hanya memandangnya, karena inginku hanya dia berbicara banyak-banyak. Aku suka mendengar suaranya, melihat wajahnya. Caranya bicara begitu anggun, menggerakkan bibirnya seolah sedang bernyanyi. Jika menoleh, dia juga punya gerakan eksotis tersendiri; mengeser bola matanya dahulu sebelum menggeser lehernya.
"Sudah kubilang jangan menggodaku. Aku ini bukan manusia, tidak sepantasnya kau menyukai kaumku."
"Feeneatri, tidak pernah kutemukan wanita secantik dirimu. Perilakumu juga halus dan selalu berhati-hati. Apa lagi yang ditunggu lelaki bujang jika telah dirasa menemukan pasangannya?"
"Tentu saja aku selalu cantik di depanmu, selalu sopan dan santun, itu karena kau sendiri yang menciptakanku. Fantasimu! Apa kata pembaca  cerpenmu jika mereka tahu bahwa penulisnya mencintai tokoh fiksinya sendiri?"
"Bukankah tokoh fiksi harus menurut pada apa yang penulis ciptakan! Kau juga tokoh fiksi yang aneh, Feeneatri. Bisa menentang dan merayuku, dengan keliaranmu dalam cerita. Suaramu juga penuh berahi."
"Kau pengarang sinting!" Setelah itu dia menghilang.
Kejadian itu terjadi ketika aku temenung di tanah setinggi 2392 meter, puncak Bromo. Tidak ada yang salah seorang penulis yang mencintai tokoh fiksinya bukan? Karena ada lelaki yang mencintai tembok, menjadikannya istri. Feeneatri sendiri berasal dari dua suku kata; Feenea+tri. Feenea berasal dari finny, bahasa Irlandia yang berarti perempuan cantik dan tri kependekan dari santri. Jadi feenearti berarti santri perempuan yang cantik. Aku meraciknya sebagai perempuan berwajah puisi yang memiliki kecantikan bak edelweis: sederhana namun memikat semua mata.
***
Sisa-sisa malam menyelimuti Bromo. Tidak ada angin tapi udara dingin masih menusuk-nusuk. Jaket hitam bertuliskan Nevada di dadaku sedikit melindungiku dari sengatan dingin. Ufuk timur mulai tampak sedikit merah. Banyak sekali wisatawan menumpuk di puncak, ingin menikmati matahari terbit. Aneh. Bukankah setiap hari matahari selalu terbit. Aku saja baru kali ini benar-benar memperhatikan matahari terbit. Di hari biasanya aku tak peduli, tahu-tahu aku sudah berada di kantor, mendapati tugas yang berjibun, dan matahari sudah setinggi tongkat.
“Gerakan matahari pagi lambat-lambat cepat. Warnanya kuning cerah kemerahan. Karena itulah aku menyukai warna kuning.” Seorang perempuan cantik menyahut padaku di belakangku.
“Kau siapa?” dilihat dari wajah dan pakaiannya, dia seperti Feeneatri, tokoh fiksiku.
“Aku Feeneatri,”
Tidak mungkin. Dia hanya ada dalam khayalku. Perempuan ini manusia bukan bayangan, dia memiliki bayangan.
“Kau tidak tahu ya? Ada hukum dalam dunia khayal yang menyatakan bahwa; khayalan akan bisa menjadi manusia kalau sering dipikirkan. Dan kau terlalu sering memikirkanku.”
Astaga! Dia bisa membaca pikiranku.
“Aku tidak mau kau jadi manusia.”
“Kenapa, bukankah kau mencintaiku? Jika aku jadi manusia, kau bebas mencintaiku, tak perlu berkhayal.”
“Tidak. Kau sama sekali tak tahu manusia. Mereka selalu membikin rusuh dunia. Dalam hal cinta, pasti ada gelisah dan penghianatan, lebih baik aku mencintaimu sebagai bayangan, dengan begitu kau tak kan bisa meninggalkanku, tak kan mungkin menghianatiku, karena aku yang menciptamu.”
“Dunia manusia begitu mengerikan” Tapi kau sudah terlambat, Kak. Feeneatri sudah mulai berkata dalam hati. Dan tidak ada satu manusiapun yang mengetahui isi hati manusia lainnya.
***
Wisatawan mulai membidik ufuk timur. Menangkap matahari pagi. Memenjarakan keindahan alam dalam kotak-kotak elektrik. Subhanallah, indah nian matahari pagi rupanya. Piringan matahari sedikit-sedikit mulai timbul muncul di kaki langit, seperti bayi mungil yang belajar merangkak. Kuliriki Feeneatri, tidak mungkin! bayangan tubuhnya semakin petang, pertanda dia benar-benar berubah jadi manusia. Hanya di dunia cerpen, tokoh fiksi bisa berubah jadi manusia.
Matahari setinggi tongkat. Wisatawan mulai turun, kembali ke penginapan. Ada yang naik ojek motor, ada yang menunggang kuda, tetapi aku memilih berjalan kaki, berdua dengan Feeneatri. Tangan kananku memeluk pundaknya, tangan kirinya memeluk pinggangku, kepalanya disandarkan di pundakku, kepalaku kusandarkan ke kepalanya. Seorang lelaki memotret kami, katanya kami sangat romantis. Lelaki itu tak tahu kalau perempuan di sampingku ini baru saja mengenal dunia manusia.
Jalan yang kami lalui bukan jalan beraspal melainkan jalan setapak yang penuh jejak tapal kuda. Setiap sepuluh meter Feeneatri minta berhenti, istirahat. Hey. Dia mulai mengenal capek. Dan setiap kali duduk istirahat dia memelukku, nyaman, katanya, hangat. Kali ini dia mengenal dingin. Penginapan sudah kelihatan. Aku memilih penginapan yang strategis, terletak di pinggir tebing, dari jendela sudah bisa menikmati indahnya punuk Bromo.
 “Kak, perutku sakit.”
“Aku tahu. Itu namanya lapar. Perutmu harus diisi. Ayo ke warung, kita cari soto ayam.” Kali ini dia tahu bagaimana jadi manusia kelaparan. Secara alamiah, jika perut lapar diisi makanan tentu akan merasa kenyang. Sebentar lagi Feeneatri akan mengenal kenyang.
“Ah, nikmat sekali, Kak. Tapi lidahku terasa panas.”
“Ucapkan alhamdulillah, begitu orang bersyukur biasa berucap. Lidahmu yang terasa panas itu karena pedas.” Sekarang dia tahu rasanya pedas.
Banyak sekali definisi-definisi dalam dunia manusia. Ini lebih sulit dari yang Feeneatri bayangkan. Padahal di dunia khayal tak perlu lapar, tak perlu kenyang, tak perlu dingin, tapi tetap memerlukan kehangatan. Cinta selalu menarik untuk dibikin cerita, bahkan bagi tokoh cerita sekalipun. Feeneatri yang hidupnya hanya di khayalan pun juga mengenal tentang cinta.
***
Senja telah tiba. Sebentar lagi terangnya siang akan ditaburi gelapnya malam. Waktu paling romantis di muka bumi berada di antara siang menuju malam. Waktu pulang bagi segala makhluk. Manusia yang bekerja pulang ke rumah tercinta. Burung-burung terbang menuju sarang. Tetapi aku lebih suka pulang ke khayalanku, bertemu Feeneatri di negeri rindu. Aku mencoba berkhayal, kupejamkan mataku, hanya gelap kudapat. Mata kubuka, pergi ke penginapan, tak kutemukan jua wajahnya. Di mana gerangan Feeneatri berada? Yang lebih aneh lagi ingatanku akan wajahnya yang syahdu telah lupa. Hilang begitu saja. Tanganku terasa dingin, kurogoh sakuku. Kutemukan secarik kertas.
Kak, sepertinya semua memori tentangku dalam khayalmu telah habis. Sebenarnya khayalan si penghayal bisa dihabiskan oleh si khayalan jika si khayalan berkehendak. Aku terlalu cinta padamu hingga akhirnya aku merubah diriku memiliki wujud, agar kau bisa memelukku dalam duniamu. Sekarang waktuku sudah habis. Jika kau melihat kertas ini, berati aku telah hilang, terlenyap. Dan peraturannya kau tidak bisa bertemu denganku lagi, walau di khayalan sekalipun, tidak akan bisa. Maaf.
Kekasihmu di dunia fana, tokohmu di dunia fiksi
Feeneatri

Probolinggo, 2 Februari 2014
Oleh Achmad Marzuki, Santri Pondok Pesantren Nurul Jadid