Januari, bulan yang selalu menangis. Kini
mulai memasuki bulan kedua, sisa-sisa hujan masih saja membasahi Februari. Feeneatri
pernah berkisah bahwa hujan itu berwarna tembaga, warna yang sederhana. Ia bahkan bisa
menutupi kesedihan dengan sempurna. Lihat saja, perawan muda tidak akan
ketahuan menangis jikalau dia sedang bermandi hujan. Aku tak menjawab, tak
membantah, hanya memandangnya, karena inginku hanya dia berbicara banyak-banyak.
Aku suka mendengar suaranya, melihat wajahnya. Caranya bicara begitu anggun,
menggerakkan bibirnya seolah sedang bernyanyi. Jika menoleh, dia juga punya
gerakan eksotis tersendiri; mengeser bola matanya dahulu sebelum menggeser
lehernya.
"Sudah
kubilang jangan menggodaku. Aku ini bukan manusia, tidak sepantasnya kau
menyukai kaumku."
"Feeneatri,
tidak pernah kutemukan wanita secantik dirimu. Perilakumu juga halus dan selalu
berhati-hati. Apa lagi yang ditunggu lelaki bujang jika telah dirasa menemukan
pasangannya?"
"Tentu
saja aku selalu cantik di depanmu, selalu sopan dan santun, itu karena kau
sendiri yang menciptakanku. Fantasimu! Apa kata pembaca cerpenmu jika mereka tahu bahwa penulisnya
mencintai tokoh fiksinya sendiri?"
"Bukankah
tokoh fiksi harus menurut pada apa yang penulis ciptakan! Kau juga tokoh fiksi
yang aneh, Feeneatri. Bisa menentang dan merayuku, dengan keliaranmu dalam
cerita. Suaramu juga penuh berahi."
"Kau
pengarang sinting!" Setelah itu dia menghilang.
Kejadian
itu terjadi ketika aku temenung di tanah
setinggi 2392 meter, puncak Bromo. Tidak ada yang salah seorang penulis
yang mencintai tokoh fiksinya bukan? Karena ada lelaki yang mencintai tembok,
menjadikannya istri. Feeneatri sendiri berasal dari dua suku kata; Feenea+tri. Feenea
berasal dari finny, bahasa Irlandia yang berarti perempuan cantik dan tri
kependekan dari santri. Jadi feenearti berarti santri perempuan yang cantik.
Aku meraciknya sebagai perempuan berwajah
puisi yang memiliki kecantikan bak edelweis: sederhana namun memikat semua
mata.
***
Sisa-sisa malam menyelimuti Bromo. Tidak ada
angin tapi udara dingin masih menusuk-nusuk. Jaket hitam bertuliskan Nevada di
dadaku sedikit melindungiku dari sengatan dingin. Ufuk timur mulai tampak
sedikit merah. Banyak sekali wisatawan menumpuk di puncak, ingin menikmati
matahari terbit. Aneh. Bukankah setiap hari matahari selalu terbit. Aku saja
baru kali ini benar-benar memperhatikan matahari terbit. Di hari biasanya aku
tak peduli, tahu-tahu aku sudah berada di kantor, mendapati tugas yang
berjibun, dan matahari sudah setinggi tongkat.
“Gerakan matahari pagi lambat-lambat cepat.
Warnanya kuning cerah kemerahan. Karena itulah aku menyukai warna kuning.” Seorang perempuan cantik
menyahut padaku di belakangku.
“Kau siapa?” dilihat dari wajah dan pakaiannya, dia seperti
Feeneatri, tokoh fiksiku.
“Aku Feeneatri,”
Tidak mungkin. Dia hanya ada
dalam khayalku. Perempuan ini manusia bukan bayangan, dia memiliki bayangan.
“Kau tidak tahu ya? Ada hukum dalam dunia
khayal yang menyatakan bahwa; khayalan akan bisa menjadi manusia kalau sering
dipikirkan. Dan kau terlalu sering memikirkanku.”
Astaga! Dia bisa membaca
pikiranku.
“Aku tidak mau kau jadi manusia.”
“Kenapa, bukankah kau mencintaiku? Jika aku
jadi manusia, kau bebas mencintaiku, tak perlu berkhayal.”
“Tidak. Kau sama sekali tak tahu manusia.
Mereka selalu membikin rusuh dunia. Dalam hal cinta, pasti ada gelisah dan
penghianatan, lebih baik aku mencintaimu sebagai bayangan, dengan begitu kau
tak kan bisa meninggalkanku, tak kan mungkin menghianatiku, karena aku yang
menciptamu.”
“Dunia manusia begitu mengerikan” Tapi kau
sudah terlambat, Kak. Feeneatri sudah mulai berkata dalam hati. Dan tidak
ada satu manusiapun yang mengetahui isi hati manusia lainnya.
***
Wisatawan mulai membidik ufuk timur.
Menangkap matahari pagi. Memenjarakan keindahan alam dalam kotak-kotak
elektrik. Subhanallah, indah nian matahari pagi rupanya. Piringan
matahari sedikit-sedikit mulai timbul muncul di kaki langit, seperti bayi
mungil yang belajar merangkak. Kuliriki Feeneatri, tidak mungkin! bayangan
tubuhnya semakin petang, pertanda dia benar-benar berubah jadi manusia. Hanya
di dunia cerpen, tokoh fiksi bisa berubah jadi manusia.
Matahari setinggi tongkat. Wisatawan mulai
turun, kembali ke penginapan. Ada yang naik ojek motor, ada yang menunggang
kuda, tetapi aku memilih berjalan kaki, berdua dengan Feeneatri. Tangan kananku
memeluk pundaknya, tangan kirinya memeluk pinggangku, kepalanya disandarkan di
pundakku, kepalaku kusandarkan ke kepalanya. Seorang lelaki memotret kami,
katanya kami sangat romantis. Lelaki itu tak tahu kalau perempuan di sampingku
ini baru saja mengenal dunia manusia.
Jalan yang kami lalui bukan jalan beraspal
melainkan jalan setapak yang penuh jejak tapal kuda. Setiap sepuluh meter
Feeneatri minta berhenti, istirahat. Hey. Dia mulai mengenal capek. Dan
setiap kali duduk istirahat dia memelukku, nyaman, katanya, hangat.
Kali ini dia mengenal dingin. Penginapan sudah kelihatan. Aku memilih
penginapan yang strategis, terletak di pinggir tebing, dari jendela sudah bisa
menikmati indahnya punuk Bromo.
“Kak,
perutku sakit.”
“Aku tahu. Itu namanya lapar. Perutmu harus diisi.
Ayo ke warung, kita cari soto ayam.” Kali ini dia tahu bagaimana jadi manusia
kelaparan. Secara alamiah, jika perut lapar diisi makanan tentu akan merasa
kenyang. Sebentar lagi Feeneatri akan mengenal kenyang.
“Ah, nikmat sekali, Kak. Tapi lidahku terasa
panas.”
“Ucapkan alhamdulillah, begitu orang
bersyukur biasa berucap. Lidahmu yang terasa panas itu karena pedas.” Sekarang
dia tahu rasanya pedas.
Banyak sekali definisi-definisi dalam dunia
manusia. Ini lebih sulit dari yang Feeneatri bayangkan. Padahal di dunia khayal
tak perlu lapar, tak perlu kenyang, tak perlu dingin, tapi tetap memerlukan
kehangatan. Cinta selalu menarik untuk dibikin cerita, bahkan bagi tokoh cerita
sekalipun. Feeneatri yang hidupnya hanya di khayalan pun juga mengenal tentang
cinta.
***
Senja telah tiba. Sebentar lagi terangnya
siang akan ditaburi gelapnya malam. Waktu paling romantis di muka bumi berada
di antara siang menuju malam. Waktu pulang bagi segala makhluk. Manusia yang
bekerja pulang ke rumah tercinta. Burung-burung terbang menuju sarang. Tetapi
aku lebih suka pulang ke khayalanku, bertemu Feeneatri di negeri rindu. Aku
mencoba berkhayal, kupejamkan mataku, hanya gelap kudapat. Mata kubuka, pergi
ke penginapan, tak kutemukan jua wajahnya. Di
mana gerangan Feeneatri berada? Yang lebih aneh lagi ingatanku akan wajahnya
yang syahdu telah lupa. Hilang begitu saja. Tanganku terasa dingin, kurogoh
sakuku. Kutemukan secarik kertas.
Kak, sepertinya semua memori
tentangku dalam khayalmu telah habis. Sebenarnya khayalan si penghayal bisa
dihabiskan oleh si khayalan jika si khayalan berkehendak. Aku terlalu cinta
padamu hingga akhirnya aku merubah diriku memiliki wujud, agar kau bisa
memelukku dalam duniamu. Sekarang waktuku sudah habis. Jika kau melihat kertas
ini, berati aku telah hilang, terlenyap. Dan peraturannya kau tidak bisa bertemu
denganku lagi, walau di khayalan sekalipun, tidak akan bisa. Maaf.
Kekasihmu di dunia fana, tokohmu
di dunia fiksi
Feeneatri
Probolinggo, 2 Februari 2014
Oleh Achmad Marzuki, Santri Pondok Pesantren Nurul Jadid